Akar Korupsi di Indonesia dan Solusinya

Korupsi di Indonesia telah menjadi penyakit kronis yang telah mewabah keseluruh penjuru negeri, merebak ke semua lini sosial dan instansi pemerintah, dari mulai yang paling bawah hingga ke tingkat yang paling tinggi.

Korupsi telah merugikan Negara ini pada setiap anggaran belanja Negara dan Daerah, sehingga tidak kurang dari setengahnya berserakan di bagi-bagikan oleh para koruptor, untuk menjadi harta haram yang dikonsumsi oleh pribadi-pribadi dan keluarga-keluarga mereka yang tidak berhak menikmatinya.

Korupsi telah mengakar dan melekat kuat ditengah masyarakat, sehingga muncul slogan dan ungkapan yang ironis yang menunjukkan seolah-olah korupsi tidak bisa dihindari, contohnya : “Kalau tidak pakai uang pelumas mana mungkin lancar”.

Korupsi di negeri ini telah melahirkan korupsi berikutnya yang bisa jadi lebih besar dan lebih parah, contohnya : setiap orang yang ingin menggapai jabatan dan posisi tertentu haruslah membayar upeti kepada oknum tertentu.

Berikutnya setelah jabatan dan posisi tersebut diperoleh maka orang itu akan berusaha memanfaatkannya guna mendapatkan harta haram dengan segala cara sebagai pengganti modal yang telah dikeluarkannya.

Di negeri ini korupsi telah menjamur dari sejak zaman penjajahan belanda, sehingga ungkapan amplop dan angpao adalah istilah yang sudah sangat tua dan bersejarah.

Pada dasarnya korupsi itu berakar dari sifat tamak dan rakus yang telah ada didalam jiwa, kemudian tumbuh subur karena disirami dengan sikap cinta dan ambisi kepada dunia dengan menghalalkan segala cara.

Hal pertama yang dilahirkan oleh ketamakan dan kerakusan adalah sikap egoistis atau ananiyah yang menyebabkan seseorang mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya walaupun harus mengorbankan orang lainnya.

Sikap egois inipun berkembang menjadi sikap khianat terhadap amanah yang dipercayakan orang terhadap seseorang.

Kemudian pada saat berkumpul beberapa orang yang memiliki kesiapan yang sama untuk berkhianat, maka mereka bersama-sama mencari peluang dan kesempatan.Pada saat pengawasan lemah dan resiko bisa diremehkan maka terjadilah perbuatan korupsi dengan segala model dan caranya.

Pada saat ini sifat amanah telah menjadi sesuatu yang langka di negeri ini, akibatnya jika pengawasan melemah maka sudah bisa dipastikan korupsi mesti terjadi, karena ketamakan dan egoisme sudah ada dimana-mana.

Masalahnya jadi semakin runyam pada saat hukum tidak bisa lagi ditegakkan, bahkan para pelaku dan penegak hukumnya justru para koruptor.

Kita melihat bahwa didirikannya KPK pada saat ini menggambarkan adanya unsur ketidak-percayaan dikalangan bangsa ini kepada para penegak hukum.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa siapapun yang ingin menjadi hakim, jaksa dan polisi harus mengeluarkan amplop yang berisi jutaan rupiah.

Tentunya pada saat benar-benar mereka menjadi hakim, jaksa dan polisi mereka mencari peluang dan kesempatan untuk korupsi, guna mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya.

Semua orangpun tahu bahwa di kepolisian ada tradisi yang sudah mengakar dan telah diwariskan secara turun-temurun yaitu budaya upeti, dimana setiap seksi dan unit yang ada dibawah berkewajiban untuk membayarkan upeti secara rutin kepada unit atau seksi diatasnya.

Pembahasan seperti ini sangatlah melelahkan jika kita mengarahkan lampu sorot kita kepada partai-partai yang semakin rajin berbisnis-ria bermodalkan setiap peluang dan kesempatan yang beraneka ragam pada jabatan dan posisi yang diamanatkan kepada para anggotanya.

Kesimpulannya bahwa korupsi ada dimana-mana, di semua lini dan tingkatan, hampir semua lembaga dan jawatan mengalami maraknya kejahatan yang ganas ini.

Pada akhirnya kita harus memperhatikan empat hal yang menjadi akar korupsi, yaitu : kerakusan, egoisme, lemahnya pengawasan dan remehnya sangsi dan hukuman.

Maka solusinya ada pada empat hal pula :

  1. pembenahan sistem pendidikan agar mampu memperbaiki karakter bangsa,
  2. pembenahan sistem pengawasan atas setiap penerima amanah,
  3. pembenahan sistem penegakan hukum, dan
  4. menegakkan hukuman mati bagi koruptor yang terbukti perbuatannya menimbulkan kesengsaraan sehingga menyerupai begal dan perampok.