Meletakkan Malu Pada Tempatnya

Lina, perempuan tiga puluh lima tahun itu sedang salah tingkah. Biacaranya terbata-bata, kata-kata pembelaan seolah saling berebut untuk keluar dari mulutnya. Dihadapannya adalah seorang lelaki yang baru dilihatnya beberapa saat lalu, ketika ia membuka pintu rumahnya. Laki-laki itu datang membawa sebuah buku yang ia pesan kemarin.

“Jadi bapak ini suaminya mbak ustadzah Izzah ya?”

“Betul bu, kebetulan lagi libur dinas, saya bantu antar dagangan isteri.” Lelaki itu menjawab dengan jelas, semakin membuat Lina salah tingkah.

“Anu, maaf ya pak ustadz saya gak pake apa-apa ini.” Pakaian yang ia kenakanlah yang membuat Lina salah tingkah, sepotong daster tanpa lengan dan hanya sepanjang dengkul, dihadapan seseorang yang disadarinya sebagai Ustadz. “Saya kira tadi tukang kirim paket biasa.. aduh maaf sekali pak..,” nada biacaranya pun semakin mengiba.

“Ya, mungkin ibu lagi buru-buru ya, jadi lupa..,” sang lelaki tak tega melihat ketidakberdayaan Lina dalam rasa malunya. Ia memutuskan untuk segera berpamitan.

Dan Lina pun kapok, dalam hati ia berjanji untuk berpakaian yang pantas, seperti foto profil akun Facebooknya yang selalu rapi berjilbab.

* * *

Malu, perilaku yang digambarkan sebagai bagian dari iman memang seringkali terlupakan. Di lingkungan terdekat, lingkungan kerabat, lingkungan sahabat, lingkungan kerja dan lingkungan-lingkungan lainnya manusia memiliki tingkat rasa malu yang berbeda-beda. Malu yang paling tipis ada pada interaksi suami-isteri yang dituntut untk saling berbagi dalam segala hal dan interaksi biologis. Semain asing, maka tingkat malu akansemakin tinggi.

Malu memang erat kaitannya dengan lingkungan. Malu akan terbangun bersama lingkungan tempat kita berada, pun malu akan terhapus bersama kultur lingkungan yang berinteraksi dengan kita. Membersamai orang-orang yang lurus-lurus saja tentu beda dibandingkan jika terus membersamai penghobi maksiat. Membersamai penghobi maksiat bisa jadi melunturkan rasa malu untuk bermaksiat, sama-sama tahu saja lah! Maka maksiat pun bukan menjadi momok, sebab tak ada tempat untuk meletakkan malu yang telah tergeser oleh kecenderungan maksiat yang sama.

Malu juga bangun bersama kebiasaan, pun tertidur karena kebiasaan. Muslimah yang tak terbiasa berjilbab saat bertetangga, tak akan merasa risih untuk mengurai rambutnya di kalangan tetangga dan abang tukang sayur langganan belanjanya. Bisa jadi muslimah tersebut akan segera berjilbab ketika kolega dari kantornya yang datang, sebab di kantor dia telah terbiasa untuk berjilbab. Padahal muslimah idealnya hanya boleh menanggalkan jilbabnya di hadapan mahramnya. Kepada tukang sayur pun boleh, dengan catatan, sang tukang sayur itu mahramnya.

Ilustrasi di awal artikel mungkin seringkali terjadi. Ketika rasa malu hanya ditunjukkan kepada orang yang pantas untuk dimalui, dalam konteks ini ustadz atau da’i. Da’i memang sering  dipandang sebagai sosok alim yang tidak ideal sebagai manusia zaman kiwari. Bagaimana tidak, di zaman yang menuntut kepragmatisan tingkat tinggi, seorang da’i justru berada dalam jalur lain kehidupan, jalur ideal secara ideologi Islam, namun tak ideal menurut orang kebanyakan. Maka malu pun seringkali ditujukan kepada Da’i, seseorang yang dianggap berbeda secara ideologis sikap dan perilaku dan pandangannya dari orang awam.

Da’i memang memiliki dimensi malu yang berbeda. Tentang dimensi yang berbeda ini juga pernah terjadi di masa Rasulullah, yaitu kepada seorang Utsman Ibn Affan ra, seseorang dengan dimensi malu yang istimewa dibandingkan dengan sahabat-sahabat bahkan dibandingkan dengan Rasulullah SAW sekalipun. Dalam sebuah majelis di rumah beliau, Rasulullah pun langsung berubah sikap ketika tahu bahwa Utsman akan datang. Rasulullah segera menutup betisnya yang sedikit terbuka, demi menyambut kedatangan Utsman. Maka simaklah perkataan baginda Rasulullah, “Bukankah aku harus malu kepada laki-laki yang malaikatpun malu kepadanya?” Itulah utsman, dengan dimensi malu yang melebihi para sahabat, subhanallah!

Namun layakkah, jika seorang da’i, penyeru agama ini, merasa pantas jika malu itu ditujukan kepadanya? Maka tanyakan kepada diri-diri kita, da’i mana yang tak pernah sama sekali berbuat hal-hal memalukan? Da’i mana yang tak pernah sedetikpun bermaksiat kepada Allah. Da’i mana yang tak pernah menyakiti hati saudaranya dengan lincah lidahnya atau otot raganya?

Tersembunyi, mungkin hanya itu saja jawabnya. Aib ini begitu dilindungi oleh Allah, sehingga orang- merasa pantas malu kepada kita. Borok ini telah ditutup rapat dengan kuasa Ilahi, agar tak tersebar anyirnya  dan terlihat jijiknya. Dengan kata-kata manis dan seruan seruan membahana, dengan perbuatan mulia  yang meneladankan di hadapan manusia, maka tertutuplah aib diri.

Ya, memang dialah Allah, tempat segala kepantasan bermuara. Selayaknya rasa malu hanya tertuju untukNya, bukan diri-diri fana para juru dakwah. Pun demikian, rasa malu ummat ini akan sering tertuju kepada Da’i dan Ulama, penerus para Nabi.

Lantas, haruskah mundur dari misi Ilahi karena merasa tak pantas dimalui?

Ah, anggaplah kita agen malu, sebab malu tak tertuju kepada manusia, sejatinya hanya untuk Allah. Biarlah Da’i dimalui, bukankah rasa malu itu bisa dipupuk dari interaksi lingkungan dan kontinuitas kebiasaan? Maka ambillah peran sebagai pembangkit malu di kalangan sekitar kita. Agar lingkungan kita terbiasa untuk malu. Malu jika tak berjilbab, malu jika tak bersholat, malu jika berserapah dan malu-malu lain yang bersumber dari fitrah manusia.

Mari perbaiki akhlak kita, sebab lingkungan kita adalah cermin bagi kita. Bukankah seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Rasa malu kita akan tercermin kepada rasa malu orang-orang di sekitar kita. Siapkan juga benteng di hati, agar rasa malu yang tertuju kepada kita tak lantas bersarang, menginfeksi menjadi riya.

Mari untuk tak berhenti menjadi agen malu yang hanif, sebab maksiatpun memiliki malunya. Ya, maksiat pun memiliki malunya. Seorang perempuan akan malu untuk berjilbab, seorang clubbers malu jika tak clubbing, seorang preman malu untuk sholat, seorang mahasiswa malu untuk membaca qur’an di angkutan umum. Mari untuk tak berhenti menjadi agen malu, agar syetan tak menyeret mereka kepada dimensi lain malu, dimensi malu syaithoni.