Derajat Antara Orang yang Selalu Taat dengan Orang Durhaka yang Bertaubat

Dari sini pula dapat diketahui satu masalah yang cukup penting, apakah orang taat yang tidak pernah durhaka lebih baik daripada orang durhaka yang bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuhan? Ataukah orang yang bertaubat itu yang lebih baik?

Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ada golongan orang yang menegaskan bahwa orang yang tidak pernah durhaka lebih baik daripada orang durhaka yang melakukan taubatan nashuhan (taubat dengan sebenar-benarnya). Mereka mengemukakan beberapa hujjah:

  1. Hamba yang paling sempurna dan utama ialah yang paling taat kepada Allah. Orang yang tidak pernah durhaka berarti orang yang paling taat, sehingga dia menjadi orang yang paling utama.
  2. Pada saat orang durhaka sibuk dengan kedurhakaannya, maka orang yang taat menempuh beberapa tahapan menuju ke atas, sehingga derajatnya lebih tinggi. Taruklah bahwa orang yang durhaka itu bertaubat lalu menyusul perjalanannya. Tapi mana mungkin dia dapat menyusulnya, karena sebelumnya dia sudah berhenti?
  3. Maksud taubat adalah untuk menghapus kesalahan-kesalahannya, lalu setelah itu dia seperti tidak pernah melakukan kesalahan itu. Perbuatannya pada masa kedurhakaan tidak mendatangkan keberuntungan dan tidak pula hukuman baginya. Lalu bagaimana jika keadaannya ini dibandingkan dengan orang yang berusaha dan mendapat keberuntungan?
  4. Allah membenci kedurhakaan terhadap-Nya dan menyalahi perintah- Nya. Pada waktu dia melakukan dosa ini, maka dia mendapat kebencian dari Allah. Sementara orang yang taat mendapat keridhaan dan Allah senantiasa ridha kepadanya. Maka tidak dapat diragukan bahwa keadaan orang kedua ini lebih baik daripada keadaan orang yang diridhai Allah, lalu dimurkai, lalu diridhai. Ridha yang berkelanjutan lebih baik daripada ridha yang berselang-seling.
  5. Dosa itu bisa diibaratkan minum racun, sedangkan taubat merupakan penawar dan obatnya. Sementara ketaatan bisa diibaratkan kesehatan. Terus-menerus dalam keadaan sehat tentu lebih baik daripada keadaan sehat yang diselingi dengan sakit karena sakit atau racun yang masuk, lalu sembuh dan sehat kembali.
  6. Orang yang durhaka dalam keadaan gawat dan terancam bahaya, yang keadaannya tidak lepas dari tiga hal: Mati karena minum racun, kekuatannya berkurang dan melemah kalau memang tidak mati, dan kekuatannya kembali seperti semula, atau lebih lemah atau lebih baik.
  7. Orang yang taat berada dalam sebuah kebun yang dikelilingi ketaatannya, sehingga membentuk pagar yang kokoh bagi dirinya, dan musuh pun tidak mampu menyusup ke sana. Tumbuh-tumbuhannya segar dan buahnya lebat.
  8. Musuh tamak kepada orang yang durhaka, karena kelemahan ilmu dan tekadnya, karena itu dia disebut orang jahil.
  9. Kedurhakaan pasti menimbulkan pengaruh yang kurang baik, entah berupa kehancuran total, penyesalan atau pun siksaan, dan kesudahannya bisa berupa ampunan dan masuk ke surga. Orang yang bertau-bat harus membebaskan pengaruh ini dan menebus  kesalahannya, sedangkan orang yang taat tinggal menambah dan meninggikan derajatnya. Maka shalat malam yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bermanfaat untuk meninggikan derajat beliau, sedangkan shalat malam yang dilakukan selain beliau untuk menebus kesalahan. Dua keadaan ini saja tidak bisa disetarakan.
  10. Orang taat kepada Allah berjalan dengan seluruh amalnya. Selagi ke taatan dan amalnya bertambah, maka bertambah pula usaha ketaatannya. Dia bisa diibaratkan pedagang yang melancong dan berusaha untuk mendapatkan keuntungan sepuluh kali lipat dari modalnya. Lalu dia melancong lagi dengan membawa modal pertama dan ditambah keuntungannya, sehingga dia mendapatkan keuntungan sepuluh kali lipat lagi. Begitu seterusnya dalam perjalanan ketiga kalinya, dengan keuntungan yang berlipat-lipat. Apabila sekali saja dia tidak mengadakan perjalanan, maka dia tidak akan mendapatkan keuntungan seperti yang dia dapatkan dalam satu kali perjalanannya, atau bahkan lebih. Inilah makna yang tersirat di dalam perkataan Al-Junaid Rahimahullah, “Jika orang yang beribadah menghadap secara tulus kepada Allah selama seribu tahun, kemudian dia berpaling sesaat saja, maka pahala yang terlepas darinya lebih banyak daripada apa yang didapatkannya.”

