3 Tingkatan Keshabaran

Menurut pengarang Maiiazilus-Sa’irin, ada tiga derajat shabar, yaitu:

  1. Shabar dalam menghindari kedurhakaan, dengan memperhatikan peringatan, tetap teguh dalam iman dan mewaspadai hal yang haram. Yang lebih baik lagi adalah shabar menghindari kedurhakaan karena malu.

Ada dua sebab dan dua faidah shabar dalam menghindari kedurhakaan. Dua sebabnya adalah:

– Takut terjadinya peringatan, sebagai akibat dari kedurhakaan itu.

– Malu terhadap Allah, karena nikmat-Nya dibalas dengan kedurhakaan.

Adapun dua faidahnya adalah:

– Tetap teguh dalam iman.

– Mewaspadai hal-hal yang haram.

Memperhatikan peringatan dan takut kepadanya membangkitkan kekuatan iman terhadap pengabaran dan pembenaran kandungan-nya. Sedangkan malu terhadap Allah membangkitkan kekuatan ma’rifat dan mempersaksikan makna-makna asma dan sifat-Nya. Yang lebih baik lagi jika pendorongnya adalah cinta, sehingga seorang ham-ba tidak mendurhakai-Nya karena cinta kepada-Nya. Sedangkan keteguhan dalam iman mendorong untuk meninggalkan kedurhakaan. Sebab kedurhakaan pasti akan mengurangi iman atau bahkan menghilangkannya sama sekali, memadamkan cahayanya, melemahkan kekuatannya dan mengurangi buahnya. Sedangkan mewaspadai halhal yang haram merupakan keshabaran meninggalkan hal-hal yang mubah, sebagai kehati-hatian agar tidak menjurus kepada yang haram.

  1. Shabar dalam ketaatan, dengan menjaga ketaatan itu secara terus-me nerus, memeliharanya dengan keikhlasan dan membaguskannya dengan ilmu.

Pernyataan pengarang Manazilus-Sa’irin ini menunjukkan bahwa ketaatan yang dilakukan dapat menjadi pendorong untuk meninggal-kan kedurhakaan, sehingga keshabaran dalam melaksanakan ketaatan ini setingkat lebih tinggi daripada keshabaran meninggalkan kedurhakaan.

Yang benar, dan seperti yang telah dijelaskan di atas, meninggalkan kedurhakaan hanya sekedar menyempurnakan ketaatan. Syaikh menyebutkan bahwa shabar dalam derajat ini dilakukan dengan tiga cara:

Terus-menerus taat, ikhlas dalam ketaatan dan melaksana-kannya menurut ilmu atau membaguskannya dengan ilmu. Ketaatan menjadi mundur jika kehilangan salah satu dari tiga perkara ini. Jika seorang hamba tidak menjaga ketaatan secara terus-menerus, maka ia akan menggugurkan ketaatan itu. Jika dia menjaganya terus-menerus, maka di hadapannya ada dua perintang: Tidak ikhlas, seperti dimak-sudkan karena selain Allah, dan pelaksanaannya yang tidak berdasar-kan ilmu, seperti tidak mengikuti As-sunnah.

  1. Shabar dalam musibah, dengan memperhatikan pahala yang baik, menunggu rahmat jalan keluar, meremehkan musibah sambil menghitung uluran karunia dan mengingat nikmat-nikmat yang telah lampau.

Inilah tiga pakaian keshabaran yang dapat dikenakan seorang hamba ketika mendapat musibah.

Pertama, memperhatikan pahala yang baik. Seberapa jauh perhatian, pengetahuan dan keyakinannya terhadap pahala ini, maka sejauh itu pula dia akan merasa ringan dalam memikul beban musibah, karena dia merasa akan mendapatkan pengganti. Hal ini seperti orang yang sedang membawa beban yang amat berat, dan dia melihat hasil dan keuntungan yang baik pada akhirnya. Jika tidak demikian, maka ba-nyak kemaslahatan dunia dan akhirat yang akan terbuang sia-sia. Seorang hamba lebih suka mengemban beban dunia karena ingin mendapatkan hasil di akhirat. Sementara jiwa lebih menyukai kesenangan yang ada di dunia. Tapi akal yang sehat lebih condong ke hasil di ke-mudian hari.

