Change!

 “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d [13]:11)

“Perubahan adalah suatu keniscayaan,” begitulah yang sering saya dengar. Semua orang meyakini bahwa perubahan adalah hal yang lumrah. Bahkan ada kalimat populer yang berbunyi “Tiada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan.”

Agar bisa bertahan, manusia harus berubah. Perubahan itu berlaku dalam berbagai aspek, semisal perniagaan, busana, gaya hidup, hobi, perilaku, dan lain sebagainya.

Pada suatu hari di akhir Ramadhan, saya dan kakak sepupu berkeliling pasar untuk mencari jajanan lebaran. Setelah mendapatkan apa yang kami cari, kakak sepupu saya berkata, “Sekarang banyak toko yang sepi karena disaingi pasar swalayan yang bertebaran di mana-mana. Kalau mereka itu tidak segera merubah cara berjualan, aku yakin tak lama lagi mereka akan bangkrut.”

Sedikit menganalisis, yang dikatakan kakak saya itu benar adanya. Dulu, kita sering membeli barang di toko dengan layanan langsung dari penjual atau direct service. Seiring berjalannya waktu, sistem pelayanan langsung berganti menjadi pelayanan mandiri (swalayan), dengan alasan pelayanan mandiri dinilai lebih praktis dan memudahkan customers memilih barang yang akan mereka beli.

Bisa kita lihat, sekarang banyak toko-toko yang berubah menjadi swalayan. Alasan mereka mau berubah cukup simpel, mereka tidak mau tergusur oleh perubahan zaman.

Begitu pun dengan cara berbusana. Kalau tahun ’80-an kita pergi ke kampus dengan celana kain ‘samba’ atau cutbray (bagian atas ketat dan bagian bawah terlihat lebih lebar), bersepatu pantofel, kemeja dimasukkan, ikat pinggang berbahan kulit, kacamata besar, dan dasi kupu-kupu terpasang rapi di leher, kita bisa disebut mahasiswa gaul. Kalau sekarang busana itu kita pakai ke kampus, bisa-bisa kita dijuluki sebagai mahasiswa jadoel, alias jaman doeloe.

Pada aspek penampilan fisik, seseorang yang tidak berubah mengikuti perkembangan zaman, biasa dijuluki sebagai orang katrok, konvensional, kuno, ndeso, dan lain sebagainya. Kini, banyak orang keranjingan berburu tren. Mereka berlomba-lomba memoles penampilan fisik dan merevolusi gaya hidup agar tidak dianggap katrok atau ndeso. Untuk bertahan, perubahan memang perlu dilakukan.

Perubahan Harus Berjalan Seimbang

Perubahan tidak hanya dilakukan pada aspek penampilan saja. Pola pikir dan perasaan juga harus ikut diubah. Dalam tiga aspek; mind (pikiran/otak), body (penampilan/tubuh), dan soul (perasaan/hati) harus ada mekanisme perubahan yang beriringan. Tidak timpang kepada salah satunya.

Timpang dalam melakukan perubahan hanya akan membawa dampak buruk. Misalnya, fenomena tren busana yang berlaku saat ini. Banyak orang, terutama para remaja, berusaha untuk merubah penampilan dan cara berbusana mereka. Sayangnya, mereka berubah sambil menutup mata, alias hanya ikut-ikutan mode yang sedang ngetrend. Ketika ada mode baru, spontan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki akan mereka ubah. Semuanya tanpa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dampaknya, para wanita mulai berani mengekspos tubuh mereka, mengumbar aurat secara blak-blakan, para laki-laki mulai berpenampilan seperti wanita, yang itu semua menjadi tanda kerusakan moral.

Fenomena itu terjadi karena adanya ketimpangan antara perubahan body dengan mind dan soul. Mereka hanya mementingkan body tanpa mengindahkan mind dan soul. Ketika perubahan penampilan tubuh lebih ditonjolkan, otak perlahan tak bisa berpikir logis. Busana yang fungsi utamanya adalah menutup aurat, kini hanya dipakai sebagai assessoris dan pelengkap. Apalagi jika perubahannya dibenturkan dengan hati, moral, dan agama. Imbasnya, orang yang bermode menggunakan parameter ‘kelayakan’ dan ‘kepatutan’ sudah mulai berkurang, karena semua mulai menggunakan parameter ‘keindahan’. “Yang penting indah, patut atau tidak urusan belakangan!” Naudzubillah..

Busana hanyalah salah satu contoh. Masih banyak contoh lain perubahan penampilan yang tidak disertai perubahan mindset dan moral. Sebut saja perubahan teknologi, gaya hidup, dan lain-lain.

Beberapa kali Al-Qur’an menceritakan fenomena perubahan seperti yang disinggung sebelumnya. Mulai dari Bani Israil yang diselamatkan oleh Nabi Musa alaihissalam, sampai Kaum ‘Ad dan Tsamud dengan kemajuan teknologi mereka.

Bani Israil memang tidak merubah nasib dengan tangan mereka sendiri, tetapi setidaknya ‘kesediaan’ mereka untuk berpihak kepada Nabi Musa menjadi faktor perubahan nasib mereka. Namun seperti yang diceritakan panjang lebar di dalam Al-Qur’an, Bani Israil hanya berorientasi pada perubahan fisik dan keduniaan. Ketika Allah menurunkan kepada mereka semacam makanan yang khair (lebih baik), mereka malah meminta makanan yang beraneka macam karena bosan dengan satu macam makanan saja. Padahal di mata Allah, sesuatu yang mereka minta itu lebih adna (rendah) kualitasnya.

Beda lagi dengan Kaum ‘Ad dan Tsamud. Dengan kemajuan teknologi yang mereka miliki, Kaum ‘Ad sanggup membangun gedung-gedung yang tinggi, sedangkan Kaum Tsamud mampu memahat gunung untuk dijadikan hunian. Sayangnya, kemampuan mereka hanya untuk memfasilitasi keangkuhan mereka. Bahkan ada yang mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan bertujuan untuk menghindari kematian dan kebinasaan. Mereka lupa, bahwa Allah ‘azza wa jalla Maha Melihat lagi Maha Mengetahui.