Tak Sekedar Status, Melainkan Peran

Suatu hari, salah seorang sahabat saya bertanya, “Ga, memangnya kualitas seseorang itu ditentukan dari seberapa tinggi jabatan orang tersebut ya?”

Dan jawaban saya adalah, “Tergantung. Ya, semuanya berhubungan dengan dimana kamu berada dan seperti apa paradigma orang-orang yang ada di dalamnya terkait hal itu? Karena hal itu pun akhirnya tergantung dengan sistem yang berlaku di dalamnya?”

Saya yakin, pasti sahabat saya itu langsung bingung ketika mendapatkan jawaban saya itu. Akhirnya, saya pun berkewajiban menjelaskannya dengan lebih sederhana lagi. Dan lagi-lagi, jawaban saya selalu tergantung atau relatif. Karena toh di dunia ini apalagi yang absolut selain realita dan perangkat-perangkat dari takdirNya?

Sahabat, mungkin tak sedikit yang berpendapat bahwa orang yang menjadi pemimpin nomor satu di sebuah lembaga adalah orang yang paling hebat di antara yang lain. Atau pemimpin di sebuah perusahaan besar, siapa pula yang tidak menganggapnya sebagai orang yang luar biasa? Pasti semua sepakat bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang memiliki kapasitas lebih, salah satunya tentu dalam memimpin ketimbang yang lainnya. Minimal mereka telah berani menghadapi resiko dalam menjalani perjalanan kepemimpinan itu sendiri. Bahkan di saat yang lainnya hanya berani untuk memandang dan mengamati, atau tak siap menghadapi serba-serbi tantangan yang akan ditemui ketika nantinya menjabat bidang tertentu di sebuah struktur.

Pandangan bahwa kualitas seseorang itu ditentukan oleh jabatan atau hal-hal struktural yang ada, bukanlah jawaban yang salah. Namun, saya pribadi berpendapat bahwa bukan hanya itu satu-satunya jawaban. Misalnya, kalau kita ingin memfokuskan permasalahan ini pada kepemimpinan sebagai standar kualitas tertinggi seorang manusia, maka pertama-pertama kita pun harus kembali pada makna kepemimpinan atau pemimpin itu terlebih dahulu.

Kepemimpinan dan pemimpin merupakan dua hal yang tidak sama. Pertama, tentang kepemimpinan yang dapat diartikan sebagai kemampuan pemimpin, gaya dalam memimpin, atau dinamika saling mempengaruhi yang terjadi dalam kelompok dimana kelompok ‘memimpin’ dirinya sendiri melalui aturan-aturan yang dibuatnya. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun kita akan menemukan “n perihal pemimpin; cara memimpin: mahasiswa tetap mendukung cara ~ nasional Presiden” untuk kata kepemimpinan.

Kedua, pemimpin. Kembali berpedoman pada KBBI bahwa pemimpin ialah orang yg memimpin: ia ditunjuk menjadi ~ organisasi itu; 2 petunjuk; buku petunjuk (pedoman): buku ~ montir mobil;~ produksi produser. Jika ditinjau lebih jauh lagi, kita akan menemukan hakikat dari pemimpin itu sendiri. Pemimpin bukanlah ketua atau atasan, sehingga nantinya yang tidak memimpin bukanlah pemimpin. Bukan itu. Setiap orang mungkin saja mendapatkan “pimpinan” dari lebih satu orang. Pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi dan menjadi rujukan atau pedoman bagi orang yang ingin dipimpinnya.

Melihat kedua penjabaran definisi tersebut, maka kita akan kembali diingatkan bahwa pemimpin bukanlah status. Akan tetapi, ia adalah peran dan siapapun dapat melakukannya meskipun dia tidak menjadi seorang ketua di dalam struktur manapun. Jadi, jika standar yang kita gunakan adalah kepemimpinan atau pemimpin tadi. Maka, jawabannya adalah seseorang dapat dikatakan berkualitas jika ia memiliki kemampuan mempengaruhi atau menjadi pedoman yang berkualitas pula. Sekali lagi, meskipun dia tidak menjabat sebagai ketua atau atasan di organisasi atau lembaga manapun.

Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah salah jika kita menjadi ketua di suatu lembaga tertentu? Jawabannya tentu tidak. Akan tetapi, rasanya tidak perlu jika hal itu dijadikan sebagai bagian dari ambisi yang harus kita kejar. Bukankah yang perlu kita kejar adalah kualitas itu tadi? Jadi, idealnya yang harus menjadi fokus kita adalah kemampuan dalam memimpin. Hal ini berarti, semakin hari kemampuan kepemimpinan kita terus meningkat dan semakin baik agar kita bisa berperan lebih dalam setiap kesempatan apapun. Lambat laun, akan banyak mata yang memandang dan mengakui kualitas pada diri kita. Dan semua pasti percaya bahwa pada dasarnya setiap orang atau manusia itu adalah pemimpin. Minimal, pemimpin bagi dirinya sendiri.

Ada sebuah cerita yang saya rasa bisa kita gunakan sebagai contoh untuk menggambarkan hal-hal yang ada di dalam pembahasan ini. Anggaplah tokoh dalam cerita tersebut adalah Tio dan Rio. Keduanya merupakan teman dekat dan turut aktif di sebuah organisasi kampus yang sama. Di suatu masa kepengurusan, Tio mengajukan diri menjadi ketua di lembaga tersebut dan akhirnya dipercaya oleh seluruh anggota di dalam organisasi tersebut untuk menjadi ketua selama waktu kepengurusan tertentu. Di lain sisi, Rio yang merupakan teman dekat Tio, pada akhirnya hanya menjabat sebagai ketua di salah satu bidang saja. Tentunya jelas bahwa pada kondisi ini Tio merupakan atasan Rio di dalam organisasi tersebut.

Seiring berjalannya waktu. Rupanya di belakang layar, diam-diam Tio sangat mempercayai Rio teman dekatnya itu. Setiap kali Tio akan menetapkan sebuah keputusan di organisasinya, maka sebelumnya Tio akan mengajak Rio untuk berdiskusi dan meminta saran atau masukan darinya. Jadilah, kebanyakan dari keputusan yang ada di organisasi tersebut merupakan bagian dari hasil diskusi Tio dengan Rio. Sedangkan, terkait hal itu Rio tidak jadi angkuh dan tak memberitahukannya kepada siapapun. Rio hanya fokus dengan tugas dan kewajibannya. Nah dalam cerita tersebut, siapakah kiranya yang merupakan pemimpin? Tio atau Rio? Untuk menjawabnya, mari kita kembali kepada makna pemimpin dan kepemimpinan yang telah kita bahas sebelumnya. Pemimpin itu bukanlah status, namun ia adalah peran.

Kemudian, bagaimana jika seseorang diminta untuk memimpin suatu organisasi, kelompok, atau komunitas tertentu? Kalau memang di saat itu semua harapan tertuju pada kita, maka lakukan saja. Amanah tak akan pernah salah dalam memilih pengembannya. Hanya saja, terkadang rasanya ada saja yang salah. Bisa jadi itu berarti bahwa diri sang pengemban amanah tersebut justru alpa dan lalai. Status yang dipercayakan bagi diri kita adalah sebuah hal yang hakikatnya merupakan sebuah ujian bagi kita untuk membuktikan sejauh mana kita bisa mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas diri kita. Sehingga, amatlah penting jika kita terus berusaha memimpin diri kita, yaitu dengan akhlak yang baik untuk senantiasa menjaga kepercayaan dan amanah yang disandangkan di dalam diri. Selain itu, bukankah ketika ujian itu datang, hal ini menandakan bahwa kita akan menghadapi derajat yang lebih tinggi lagi? Bukan sekedar derajat duniawi, akan tetapi derajat di hadapan Rabb semesta alam.

Wallahua’lam.

 

Oleh: Mega Trishuta Pathiassana, Depok
FacebookTwitterBlog