Kedua, menunggu rahmat jalan keluar atau kenikmatannya. Menunggu-nunggu kenikmatan jalan keluar dari musibah dapat meringankan beban musibah dan kesulitan yang sedang dihadapi, apalagi jika disertai kekuatan harapan dan usaha mencari jalan keluar.

Ketiga, meremehkan musibah, yang dapat dilakukan dengan dua cara: menghitung karunia Allah yang telah dilimpahkan kepadanya, dan mengingat-ingat nikmat Allah yang pernah diterimanya. Yang pertama berkaitan dengan keadaan dan yang kedua berkaitan dengan masa lampau.

Pengarang Manazilus-Sa’irin, mengatakan, “Shabar yang paling lemah ialah shabar karena Allah. Ini merupakan keshabaran orang-orang awam. Di atasnya adalah shabar berkat pertolongan Allah. Ini merupakan keshabaran orang-orang yang menghendaki Allah. Di atasnya adalah shabar menurut hukum Allah. Ini merupakan keshabaran orang-orang yang berjalan kepada Allah.

Keshabaran karena Allah yang merupakan keshabaran orang-orang awam ialah keshabaran mengharapkan pahala-Nya dan takut siksa-Nya. Keshabaran orang-orang yang mengharapkan Allah adalah keshabaran berkat kekuatan dari pertolongan dari Allah. Dua golongan ini tidak melihat ada keshabaran pada dirinya dan tidak pula mempunyai kekuatan untuk shabar. Di atasnya adalah keshabaran menurut hukum Allah. Artinya dia shabar mendapatkan hukum-hukum yang berlaku bagi dirinya, yang disukai maupun yang dibencinya.

Menurut pengarang Manazilus-Sa ‘irin, keshabaran karena Allah merupakan keshabaran yang paling lemah. Yang benar, shabar karena Allah lebih tinggi daripada shabar berkat pertolongan Allah. Karena shabar karena Allah berkaitan dengan Uluhiyah-Nya, sedangkan shabar berkat pertolongan Allah berkaitan dengan Rububiyah-Nya. Apa-apa yang ber-kait dengan Uluhiyah-Nya lebih sempurna daripada apa-apa yang berkait dengan Rububiyah-Nya. Di samping itu, shabar karena Allah merupakan cermin ibadah, dan shabar berkat pertolongan Allah merupakan permohonan uluran pertolongan dari-Nya. Ibadah merupakan tujuan dan permohonan pertolongan merupakan sarana. Shabar berkat pertolongan Allah menjadi hak persekutuan bagi orang Mukmin dan kafir, orang baik dan orang buruk. Setiap orang yang mempersak-sikan hakikat alam tentu mendapatkan keshabaran dari Allah. Sedangkan shabar karena Allah merupakan tempat persinggahan para nabi, rasul, shiddiqin dan orangorang yang mengamalkan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.

Shabar menurut hukum-hukum Allah artinya shabar menerima takdir- Nya. Shabar ini ditempatkan pada tingkatan ketiga dan yang paling tinggi.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, shabar dalam ketaatan dan shabar menjauhi kedurhakaan, lebih sempurna daripada keshabaran menerima takdir-Nya, seperti keshabaran Yusuf Alaihis-Salam. Keshabaran beliau dengan tetap menjaga ketaatan dan menjauhi kedurhakaan merupakan keshabaran atas pilihan sendiri, karena cinta kepada Allah.

Sedangkan keshabaran menerima hukum-hukum Allah merupakan keshabaran yang pasti dan tidak bisa dihindari. Tentu saja ada per-bedaan di antara keduanya.