“Shalih bukanlah sendiri. Bahwa baik bukanlah egois. Baik, shalih adalah berjama’ah. Ia harus terus digalakkan hingga kemenangan Islam benar-benar mengejawantah. Hingga kebenaran hakiki benar-benar membumi, termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari.”
Apapun yang terjadi, hidup harus kita lanjutkan. Karena berhenti berjuang di tengah jalan sama dengan mundur yang artinya kalah sebelum bertarung. Meski masalah menumpuk, cobaan menanti, kita tak boleh menyerah. Kita harus senantiasa menghiasi hari dengan penuh semangat, semangat para mukminin untuk menyambut janji suci dari Sang Maha Suci, Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Semangat hidup, harus kita kobarkan, selamanya. Karena hidup, tak mengenal siaran tunda.
Perlahan namun pasti, waktu berlalu dengan setiap kesannya. Ia berlalu begitu cepat, tanpa terasa. Ia menipu siapa saja yang tak pernah memperhatikannya. Benarlah apa yang difirmankanNya. “ Demi Masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.” ( Al Ashr: 1-2 ). Dari ayat ini, kita mengetahui bahwa semua manusia berada dalam kerugian. Rugi dalam berbagai batasnya, rugi dalam berbagai bentuknya.
Ada yang rugi karena bisnisnya bangkrut. Ada yang rugi karena ditinggal pasangan hidupnya. Adapula yang rugi karena kehilangan kesempatan berbuat kebaikan. Ada juga yang merugi lantaran melewatkan kesempatan emas untuk memberikan yang terbaik bagi teman hidupnya. Singkatnya, “Mereka yang hari ini sama dengan hari kemarin,” sebagaimana sabda Nabi, “Adalah orang yang merugi.”
Adalah tidak adil jika Allah hanya menciptakan rugi tanpa pasangan. Karena sunnahNya berlaku dalam setiap kondisi. Ada benar, pastinya ada salah. Ada laki-laki, pastinya ada wanita. Begitupun seterusnya. Maka, ada rugi pastinya ada pula untung. Lalu , siapakah yang beruntung?
“Kecuali orang yang beriman, dan beramal shalih, saling nasihat menasihati dalam kebenaran, dan saling nasihat menasihati dalam kesabaran.” (Al Ashr: 3). Ya. Empat hal itulah yang akan membuat kita beruntung. Empat hal inilah yang merupakan konsep keberuntungan dalam Al Qur’an. Ia adalah manhaj yang sangat jelas. Sebuah panduan yang tidak mungkin keliru. Mereka yang beriman, beramal shalih, saling meningatkan dalam kebenaran dan kesabaran, adalah mereka yang beruntung. Selainnya? “MERUGI!”
Pertama, iman. Iman adalah yakin. Yakin yang berlanjut dengan koma, bukan titik. Maka, iman adalah meyakini yang diringi dengan amal. Iman yang tak berujung pada amal, adalah bohong. Ia palsu dan tak bermakna. Masih jelas dalam ingatan kita, betapa berimannya para penentang dakwah Rasulullah. Sebut saja Abu Jahal, Abu Lahab, juga Paman Sang Nabi, Abu Thalib. Mereka beriman akan kebenaran risalah Nabi. Bahkan Abu Jahal dan Abu Lahab, pernah dipergoki mendengarkan bacaan Al Qur’an Rasulullah secara sembunyi-sembunyi. Hati mereka menerima kebenaran asasi itu. Sayangnya, mereka tak beramal. Iman mereka berujung pada titik, padahal seharusnya koma. Kitapun mendapati ending-nya, keduanya termasuk yang diganjar dengan siksa. Mereka gagal mengamalkan apa yang diimaninya. Na’udzubillah.
Lain Abu Lahab dan Abu Jahal, lain pula Abu Thalib. Bapak dari khalifah keempat dalam Islam ini gagal pula mengejawantahkan iman. Ia gengsi dengan para pemuka Quraisy lainnya. Ia memilih untuk menuruti gengsinya daripada menuruti apa kata hatinya. Dengan tidak mengurangi rasa hormat sedikitpun atas jasa beliau dalam membantu dakwah Rasulullah, kita patut bersedih dan menyesal sedalam-dalamnya, karena sampai akhir hayatnya, Abu Thalib keukeuh dalam kekafirannya. Sekali lagi, ia gagal mengamalkan apa yang di-imaninya.
