Menyikapi Perbedaan Awal Ramadhan atau Awal Syawal

Bulan-bulan ini umat Islam di Indonesia sudah memasuki bulan Sya’ban dalam sistem penanggalan Hijriyah. Tidak terasa sebentar lagi kita akan berjumpa kembali dengan bulan suci Ramadhan. Hampir di setiap menjelang atau awal dari bulan Ramadhan selalu muncul isu yang senantiasa muncul dari tahun ke tahun. Isu tersebut tidak lain adalah mengenai penentuan awal masuknya bulan Ramadhan. Hal yang tidak jauh berbeda juga dialami umat Islam Indonesia dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Padahal dalam menyikapi penentuan awal-awal bulan lain, isu ini sangat jarang mencuat ke permukaan, bahkan bisa dibilang hampir tidak pernah muncul. Sebutlah ketika dalam menentukan awal masuknya bulan Muharram, Rajab, atau Sya’ban. Bahkan dalam pemberitaan Kompas dan Metronews, Pimpinan Pusat (PP) Muhamadiyah sudah menetapkan bahwa awal Ramadhan akan jatuh pada tanggal 20 Juli 2012 sejak jauh-jauh hari. Dan kemungkinan besar sangat berpotensi untuk terjadi perbedaan kembali dalam penentuan awal Ramadhan 1433 H ini disebabkan dalam pemberitaan Media Indonesia, Ketua Lajnah Falakiyah PBNU mengatakan awal puasa kemungkinan akan jatuh pada tanggal 21 Juli 2012.

Tulisan ini bersumber dari ceramah yang disampaikan oleh Prof.DR. Ali Mushtafa Yaqub (Imam Besar Masjid Istiqlal yang juga anggota Komisi Fatwa MUI) ketika saya i’tikaf malam ke-29 Ramadhan di Masjid Istiqlal Jakarta setahun yang lalu, dan dimaksudkan untuk membantu umat Islam bagaimana mereka harus bersikap terhadap fenomena tersebut yang hampir terjadi setiap tahun. Sejak jauh-jauh hari Rasulullah SAW sudah menyampaikan kepada sahabat dan umatnya mengenai tuntunan dalam menentukan awal bulan Ramadhan atau awal bulan Syawwal. Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) kamu karena melihat hilal. Apabila kalian terhalang tidak dapat melihat hilal, maka lengkapkanlah puasamu menjadi 30 hari (istikmal).” (HR.Muslim dan Bukhari). Dalam riwayat An Nasa’I ditambahkan dengan redaksi: “…dan berhajilah kamu karena melihat hilal….”  Jika kita mengkaji hadits ini maka sebenarnya hanya ada 2 opsi dalam menentukan awal Ramadhan atau awal Syawwal, yaitu: melihat hilal (rukyatul hilal) atau menggenapkan bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari apabila hilal terhalang oleh mata (istikmal). Tetapi ternyata dalam perjalanannya, umat Islam Indonesia menetapkan awal Ramadhan dan awal Syawwal telah menggunakan 7 opsi.

