KH Hasyim Asy’ari dan Santrinya

Pada suatu hari di awal abad ke-20 Masehi, salah seorang santri datang ke Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh KH Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Santri itu datang pada Kyai untuk mengadu. Santri itu namanya Basyir, berasal dari kampung Kauman, Yogyakarta.

Kepada Kyai panutannya itu, santri Basyir mengadu tentang seorang tetangganya yang baru pulang dari mukim di Makkah, yang kemudian membuat odo-odo “aneh” sehingga memancing kontroversi diantara masyarakat kampungnya.

“Siapa namanya?” tanya Kyai Hasyim Asy’ari.

“Ahmad Dahlan.”

“Bagaimana ciri-cirinya?”

Basyir menggambarkan ciri-ciri lelaki bernama Ahmad Dahlan tersebut yang tidak lain adalah pendiri gerakan Muhammadiyah.

“Oh! Itu Kang Dahlan!” Kyai berseru gembira.

Orang itu, beliau sudah mengenalnya. Teman seguru dalam pengajian-pengajian Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi di Makkah sana.

“Tidak apa-apa”, kata Kyai yang sering disebut Hadhratusy Syaikh itu, “Yang dia lakukan itu ndalan (sesuai jalan yang benar). Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya. Malah sebaiknya kamu bantu dia.”

Basyir pun patuh pada pesan Kyai Hasyim. Maka ketika kemudian KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, Basyir adalah salah seorang tangan kanan utamanya.

Puteranya, Ahmad Azhar Basyir, beliau titipkan kepada KH Abdul Qodir Munawwir di Krapyak, Yogyakarta, untuk memperoleh pendidikan Al Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pengajian-pengajian KH Ali Ma’shum yang memimpin pondok pesantren Nahdlatul Ulama itu pun tak ditinggalkannya.

Pada tahun1990, K.H. Ahmad Azhar Basyir terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah menggantikan KH A.R. Fahruddin.