Kedua, amal shalih. Amal shalih adalah buah ranum dari tumbuhan bernama iman. Amal shalih yang tak dilandasi dengan iman adalah palsu. Ia bagai fatamorgana di tengah Sahara. Dikira ada, padahal tiada. Ingat dengan Thomas Alfa Edison? Ia adalah penemu bola lampu pijar. Karena penemuannya itu, dunia berhasil berada dalam terang. Temuannya menyinari segenap penjuru dunia. Karena kegigihannya, Ia berhasil menyalakan lampu dalam percobaannya yang ke-1000. Sebuah karya yang monumental. Layak dicatat sejarah sebagai tinta emas. Lantas, apa mau dikata? Penemunya adalah orang kafir. Ia berhasil membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan, namun gagal meyakini suatu hal yang asasi. Ia gagal meyakini adanya penciptanya sendiri. Maka, ia berakhir dalam kekafiran. Dengan tidak mengurangi jasa besarnya, mari mengambil pelajaran, bahwa amal akan sia-sia jika pelakunya tidak beriman akan ke-Esaan Allah. Semoga Allah membungkus kita dengan tauhid yang bersih, sampai ajal menjumpai, “Dan janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan berislam.” Insya Allah. Amin.
Ketiga, saling nasihat menasihati dalam kebenaran. Ini adalah tangga ketiga. Ia berlaku secara kesinambungan. Ia berdiri atas benarnya iman dan amal shalih. Karena iman dan amal yang benar, pastilah melahirkan sebuah kesadaran: mengajak orang lain untuk menapaki jalan yang sama.
Teringat dalam benak penulis, sebuah perkataan dari sahabat diskusi. Katanya suatu ketika, “ Surga itu luas. Jangan memasukinya sendirian. Ajaklah orang sekitar untuk bersama masuk ke dalamnya.” Sebuah pesan bijak yang maknanya adalah peduli. Kepedulian kita terhadap sekitar. Bahwa shalih bukanlah sendiri. Bahwa baik bukanlah egois. Baik, shalih adalah berjama’ah. Ia harus terus digalakkan hingga kemenangan Islam benar-benar mengejawantah. Hingga kebenaran hakiki benar-benar membumi, termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Maka, ketika ada yang enjoy dengan keshalihan diri sementara tidak pernah peduli dengan sekitar, keshalihannya perlu dipertanyakan. Boleh jadi, setan telah mengiming-iminginya dengan kebahagiaan semu. Kita berlindung kepada Allah dari sikap demikian.
Keempat, saling menasihati dalam kesabaran. Sabar maknanya tahan uji, pantang menyerah. Sabar bukan hanya pasif. Ia juga bermakna aktif dan terus bergerak. Ia adalah sebuah sikap yang tidak puas dengan realita. Sabar adalah bertahan untuk terus menjadi baik. Agar ia tidak terjerumus dalam lubang keburukan.
Sabar bukanlah hal yang mudah. Apalagi bersabar untuk tetap beriman, bersabar untuk tetap beramal shalih dan bersabar untuk tetap berdakwah. Ia lebih sulit dari sekedar meraih. Karena setelah berada di puncak, angin akan semakin kencang. Kesadaran yang awalnya penuh pun, bisa berkurang. Karena setan memang tidak pernah diam ketika kita berada dalam kebenaran. Setan akan tetap menggoda hinga kita mengikuti mereka. Ia akan terus mencari cela untuk memasuki diri dan kemudian menjatuhkan kita ke dalam lubang kebinasaan terendah. Oleh karena itu, ketika sudah memasuki tahap ini, kita perlu semakin menghinakan diri kepada Allah. Meminta pertolongan padaNya. Karena bagaimanapun, Dialah yang menguasai segalanya. Harap Kita, semoga Dia menjaga kita dalam keistiqamahan, hingga ajal menjelang. Semoga Allah senantiasa membimbing Kita untuk terus menapaki jalan kebenaran ini. Amin.
Terakhir, kita bersepakat untuk saling berpelukan dalam keimanan. Kita bersepakat untuk saling bergandengan tangan dalam ketaqwaan. Kitapun bersepakat untuk saling menuntun dalam jalan kebenaran.
Kitapun bersepakat untuk berlari bersama, menuju Allah. Siapa saja yang lebih dulu sampai, dialah yang terbaik. Karena jalan ini, tidak mengenal toleransi dalam kebenaran. Kebenaran haruslah diperlombakan. Kebenaran, haruslah didahulukan, meski terhadap saudara sendiri. Dan kita, bersepakat untuk berlomba dalam kebaikan. Berlomba dalam menggapai surga. Yang sampai lebih dulu, tuntun saudaranya untuk menapaki jalan yang sama. Jika di tengah jalan kalian kehilangan satu diantara kami, maka carilah! Karena bisa jadi ada yang salah arah. Lalu, ingatkan dan tuntun Ia untuk kembali ke jalan yang benar, jalannya orang-orang yang beriman, bukan jalannya orang yang dimurkai (Yahudi) atau jalannya orang yang sesat (Nasrani) …
Semoga Allah membimbing kita untuk mendapatkan kemenangan yang hakiki …