Kehormatan

Suatu kali Hasanain Juaini, waktu itu masih perantau Indonesia di Malaysia, bertemu dengan Anwar Ibrahim dan menyampaikan kekagumannya pada keberhasilan Malaysia memproduksi Proton. Dengan sorot mata heran Anwar menatap Hasanain.

“Tahukah Adinda, satu lapangan bola, bahkan berapapun lapangan bola mobil Proton yang bisa kami produksi, itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan satu saja N-250 yang telah diproduksi Indonesia,” ujar Anwar.

Hasanain terkejut mendapat jawaban seperti itu. Jawaban itu seperti mengingatkannya bahwa sejauh itu betapa rendahnya ia telah mengapresiasi jerih payah anak bangsanya sendiri. Kyai Hasanain kini adalah pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Mengingat cerita Kyai Hasanain itu, saya jadi teringat jawaban Soekarno ketika ditanya seorang wartawan asing mengenai kenapa dia ngotot membikin proyek-proyek mercusuar, padahal anggaran poyek-proyek itu bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan rakyatnya.

Dengan tegas ia menjawab, “Saya adalah pemimpin. Dan sebagai pemimpin saya bukan hanya berkewajiban memenuhi kebutuhan biologis rakyat saya, tapi juga memenuhi kebutuhan batin mereka. Sebagai bangsa mereka butuh kebanggaan, butuh kehormatan, dan hal-hal semacam itu tak kalah pentingnya dibanding mengatasi perut yang keroncongan. Tanpa kebanggaan dan kehormatan, mereka bisa kehilangan alasan untuk melakukan hal-hal lain.”

Itu jawaban yang mengena. Demikianlah memang tugas seorang pemimpin nasional.

Hari ini kita bukan hanya telah kehilangan apresiasi, tapi benar-benar kehilangan kehormatan. Dan ironisnya, yang menggerogoti kehormatan itu adalah para pemimpin bangsa kita sendiri.

Tarli Nugroho