Tata Kelola Bisnis MLM Ditinjau Dari Sudut Pandang Syariah

Semakin berkembangnya teknologi dan pemikiran maka tercipta lah inovasi – inovasi di berbagai segi kehidupan. Tidak terkecuali dalam dunia bisnis, timbul pula cara – cara berbisnis yang dirasa semakin efektif dan tetap menguntungkan. Salah satu dari cara berbisnis yang merupakan suatu inovasi yakni dengan sistem Multi Level Marketing (MLM). Sebenarnya agak sulit untuk membedakan bisnis yang benar – benar syariah dan tidak, sebab dewasa ini banyak bisnis yang membawa nama syariah hanya untuk keuntungan semata. Dalam MLM, untuk memandang syariah atau tidak dalam segi produk mungkin dapat dibedakan secara kasat mata, apakah produk tersebut halal atau tidak. Namun dalam hal manajemen, tata kelola dan skema keuntungan yang masih dipertanyakan.

Ada empat bentuk cara menjual, yakni dengan membangun Jaringan Distribusi. Contohnya Alfamart, Indomaret, Unilever. Kemudian ada Direct Selling, yakni metode menjual dengan memperkenalkan produk langsung kepada konsumen. Yang ketiga ada Multi Level Marketing (MLM), yang sama dengan direct selling, hanya saja di dalamnya ada sistem level atau tingkatan pada membernya. Dan yang terakhir ada Online Marketing, seperti yang kita kenal dengan tokobagus.com, OLX.com dan sebagainya.

Dari hasil beberapa survey, ada beberapa poin mengapa banyak orang yang tertarik untuk bergabung dengan bisnis MLM. Diantaranya, menjanjikan kaya dalam waktu singkat, bebas finansial, memerlukan modal sedikit, jadi dapat mengikuti bisnis dengan mudah. Disamping itu, kelebihan dari bisnis MLM sendiri yakni memotong biaya promosi, namun biayanya dialokasikan ke bonus member, dan inilah yang menjadi daya tarik dari bisnis MLM. Bisnis ini juga dapat memutus rantai distribusi serta dapat membangun jaringan pemasaran dan konsumen tanpa batas waktu dan wilayah.

Namun ternyata banyak yang berbeda pada prakteknya. Di antaranya perubahan orientasi. Penjualan produk bukan lagi orientasi utama dalam bisnis ini, karena yang ditekankan disini adalah membuka jaringan, sebab memperbanyak jaringan berarti menambah bonus. Maka, adanya produk hanya sekedar kamuflase. Disamping itu, terjadinya persaingan antar-member, bahkan tidak jarang direktur juga ikut menjadi member. Hal ini dapat melanggar kode etik dalam bisnis.

Disamping itu, bila ditinjau dalam ranah syariah, hukum suatu transaksi muamalah adalah boleh, sampai ada dalil yang melarangnya. Disamping itu dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa sahnya suatu transaksi muamalah adalah yang tidak mengandung unsur riba, maysir dan gharar serta sama – sama suka. Dari perspektif ini, kita dapat mengambil intisari bahwa dalam hal muamalah terbuka luas inovasi dan kreativitas, termasuk juga bisnis MLM. Berdasarkan DSN MUI No. 75/VII/2009 tentang PLBS indikasi akad yang terdapat dalam MLM ada tiga, yang mana dari ketiga akad ini juga tidak murni terjadi di jalur yang semestinya pada MLM, yakni:

  • Jual – beli. Artinya pertukaran barang dan berpindahnya hak kepemilikan. Dalam hal ini, konsep yang terjadi dalam MLM adalah sang calon member memberi sejumlah uang kepada perusahaan MLM, dan sebagai imbalannya sang calon member menerima suatu produk. Namun, ternyata jual – beli bukanlah merupakan orientasi utama seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahkan komoditi hanya sebagai kamuflase.
  • Samarah. Artinya, suatu profesi yang menyambungkan antara perusahaan dengan pembeli. Dapat disebut sebagai distributor. Dalam bisnis MLM, membangun jaringan merupakan agenda utamanya, dan member yang satu akan mengajak orang lain untuk menjadi member dan menghubungkannya dengan perusahaan MLM. Namun dalam MLM ternyata akad samsaroh dapat terjadi bersamaan dengan jual – beli, dan ini dilarang sebab jual – beli dan samsaroh memiliki sifat yang bertolak belakang.
  • Ju’alah. Artinya adalah janji untuk memberikan bonus atau upah atas usaha atau prestasi seseorang. Nilai bonus ini harus jelas, adil dan diketahui dengan jelas oleh pekerja. Inilah yang paling dikenal dalam MLM. Sistem bonus yang akan didapat, baik itu bonus karena telah memperbanyak jaringan, bonus akhir tahun dan bonus lainnya. Namun pada prakteknya, misalnya member mendapatkan bonus apabila mengajak orang lain untuk ikut serta bergabung dalam bisnis tersebut. Tapi bukan hanya member yang mengajak atau downline yang medapat bonus, melainkan member atasan yang biasa disebut upline juga mendapat bonus. Hal ini agak ganjil, sebab yang berusaha adalah downline, mengapa upline ikut pula mendapat bonus? Disamping itu, MLM juga mengimingi bonus yang belum tentu dan belum pasti, dan hal ini dilarang sebab mengandung unsur gharar.

Asal mula adanya MLM berawal dari strategi marketing dengan direct selling, yakni memperkenalkan produk kepada masyarakat. Bila produk yang ditawarkan merupakan produk yang berkualitas dan bermutu mungkin baik, namun apabila produknya tidak dapat bersaing ketika masuk ke pasaran, maka buat apa? Selain itu, dalam MLM juga banyak mengadakan seminar motivasi dan training yang isi materinya benar – benar bermanfaat dan membangun. Namun terdengar juga kasus bahwa ada mahasiswa yang sering bolos atau bahkan meninggalkan kuliah hanya untuk bergabung dengan MLM, maka hal ini menjadi sangat tidak dianjurkan. Beranjak dari itu semua, sekali lagi ditekankan bahwa dalam hal muamalah memang terbuka luas pintu ijtihad dan kreativitas, namun jika memang masih ragu dan memandang bahwa hal itu syubhat, maka Islam menganjurkan untuk menjauhinya.

(Diskusi Kontemporer Bulanan STEI SEBI, dengan Pemateri: Dadang Romansyah, SE., AK., CA., SAS., MM | Irvandi Siahaan | Firmansyah, SEI., MM)