Ibnu Al Haytham, Sang Maestro Optika

Melalui Kitab Al Manadhir, teori optik pertama kali dijelaskan. Hingga 500 tahun kemudian, teori yang fenomenal ini  dikutip banyak ilmuwan  sekelas Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Copernicus dan bahkan Sir Isaac Newton juga. Tahukah anda, siapa sang ilmuwan luar biasa  tersebut?

Tak banyak orang yang tahu bahwa orang pertama yang menjelaskan soal mekanisme penglihatan pada manusia -yang menjadi dasar teori optik modern- adalah ilmuwan Muslim asal Irak. Namanya Ibnu Al-Haytham atau di Barat dikenal dengan nama Alhazen. Lewat karya ilmiahnya, kitab Al Manadhir atau Kitab Optik, ia menjelaskan berbagai ragam fenomena cahaya termasuk sistem penglihatan manusia.

Selama lebih dari 500 tahun, Kitab Al Manadhir terus bertahan sebagai buku paling penting dalam ilmu optik. Di tahun 1572, karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Opticae Thesaurus. Bab tiga volume pertama buku ini mengupas ide-ide dia tentang cahaya. Dalam buku itu, Haytham meyakini bahwa sinar cahaya keluar dari garis lurus dari setiap titik di permukaan yang bercahaya. Ia membuat percobaan yang sangat teliti tentang lintasan cahaya melalui berbagai media dan menemukan teori tentang pembiasan cahaya. Ia jugalah yang melakukan eksperimen pertama tentang penyebaran cahaya terhadap berbagai warna.

Dalam buku yang sama, ia menjelaskan tentang ragam cahaya yang muncul saat matahari terbenam, dan juga teori tentang berbagai macam fenomena fisik seperti bayangan, gerhana, dan juga pelangi. Ia juga melakukan percobaan untuk menjelaskan penglihatan binokular dan memberikan penjelasan yang benar tentang peningkatan ukuran matahari dan bulan ketika mendekati horison.


Haytham mencatatkan namanya sebagai orang pertama yang menggambarkan seluruh detil bagian indra pengelihatan manusia. Ia memberikan penjelasan yang ilmiah tentang bagaimana proses manusia bisa melihat. Salah satu teorinya yang terkenal adalah ketika ia mematahkan teori penglihatan yang diajukan dua ilmuwan Yunani, Ptolemy dan Euclid.

Kedua ilmuwan ini menyatakan bahwa manusia bisa melihat karena ada cahaya yang keluar dari mata yang mengenai objek. Berbeda dengan keduanya, Ibnu Haytham mengoreksi teori ini dengan menyatakan bahwa justru objek yang dilihatlah yang mengeluarkan cahaya yang kemudian ditangkap mata sehingga bisa terlihat.

Dalam buku ini, ia menjelaskan bagaimana mata bisa melihat objek. Ia menjelaskan sistem penglihatan mulai dari kinerja syaraf di otak hingga kinerja mata itu sendiri. Ia juga menjelaskan secara detil bagian dan fungsi mata seperti konjungtiva, iris, kornea, lensa, dan menjelaskan peranan masing-masing terhadap penglihatan manusia.

Salah satu karyanya yang paling menomental adalah ketika Haytham bersama muridnya, Kamal ad-Din, untuk pertama kali meneliti dan merekam fenomena kamera obsecura. Inilah yang mendasari kinerja kamera yang saat ini digunakan umat manusia. Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan sebagai “ruang gelap”. Biasanya bentuknya berupa kertas kardus dengan lubang kecil untuk masuknya cahaya.

Sementara dalam bukunya Mizan al-Hikmah, ia mendiskusikan kepadatan atmosfer dan membangun korelasi antara hal tersebut dengan faktor ketinggian. Ia juga mempelajari pembiasan atmosfer dan menemukan fakta bahwa senja hanya muncul ketika matahari berada 19 derajat di bawah horison. Dengan dasar itulah, ia mencoba mengukur tinggi atmosfer. Dalam bukunya, ia juga membahas teori daya tarik massa, suatu fakta yang menunjukkan ia menyadari korelasi percepatan dengan gravitasi.

Selain di bidang fisika, Ibnu Haytham juga memberikan kontribusi penting terhadap ilmu matematika. Dalam ilmu ini, ia mengembangkan analisis geometri dengan membangun hubungan antara aljabar dengan geometri. Haytham juga membuat buku tentang kosmologi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Yahudi di abad pertengahan. Karya lainnya adalah buku tentang evolusi, yang hingga kini masih menjadi perhatian ilmuwan dunia.

Sayangnya, dari sekian banyak karyanya -bukunya diperkirakan berjumlah 200 lebih- hanya sedikit yang terisa. Bahkan karya monumentalnya, Kitab Al Manadhir, tidak diketahui lagi rimbanya. Orang hanya bisa mempelajari terjemahannya yang ditulis dalam bahasa Latin.

Oleh : Hamim Tohari, Yogyakarta
Facebook – Blog