Ada golongan lain yang mengatakan bahwa orang yang bertaubat dengan taubatan nashuhan lebih baik daripada orang yang belum pernah melakukan kedurhakaan, sekalipun mereka tidak mengingkari keadaan orang kedua yang lebih banyak kebaikannya. Mereka mengemukakan beberapa alasan:

  1. Taubat merupakan ubudiyah yang paling dicintai Allah dan paling mulia, Allah mencintai orang-orang yang bertaubat. Andaikan taubat bukan merupakan sesuatu paling Dia cintai, tentunya Dia tidak akan menguji hamba dengan dosa. Karena kecintaan-Nya kepada taubat hamba, maka Dia mengujinya dengan dosa, agar hamba itu melakukan sesuatu yang paling dicintai-Nya, yaitu taubat. Sebagai tambahan atas kecintaan-Nya kepada hamba, maka orang-orang yang bertaubat mendapatkan kecintaan secara khusus di sisi-Nya.
  2. Taubat mempunyai tempat tersendiri di sisi Allah, yang tidak dimiliki ketaatan-ketaatan lainnya. Karena itu Allah amat gembira melihat taubat hamba-Nya. Kegembiraan Allah itu dimisalkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan kegembiraan seorang musafir yang mendapatkan kembali onta yang membawa seluruh bekalnya, di suatu tempat yang ganas dan kering, setelah onta itu lepas entah kemana, dan orang itu sudah putus asa untuk bisa bertahan hidup di tempat itu. Kegembiraan ini tidak ditampakkan terhadap satu ketaatan pun kecuali terhadap taubat. Tentu saja kegembiraan Allah ini mempunyai pengaruh yang amat kuat di dalam hati orang yang bertaubat. Sehingga orang yang bertaubat mendapatkan kecintaan Allah, yang berarti dia menjadi kekasih Allah.
  3. Di dalam taubat terkandung kehinaan, kehancuran hati, kehampaan, ketundukan dan kebergantungan kepada Allah, suatu sikap yang lebih dicintai Allah daripada sekian banyak amal-amal zhahir, sekalipun takaran dan porsinya lebih banyak daripada ubudiyah taubat. Sebab menghinakan diri merupakan ruh ibadah dan intinya.
  4. Tingkatan menghinakan diri bagi orang yang bertaubat lebih sempur-na daripada tingkatan-tingkatan ubudiyah lainnya, karena dia masih bisa melakukan apa yang dilakukan orang lain, sementara dia memi-liki keistimewaan dengan menghinakan diri dan merasakan hatinya yang hampa. Allah lebih dekat dengan hamba-Nya saat dia menghinakan diri.
  5. Terkadang dosa justru lebih bermanfaat bagi hamba selagi disertai dengan taubat daripada berbagai macam ketaatan. Inilah makna perkataan sebagian orang salaf, “Adakalanya seorang hamba berbuatdosa lalu masuk surga, dan adakalanya seorang hamba melakukan ketaatan lalu masuk neraka.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Dia berbuat dosa, dan dosa itu selalu tampak di depan matanya. Jika berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat dosanya itu lalu membuat hatinya terasa hancur, bertaubat, menyesal dan memohon ampunan, sehingga yang demikian ini menjadi sebab keselamatannya. Dia berbuat kebaikan dan kebaikannya itu selalu tampak di depan matanya. Jika berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat kebaikannya itu, sehingga membuatnya takabur, ujub dan merasa telah mendapat karunia, sehingga yang demikian ini menjadi sebab kebinasaannya.” Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seorang hamba, maka Dia memberinya dosa yang membuat hatinya hancur, kepalanya merunduk, tidak ujub dan tidak takabur, sehingga dosa ini lebih ber-manfaat daripada sekian banyak ketaatan. Taubatnya ini bisa diumpa-makan obatyang diminum untuk mengeluarkan seluruh penyakit di dalam tubuh.
