8 Kesesatan Aqidah Syiah Zaidiyah

Aqidah Islam yang paling shahih adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hal ini telah menjadi kesepakatan ulama di Timur dan di Barat, baik masa salaf maupun masa khalaf. Sehingga siapa saja yang memiliki aqidah yang bertentangan dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah pemilik aqidah sesat.

Demikian pula yang dikatakan sebagai aliran Syiah Zaidiyah. Aliran ini adalah aliran ahli bid’ah yang dalam aqidahnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran sesat Mu’tazilah. Suatu pemikiran bid’ah yang manhaj aqidahnya didasarkan pada dalil akal daripada menggunakan dalil nash.

Penyebab utama Syiah Zaidiyah ini terpengaruh aliran Mu’tazilah adalah dikarenakan pemimpin aliran Zaidiyah, Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali, adalah seorang murid Washil bin Atha’, dedengkot Mu’tazilah.

Banyak pihak mengatakan bahwa Zaidiyah adalah aliran Syiah yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah, ini benar jika yang dimaksud adalah dalam pandangan fiqihnya, bukan pandangan aqidahnya yang sesat.

Dikutip dari forum Rayaheen, berikut ini 8 kesesatan aqidah Syiah Zaidiyah sebagai pegangan kaum Muslimin dalam menyikapi aliran yang hampir punah di muka bumi dikarena pemikiran-pemikiran Rafidhahnya pasca revolusi Syiah di Iran:

1. Manusia tidak dapat melihat Allah di akhirat

Kelompok Zaidiyah tidak meyakini bahwa orang-orang yang beriman dapat melihat Allah ta’ala di akhirat, seperti keyakinan kaum Mu’tazilah.

Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah tegas meyakini hal ini. Orang mukmin di surga akan melihat Allah yang suci dari bentuk dan rupa serta konsekwensi keduanya, seperti arah, tempat dan lain-lain.

Dalilnya adalah Allah Ta’ala juga berfirman,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Muka mereka (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 24-25)

2. Allah tidak menciptakan kemaksiatan

Kaum Zaidiyah berkeyakinan bahwa Allah tidak menciptakan maksiat. Mereka juga beranggapan bahwa maksiat yang dilakukan manusia bukan bagian dari qadar Allah. Keyakinan ini sama seperti keyakinan kelompok Mu’tazilah.

Sementara Ahlus Sunnah beri’tiqad bahwa Allah adalah pencipta bagi setiap sesuatu. Tidak ada benda yang wujud, dan tidak ada kejadian yang terjadi kecuali diciptakan oleh Allah ta’ala. Perbuatan maksiatpun diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala.

3. Pelaku dosa besar kekal di neraka

Syiah Zaidiyah menyakini bahwa orang yang terjatuh dalam perbuatan dosa besar disebut sebagai orang yang fasiq, dan saat dia mati dalam keadaan tidak bertaubat, maka ia disiksa di neraka selama-lamanya.

Menurut Ahlussunnah, orang yang seperti itu masih berada dalam kehendak Allah. Jika Allah mengendaki, Allah akan mengampuninya, membebaskan semua kesalahannya dan memasukkannya ke surge tanpa harus mendekam di neraka. Sebaliknya, jika Allah menghendaki, ia akan disiksa di neraka, tetapi tidak kekal, selama ia masih beriman dan bertauhid kepada Allah ta’ala.

Dalam Shahih Bukhari, dengan sanad sampai Ubadah, diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa Isa (yang terjadi dengan) kalimat-Nya, yang disampaikan-Nya kepada Maryam dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya, dan bahwa surga adalah haq (benar) dan neraka haq, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan amalan apa pun yang telah ia perbuat.”

4. Al Quran adalah makhluk

Firqah Zaidiyah dalam maslah kalamullah berpendangan sama dengan kaum mu’tazilah. Mereka mengatakan bahwa kalam adalah makhluk, bukan bagian dari sifat-sifat Allah.

Sedangkan Ahlus Sunnah berpendapat bahwa kalam adalah sifat Allah seperti sifat-sifat Allah yang lain. Kalam adalah sifat dzat yang suci dan qadim (tidak ada permulaannya).

Dalilnya, Allah berfirman,

ومن أصْدَق من الله حديثا

“Siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allah.” (An-Nisaa’ : 87)

5. Tidak ada syafa’at Rasulllah

Zaidiyah mengingkari adanya syafaah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bagi umat beliau yang menjadi ahli maksiat. Kelompok ini berpendapat bahwa syafaat Rasulullah hanya khusus bagi mukminin sebagai tambahan nikmat saja. Oleh sebab itu, menurut mereka para pelaku maksiat dan ahli dosa besar tidak akan diberi syafaat. Mereka akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir dan kaum munafiqin.

Imam Ahlus Sunnah, Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Ahli agama dan Ahlus Sunnah mengimani syafaat Rasulullah n bagi pelaku dosa dari kalangan orang-orang yang bertauhid dan pelaku dosa besar (lainnya), sebagaimana telah diberitakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.”

6. Amal adalah syarat keshahihan iman

Zaidiyah berpendapat bahwa amal adalah syarat bagi keshahihan iman. Barang siapa mengikrarkan dua syahadat, tetapi tidak mau melakukan amal shaleh, atau menerjang maksiat meski seperti melakukan ifthar di siang ramadlan atau mengkonsumsi khamr, maka ia tidak dianggap sebagai orang yang beriman. Jika ia mati dalam keadaan tidak bertaubat, maka ia kekal di neraka. Ini adalah seperti pendapat Murji’ah.

Ahlus Sunnah berpendapat bahwa iman itu adalah perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Amal termasuk bagian dari iman, dan ia (amal) adalah iman itu sendiri. Amal bukan sebagai syarat dari syarat-syarat keshahihan iman atau syarat kesempurnaan iman atau perkataan lainnya yang banyak menyebar dewasa ini. Iman itu adalah perkataan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Bisa bertambah (dengan ketaatan) dan berkurang dengan kemaksiatan.

7. Imamah lebih berhak diambil dari keturunan Ali bin Abi Thalib

Dalam masalah Imamah, kaum Zaidiyah beri’tikad bahwa orang yang lebih berhak setelah kepemimpinan Rasulullah adalah Ali. Beliau dianggap sebagai pemegang wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Setelah Ali, imamah dilanjutkan oleh putra-putra Fatimah, seperti Al-Hasan dan Al-Husein, sesuai dengan pedoman mereka dalam hal ini.

Dengan dasar ini, kelompok Zaidiyah menganggap apa yang dilakukan oleh para sahabat ketika mengangkat Abu Bakar As-Shidiq dan khalifah sesudahnya adalah sebuah kesalahan. Namun demikian, kelompok Zaidiyah tidak sampai mengkafirkan para sahabat akibat “kesalahan” ini. Dalam masalah ini Zaidiyah terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama ridha dengan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, sementara kelompok yang lain memilih diam tanpa ada pernyataan ridho dan tanpa ada penghujatan.

Sementara Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat bahwa imamah tidak berdasarkan warisan akan tetapi syura dan kesepakatan ahlul hali wal aqdi.

8. Wajibnya memberontak pada pemerintah Muslim yang zhalim

Syiah Zaidiyah memperbolehkan dan membernarkan pemberontakan kepada pemerintahan Muslim yang zalim. Bahkan wajib.

Sementara Ahlus Sunnah mengharamkan pemberontakan atau keluar dari taat pemerintah Muslim yang sah, meskipun bersikap fasik dan bertindak zalim. Namun tetap membolehkan menggantinya jika memungkinkan.