Rizqi Untuk Sebuah Keluarga

Sudah menjadi hal yang populer bahwa perempuan era sekarang lebih menuntut hak untuk mendapatkan pekerjaan, tentunya diluar pekerjaan utama sebagai ibu rumah tangga. Ya, di sini saya sedang berbicara tentang keluarga atau rumah tangga.

Semoga ada ibroh dan ilmu yang bisa diambil.

Di dalam islam sendiri telah ditegaskan bahwa bekerja dan mencari nafkah adalah tuntutan (atau lebih tepatnya kewajiban) bagi seorang kepala rumah tangga. Perempuan lebih dianjurkan untuk mengurus rumah, suami dan anak-anaknya, seperti yang telah dicontohkan oleh keluarga nabi.

Hal ini bukan karena adanya pembatasan terhadap hak-hak perempuan ataupun diskriminasi, melainkan karena memang sudah merupakan tugasnya masing-masing. Sekalipun bekerja maka urusan rumah, suami dan anak tak boleh ditinggalkan.

Saya mencoba berbagi kisah. Tentang keluarga saya.

Ummi dan Abah saya adalah orang yang hobi berbisnis.
Apapun mereka jalani untuk berbisnis, tentunya yang halal dan baik.

Pernah suatu ketika mereka berdua memiliki dunia bisnis masing-masing, Abah di bisnis A, dan Ummi di bisnis B. Dan keduanya juga (bisa dibilang) sukses mengarungi dan memanagement bisnis masing-masing.

Hingga suatu masa, Abah merasa bahwa Ummi sudah terlalu jauh meninggalkan pekerjaan yang seharusnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya.

Sewajarnya kehidupan berumahtangga, terjadilah cek-cok di sana.

Ummi merasa bahwa yang dilakukannya sudah benar, membantu suami mengumpulkan nafkah bagi keluarga. Juga merasa bahwa tak ada yang kurang dengan kewajibannya sebagai istri dan ibu yang mengurusi rumah dan anak-anaknya.

Sedang Abah menginginkan Ummi hanya fokus dan telaten di rumah, berinteraksi dengan anak-anak, menyiapkan makanan, mengurusi rumah, dan tentunya mengurusi suami.

Klise.

Saya pikir permasalahan seperti di atas juga banyak dialami oleh banyak keluarga. Terutama kalangan perempuan.

Setelah terjadi rembug pada akhirnya Ummi mengalah, lebih karena ketaatan demi mendapat ridha Allah melalui suami. Melepas semua urusan bisnis dan fokus menemani anak-anak dalam masa tumbuh kembangnya. Lebih menyibukkan diri di rumah. Dan memang itu yang sebenarnya Abah inginkan.

* * * * *

Saya tersenyum ketika sedang makan berdua dengan Ummi, ketika itu Ummi bercerita tentang nasihat-nasihat yang Abah berikan padanya saat sedang bercek-cok ria mengenai masalah tersebut.

“Meskipun ummi sama abah tetap bekerja, maka nilai rizqi yang Allah limpahkan juga akan tetap sama dengan hanya Abah seorang yang bekerja. Mau melalui satu ataupun dua pintu, tetap saja yang Allah kasih ya ‘segitu’.”

Secara tidak langsung Ummi kembali mengingatkan pada saya bahwa rizqi itu sudah dijatah dari sononya. Mau didapat dengan cara bagaimanapun ya tetap akan dapat ‘segitu’. Tidak lebih dan tidak kurang.

Sebenarnya permasalahan seperti ini adalah sederhana yang jika tidak disertai ilmu maupun kesadaran akan terkesan menjadi permasalahan mbulet.

Persoalan saluran rizqi bisa menjadi problem ketika orang memandang bahwa rizqi itu hanya rizqinya, bukan rizqi keluarga. Suami yang sukses kemudian menjadi GR memandang rendah isterinya yang cuma nyadong. Sebaliknya ketika saluran rizqi berpindah melalui isteri, sang isteri juga kemudian menjadi GR, memandang sebelah mata terhadap suami. Inilah yang sering menjadi kerikil tajam meski rizqi melimpah. Padahal sebenarnya rizqi itu adalah rizqi milik bersama. Bersama sekeluarga.

