Sudah Mandi Besar, Haruskah Wudhu’ Lagi?

Sebagaimana judul di atas, mungkin sering kali pertanyaan tersebut terlintas di benak sebagian orang, terutama orang yang pernah atau sedang dalam keadaan junub. Ketika seseorang mendapatkan hadats besar (menjadi junub), maka konsekuensinya ia harus menyucikan dirinya dari hadats tersebut dengan mandi atau yang lebih kita kenal dengan mandi besar atau mandi junub.

Namun pertanyaannya, apakah setelah mandi tersebut kita harus wudhu’ lagi agar dapat melakukan salat misalnya. Atau apakah mandi besar itu sudah dianggap cukup dan tidak perlu wudhu’ lagi? Nah, insya Allah lewat tulisan ini kita akan menjawab pertanyaan tersebut. Tapi ada baiknya sebelum kita masuk pada inti permasalahan, kita ketahui terlebih dahulu apa itu definisi junub.

Definisi Junub

Kata junub berasal dari bahasa Arab (جنب), asal katanya adalah janabah (جنابة). Menurut Ibnu Mandzur (630-711 H) dalam kitabnya Lisanul ‘Arab kata janabah berarti air mani. Sedangkan kata junub, beliau mendefinisikannya dalam kitab karyanya tersebut dengan mengutip perkataan Ibnu Al Atsir (555-630 H), adalah orang yang wajib melakukan mandi karena disebabkan jima’ atau keluarnya mani.

Sedangkan menurut Ibnu Hazm dalam kitabnya Al Muhalla bil Atsar, kata janabah mengandung arti jenis air yang terbentuk darinya seorang anak manusia. Air tersebut jika dari seorang laki-laki warnanya putih, kental dan baunya seperti bau tepung sari. Sedangkan jika dari seorang perempuan, warnanya kuning dan agak encer. Maka air yang seperti itu mewajibkan mandi besar. Sedangkan jika air tersebut keluar dari seseorang yang mandul, dengan kata lain air tersebut tidak tumbuh menjadi janin. Maka yang seperti itu tidak mewajibkan mandi besar.

Perbedaan Mandi Besar dan Wudhu’

Setelah kita mengetahui definisi junub dan janabah dari uraian di atas, sekarang kita kembali kepada pokok permasalahan. Di atas telah disinggung bahwa mandi besar adalah bersuci dari hadats besar, sedangkan wudhu’ adalah bersuci dari hadats kecil. Artinya masing-masing hadats tersebut memiliki cara tersendiri dalam penyuciannya. Jika seseorang dalam keadaan suci, kemudian ia berhadats besar maka agar dia menjadi suci lagi, caranya dia harus mandi junub bukan berwudhu’ karena wudhu’ adalah cara bersuci dari hadats kecil. Dan otomatis setelah mandi junub ia dalam keadaan suci kembali tanpa harus berwudhu.

Namun permasalahannya adalah jika seseorang dalam keadaan suci, kemudian ia mendapatkan dua hadats sekaligus (hadats kecil dan hadats besar) seperti orang yang berjima’ kemudian dia buang air kecil. Maka apakah dia harus mandi besar kemudian berwudhu, atau cukup dengan mandi besar saja?. Di sini para ulama berbeda pendapat.

Pendapat Para Ulama

Di dalam kitab Al Mughni Al Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadzi Al Manhaj karya Ibnu Ahmad Al Khatib Asy Syarbini, seorang faqih bermadzhab Syafi’i, beliau menyebutkan ada 3 pendapat dalam masalah ini. Salah satunya adalah pendapat yang masyhur dalam madzhabnya yaitu Mazhab Syafi’i. Sedangkan kedua pendapat lainnya tidak disebutkan siapa yang mengemukakannya.

1. Pendapat pertama yang dipakai dalam mazhab Syafi’i, bahwasanya jika seseorang junub sekaligus berhadats, maka cukup bersuci dengan mandi besar. Baik dia mengiringinya dengan niat wudhu’ ataupun tidak. Baik dia –di dalam mandi besar itu— menyuci anggota wudhunya secara berurutan ataupun tidak. Karena wudhu’ itu sudah tercakup oleh mandi besar. Ketika kita berwudhu’, kita hanya mencuci beberapa anggota badan saja. Sedangkan ketika kita mandi besar, seluruh badan kita tercuci tanpa terkecuali. Ini didasarkan oleh sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jubair bin Muth’im.

أَمَّا أَنَا فَأُحْثِيَ عَلَى رَأْسِي ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ فَإِذَا أَنَا قَدْ طَهُرْت

“Adapun aku (ketika mandi besar) menuangkan air di atas kepalaku dengan tiga kali tuangan, maka ketika itu aku suci.”

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah mandi junub menyatakan bahwa dirinya telah suci (dari janabah atau hadats) padahal beliau tidak berwudhu. Dan beliau pun di dalam hadits tersebut tidak menyatakan apakah sebelumnya beliau hanya junub (hadats besar) atau sekaligus berhadats (hadats kecil). Artinya hukum yang diambil dari hadits ini bersifat umum dan berlaku untuk orang yang mandi karena junub saja dan juga berlaku untuk orang yang mandi karena sebelumnya mengalami janabah dan hadats kecil sekaligus.

2. Pendapat kedua mengatakan tidak cukup hanya dengan mandi saja walaupun diingiri dengan niat wudhu’, tetapi harus disertai dengan wudhu’ itu sendiri (tidak hanya niatnya saja). Dengan alasan bahwa kedua hadats itu (hadats kecil dan hadats besar) berbeda jenis sehingga cara bersucinya pun harus berbeda, tidak bisa salah satu mewakili yang lain. Jadi apabila seseorang berhadats dengan kedua hadats tersebut, maka masing-masing cara bersucinya pun harus dilakukan, yaitu wudhu’ untuk hadats kecil dan mandi untuk hadats besar.

3. Sedangkan pendapat ketiga mengatakan jika mandinya diiringi dengan niat wudhu’ maka itu cukup. Meskipun tidak mencuci anggota wudlunya secara berurutan.

Penutup

Melihat ketiga pendapat di atas, penulis lebih condong kepada pendapat yang pertama dengan dua alasan.

Pertama, bahwa syariat Islam itu adalah syariat yang berdiri di atas kemudahan. Sehingga jika ada dua pilihan dimana salah satunya lebih mudah dan yang lainnya lebih sulit, maka harus dipilih yang lebih mudah selama tidak bertentangan dengan dalil yang shohih baik itu dari Al Quran, As Sunnah ataupun ijma’ para ulama.

Kedua, pada kenyataannya kemudahan tersebut tidak bertentangan dengan dalil syar’i, justru didukung dengan dengan dalil dari hadits nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana yang sudah disampaikan di atas. Walaupun penunjukkan hukumnya hanya dipahami secara mafhum (implisit) bukan secara manthuq (eksplisit).

Wallahu A’lam.

Oleh: Muhammad Abdul Wahab