Opsi pertama dan kedua sesuai dengan tuntunan Nabi SAW di atas, yaitu dengan melihat hilal (rukyatul hilal) dan menggenapkan bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari atau yang biasa dikenal dengan istikmal. Dalam pelaksaan opsi pertama atau dengan cara melihat bulan ini pun masih terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Apakah rukyatul hilal yang digunakan adalah rukyatul hilal global (jatuhnya tanggal 1 bulan Qamariah serentak di seluruh dunia) atau rukyatul hilal lokal (sesuai dengan daerahnya). Di luar kedua opsi di atas ternyata ada yang kemudian menggunakan opsi yang ketiga, yaitu wujudul hilal. Hilal (bulan) itu sudah ada meskipun tidak kelihatan atau belum keluar dari ufuk, dan untuk mengetahui apakah hilal sudah keluar dari ufuk bisa diketahui dengan menggunakan perhitungan astronomi atau ilmu falak. Opsi yang keempat adalah imkaniyatul hilal, yang berarti hilal kemungkinan dapat dilihat. Jika menurut perhitungan astronomi atau ilmu falak hilal kemungkinan dapat dilihat, tetapi hilal ternyata tidak dapat dilihat dengan mata maka menurut opsi ini awal bulan baru penanggalan Qamariah sudah masuk meskipun hilal tidak dapat dilihat mata. Opsi yang kelima yaitu dengan menggunakan perasaan. Jika menurut perasaan guru atau syaikhnya bulan baru sudah masuk, maka berarti sudah masuk waktunya berpuasa atau berhari raya.  Opsi yang keenam yaitu menggunakan tanda-tanda alam berupa pasang surut air laut. Dan opsi yang terakhir yaitu menghindari adanya 2 khutbah dalam satu hari. Akibat opsi yang terakhir ini ada sebagian orang yang tidak mau berhari raya pada hari Jumat karena mereka meyakini jika sehari ada 2 khutbah maka akan terjadi bencana.

Seandainya Rasulullah SAW hidup kembali di zaman ini dan melihat umat Islam di Indonesia seperti ini dalam menentukan awal bulan Ramadhan atau Syawwal, maka tentu Rasulullah akan terheran-heran dan bingung. Padahal Rasulullah dahulu hanya mengajarkan 2 opsi saja dalam menyikapi hal tersebut. Maka kesimpulannya, opsi pertama dan kedua Insya Allah dijamin benar karena tuntunan ini merupakan hadits shahih Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Opsi ketiga dan keempat, masih abu-abu alias bisa saja benar atau bisa juga salah karena opsi ini merupakan hasil ijtihad dari para ulama.  Dan opsi kelima, keenam dan ketujuh dijamin pasti salah karena jauh dari tuntunan Nabi SAW. Syaikh Abdullah bin Bazz, seorang mufti Arab Saudi mengatakan siapa yang menetapkan 1 Ramadhan atau 1 Syawwal tidak menggunakan metode yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW tersebut, maka dia telah membuat syariat dalam agama sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah SWT.

Untuk menyikapi perbedaan yang sering muncul ini, pada tanggal 14-16 Desember tahun 2003, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan pertemuan ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia yang diantara hasilnya yaitu, bahwa yang berhak menentukan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawwal, dan permulaan bulan Qamariah lainnya untuk wilayah NKRI adalah Menteri Agama serta umat Islam Indonesia wajib mentaati ketetapan Menteri Agama dalam masalah ini. Keputusan ini kemudian tertuang dalam fatwa MUI No.2 tahun 2004 dalam rangka menyatukan umat Islam Indonesia sehingga tidak berbeda-beda dalam menentukan permulaan bulan Qamariah, khususnya awal Ramadhan dan awal Syawwal. Maka dalam menyikapi perbedaan penentuan awal Ramadhan atau Syawwal nanti saya berpendapat biarlah kita tetap menunggu pengumuman dari Kementerian Agama RI karena sesuai dengan firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta Ulil Amri diantara kalian…” (QS.An Nissa 59), sambil seraya tetap mempersiapkan datangnya bulan suci Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Pemerintah pun dalam mengambil keputusan selama ini menggunakan metode melihat hilal (rukyatul hilal) sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW di atas. Tetapi walaupun dalam praktiknya nanti kita menemukan perbedaan kembali dalam penentuan awal bulan Qamariah maka kita diminta untuk tetap menghargai pendapat yang berbeda tersebut. Berbeda boleh tetapi kita diminta untuk saling menghormati. Analoginya, kita boleh suka tempe, tapi jangan pernah menghina orang yang tidak suka tempe. Semoga bermanfaat!!!

 

Oleh: Arief Wicaksono, mahasiswa UNJ
Facebook