  6. Ada kabar gembira yang disampaikan Allah kepada orang-orang yang bertaubat, jika taubatnya itu disertai dengan iman dan amal shalih, sebagaimana firman-Nya, “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Furqan: 70). Ibnu Abbas berkata, “Aku tidak pernah melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menunjukkan kegembiraan karena sesuatu seperti kegembiraan beliau saat ayat ini turun, begitu pula saat surat Al-Fath turun.” Orang-orang berbeda pendapat tentang sifat penggantian ini, apakah hal itu berlaku di dunia ataukah di akhirat? Menurut Ibnu Abbas dan rekanrekannya, keburukan amal mereka diganti dengan kebaikan, syirik diganti dengan iman, zina diganti dengan menjaga kehormat-annya, dusta diganti dengan kejujuran, khianat diganti dengan amanat. Berdasarkan makna ayat ini, sifat-sifat dan amal-amal mereka yang buruk diganti dengan sifat dan amal yang shalih, sebagaimana sakit yang diganti dengan kesehatan. Sedangkan menurut Sa’id bin Al-Musayyab dan lain-lainnya dari kalangan tabi’in, maksudnya Allah mengganti keburukan yang mereka lakukan di dunia dengan kebaikan di akhirat, Dia memberi tempat bagi setiap keburukan dengan kebaikan.
  7. Dengan penyesalannya, orang yang bertaubat mengganti setiap keburukannya dengan kebaikan. Penyesalan ini merupakan wujud taubat dari keburukan itu. Taubat dari segala dosa adalah kebaikan. Sehingga setiap dosa yang dilakukan akan hilang dengan adanya taubat, karena tempatnya diganti dengan kebaikan. Berdasarkan logika seperti ini, porsi kebaikan itu akan menjadi sama dengan keburukan, lebih sedikit atau lebih banyak. Ini tergantung dari bobot taubat dan ketulusan hati orang yang bertaubat. Inilah rahasia masalah taubat dan sentuhannya yang halus.
  8. Dosa orang yang diakui pelakunya bisa menimbulkan kebaikan yang lebih besar, lebih banyak, lebih bermanfaat dan lebih mendatangkan kecintaan Allah daripada dosa itu sendiri. Sampai-sampai syetan berkata, “Andaikan saja aku tidak pernah menyeretnya untuk melakukan dosa itu.” Syetan merasa menyesal karena mendorong dan menyeret orang itu untuk melakukan dosa, seperti penyesalan pelakunya karena telah melakukan dosa itu. Tetapi dua penyesalan ini jauh berbeda. Allah menyukai hamba-Nya karena telah memancing amarah musuh-Nya, sementara hamba itu juga mendapatkan sesuatu yang dicintai Allah, yaitu taubat, apalagi jika taubat itu disertai dengan tambahan amal shalih, sehingga satu keburukan berubah menjadi satu kebaikan dan bahkan banyak kebaikan. Perhatikanlah firman Allah, “Maka kejahatan-kejahatan mereka di-ganti Allah dengan kebaikan-kebaikan”. Allah tidak mengatakan satu bilangan keburukan dan kebaikan, tetapi banyak. Ini bisa berarti satu keburukan diganti dengan banyak kebaikan, tergantung dari kondisinya.