Alhamdulillah hingga saat ini hampir segala kebutuhan dalam keluarga ini selalu terpenuhi. Dalam obrolan kala itu Ummi sedikit berceramah tentang perbedaan antara keingingan dan kebutuhan. Berbicara tentang kekuasaan Allah, tentulah Allah yang lebih mengerti tentang hamba-hambaNya.

Ummi juga mengingatkan untuk selalu bersyukur dan tidak menjadi orang yang kufur nikmat. Memanfaatkan pemberian (atau lebih tepatnya titipan) Allah untuk hal kebaikan jika ingin dilipatgandakan pahalanya. Menghindari segala bentuk kesia-siaan.

“La insyakartum la aziidannakum…”

* * * * * *

Jangan hanya keasyikan shalat malam sampai melalaikan shalat dhuha.

“Kekasihku, Rasulullah SAW berwasiat kepadaku mengenai tiga hal :

  • Agar aku berpuasa sebanyak tiga hari pada setiap bulan,
  • Melakukan sholat dhuha dua raka’at dan
  • Melakukan sholat witir sebelum tidur.”

( H.R. Bukhari & Muslim ).

Dari Abu Hurairah Rasulullah saw telah bersabda,

“Sesungguhnya di surga itu ada sebuah pintu yang disebut pintu Dhuha. Kelak di hari kiamat, para penikmat dhuha akan diundang secara khusu. Dikatakan kepada mereka, inilah pintu masuk kalian. Masuklah dengan rahmat-Ku.” (HR. Ath Thabarani)

Didalam Surah Adh-Dhuha Allah berkata:

“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi.”

Pernahkah terlintas dalam benak kita mengapa Allah sampai bersumpah pada kedua waktu tersebut?

Pada waktu itulah Allah sangat memperhatikan hambaNya yang getol mendekatkan diri. Ditengah malam yang sunyi, dimana mayoritas orang sedang tidur nyenyak tetapi hamba Allah yang pintar mengambil kesempatan disaat itu dengan bermujahadah melawan kantuk dan dinginnya malam dan air wudhu, bangun untuk menghadap, tidak lain hanya untuk mendekatkan diri kepadaNya.

Demikian juga dengan waktu dhuha, dimana orang-orang sibuk dengan kehidupan duniawinya. Mereka yang mengerti tentang faidahnya pasti akan meluangkan waktu sebentar untuk kembali mengingat Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Zaid bin Arqam ketika beliau melihat orang-orang yang sedang melaksanakan shalat dhuha;

“Ingatlah, sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa shalat mereka saat ini adalah lebih utama. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Shalat dhuha itu (shalatul awwabin) shalat orang yang kembali kepada Allah, setelah orang-orang mulai lupa dan sibuk bekerja, yaitu pada waktu anak-anak unta bangun karena mulai panas tempat berbaringnya.” (HR Muslim).

Ada lagi sebuah hadits yang tak kalah menariknya,

Dari Abu Buraidah bahwa Rasulullah SAW bersabda;

“Dalam tubuh manusia itu terdapat 360 ruas tulang. Ia diharuskan bersedekah untuk tiap ruas itu”. Para sahabat bertanya: “Siapa yang kuat melaksanakan itu wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab: “Cukuplah diganti dengan mengerjakan dua rakaat shalat Dhuha”.

Subhanallah,

* * * * *

Hal-hal atau ibadah sunnah seperti di atas hampir setiap hari Ummi lakukan disetiap ada kesempatan. Menjadi lebih intens setelah memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan atau bisnis yang mengharuskannya berkeliaran di luar rumah. Hingga sekarangpun masih sering saya lihat beliau mengamalkannya.

Sementara Abah bekerja, Ummi berdo’a. Sebuah aktifitas yang serasi. Ikhtiar yang mereka lakukan benar-benar terasa imbasnya untuk keluarga secara keseluruhan.

Berbicara tentang rizqi bagi setiap individu di dalam keluarga, tentu akan terjawab setelah rizqi untuk keluarga itu sendiri terpenuhi.

Oleh: Ibrahim Vatih, Jogja
FacebookBlogTwitter