Menasihati Penguasa Secara Terbuka

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata:.

Masalah menasehati penguasa, ada dari sebagian orang yang hendak berpegangan dengan sebagian dalil, yaitu mengingkari penguasa secara terbuka, walaupun sikap tersebut hanya mendatangkan mafsadah/ kerusakan.

Di sisi lain, ada sebagian orang yang beranggapan bahwa: mutlak tidak boleh ada pengingkaran secara terbuka, sebagaimana dijelaskan pada dalil yang disebutkan oleh penanya.

Namun demikian, saya menyatakan: dalil-dalil yang ada tidaklah saling menyalahkan dan tidak pula saling bertentangan. Karena itu boleh mengingkari secara terbuka bila dianggap dapat mewujudkan maslahat, yaitu hilangnya kemungkaran dan berubah menjadi kebaikan.

Dan mengingkari secara tersembunyi/rahasia, bila dianggap mengingkari secara terbuka tidak dapat mewujudkan maslahat/kebaikan, sehingga kerusakan tidak dapat ditanggulangi dan tidak pula berganti dengan kebaikan.

Demikian pernyataan beliau dalam Liqa’ Al Baab Al Maftuh.

Sementara itu, pendapat serupa, Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam Tuhfatul Mujib hal 170, cetakan pertama terbitan Darul Haramain Kairo, mengatakan:

“Terdapat hadits yang shahih dari Nabi, beliau bersabda,

أفضل الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر

“Jihad yang paling afdhol adalah mengucapkan kebenaran di sisi penguasa yang zalim.” Kata-kata عندية “di sisi” tidaklah mesti bermakna empat mata.

Sedangkan hadits yang mengatakan,

من كانت لديه نصيحة لذي سلطان فلينصحه سرًّا

“Siapa yang ingin menasehati penguasa maka hendaknya dia memberikan nasehat secara empat mata”, hadits ini asalnya ada di Shahih Muslim tanpa tambahan tersebut.

Redaksi hadits tersebut yang ada di Shahih Muslim adalah,

إنّ الله يعذّب الّذين يعذّبون النّاس في الدّنيا

“Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia” tanpa ada tambahan di atas.

Menyikapi tambahan ini, kita perlu mengadakan pentelaahan. Jika para perawi yang meriwayatkan tambahan itu semisal dengan para perawi yang para perawi yang tidak membawakan tambahan maka tambahan tersebut adalah tambahan yang bisa diterima (baca:shahih).

Demikian pula, jika perawi yang membawakan tambahan itu punya nilai lebih dari pada perawi yang tidak membawakan tambahan maka tambahan tersebut adalah juga tambahan yang diterima (baca:shahih).

Namun jika tambahan tersebut adalah tambahan yang kurang kuat maka status tambahan tersebut adalah tambahan yang syadz (baca:lemah).Kesimpulannya, redaksi di atas adalah tambahan yang syadz (baca:dhaif).

Patut dibedakan antara mengingkari kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyelisihi al Qur’an dan sunnah di atas podium dengan melakukan agitasi agar rakyat memberontak terhadap pemerintah. Agitasi untuk memberontak itu tidak diperbolehkan kecuali jika kita melihat pemerintah memiliki kekafiran yang nyata.”