Belajar dari Orang Terdahulu

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (QS Al Baqarah: 214)

Hidup adalah perjuangan, dalam konteks dunia ataupun akhirat, dalam kepentingan dunia ataupun kepentingan kemanusiaan. Tak dapat dipungkiri terkadang timbul perasaan dalam hati rasa jenuh, penat, bahkan dapat dikatakan frustasi dalam menjalani berbagai ujian yang Allah berikan. Besar ataupun kecil, dalam waktu lama ataupun singkat, berat ataupun ringan, sehingga menjadikan dunia ini seolah-olah teramatlah sempit serta merasa kitalah tokoh utama yang amat sengsara dan paling terzhalimi.

Hal tersebut timbul dikarenakan sempitnya hati ini dalam memandang sebuah permasalahan, sebagaimana Ar Rafi’ menyampaikan bahwa, “Jika engkau meghadapi dunia dengan lapang dada, engkau akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang semakin mengecil dan menyempit. Engkau harus tahu, bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwamu yang sempit, bukan dunianya.”

Sejarah Membuktikan

Alangkah ruginya kita apabila memandang alur hidup ini sangatlah individu, dan merasa diri segala-galanya. Sejarah membuktikan, bahwa mereka yang mendapat karuniaNya adalah mereka yang telah mempersembahkan kepada Allah begitu banyak keshalihan. Andaipun tidak banyak secara jumlah, namun secara mutu dan kualitas amal. Maka perlulah kiranya kita banyak belajar dari orang-orang terdahulu, agar kita tak merasa bahwa kitalah segalanya dan merasa paling “sengsara”.

Belajar dari Nabi Yusuf ‘alaihis salam, yang mendapatkan berbagai ujian dalam hidupnya. Beliau menghadapi persekongkolan jahat yang justru datang dari orang-orang yang dekat dengannya, yaitu saudara-saudaranya sendiri. Mereka merencanakan untuk membunuhnya dengan memasukkan Nabi Yusuf ke dalam sebuah sumur, hingga kemudian Yusuf ditemukan oleh seorang musafir, dijual di pasar budak Mesir dan dibeli dengan harga yang sangat murah. Ujianpun belum berakhir, hingga beliau menghadapi rayuan dari istri ayah angkatnya  yang memiliki jabatan penting. Ketika ia menolak rayuannya, ia pun dijebloskan ke dalam penjara. Dalam beberapa waktu, beliau menjadi tahanan di penjara. Sungguh kisah yang fenomenal dengan skenario yang indah, rapi dan bermakna. Pernahkah terlintas dalam benak, bagaimana jika kita yang berada pada posisi beliau, sanggupkah kita?

Belajar dari Nabi Ayub ‘alaihis salam, yang mendapat ujian berupa penyakit kulit yang sangat dahsyat sehingga manusia-manusia enggan untuk mendekatinya dikarenakan khawatir tertular. Pernahkah terlintas dalam benak, bagaimana jika kita yang berada pada posisi beliau, dijauhi oleh manusia yang lain di saat kita justru membutuhkan pertolongan dari orang lain, sanggupkah kita?

Belajar dari Nabi Yunus ‘alaihis salam, yang harus dilemparkan ke dalam laut dari kapal yang ia tumpangi, sehingga berada dalam perut seekor ikan paus dikarena ia telah di makan oleh ikan tersebut, sebagai teguran Allah karena meninggalkan kaumnya. Pernahkah terlintas dalam benak, bagaimana jika kita yang berada pada posisi beliau, dilempar ditengah lautan luas, yang mana sejauh mata kita memandang hanyalah terdapat air berlimpah yang mengelilingi, sanggupkah kita?

Belajar dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, di saat beliau di timpakan kotoran unta di punggungnya di saat melaksanakan shalat, di saat beliau mendapat ujian berupa dilempari batu ketika hijrah dakwah ke Thaif, di saat beliau mendapat ujian berupa fitnah bahwa istrinya, Aisyah telah berselingkuh. Pernahkah terlintas dalam benak, bagaimana jika kita yang berada pada posisi beliau, sanggupkah kita?

Dan masih banyak dari kisah-kisah lain yang perlu kita kaji dan pelajari lebih lanjut. Dengan banyak belajar dari orang-orang yang terdahulu, maka dapat memperkaya khasanah ilmu serta mampu meminimalisir berbagai prasangkaan buruk kita terhadap hidup dan prasangkaan buruk kita kepada Allah hingga akhirnya berujung pada keputusasaan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (QS.Yusuf : 87). Dengan banyak belajar dari orang-orang yang terdahulu, maka dapat menjadikan diri ini lebih waspada terhadap zhan-zhan yang mungkin hinggap dalam hati, perasaan paling terdlolimi, dan perasaan paling tersakiti tanpa berusaha introspeksi diri.

Sebagaimana Imam Ali radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Mengambil pelajaran itu akan menuntun kepada kebenaran. Siapa yang mengambil pelajaran, maka ia akan memandang dengan benar, dan Siapa yang memandang dengan benar, ia akan memahami, dan siapa yang memahami maka ia akan tahu (memiliki ilmu).”

Oleh : Meylina Hidayanti,  Sragen