Aktivis Dakwah Kampus Moderat?

Pernahkah kita merasa semakin hari semakin ada gradasi? Semakin luwes sikap kita terhadap hal yang dahulu dipegang erat oleh pendahulu kita. Mungkin kita mendefinisikannya sebagai moderasi, dan menganggap moderat menjadi tuntutan zaman. Apakah moderat seperti itu? Ibarat melepaskan simpul-simpul yang telah terikat kuat sebelumnya.

Dalam praktek aktivitas da’wah kampus, banyak aktivis yang mengklaim dirinya sebagai orang moderat dan tidak mau dicap ekstrem, alasannya supaya dakwah ini diikuti banyak orang. Moderasi itu bisa berupa dulu yang syuro’ atau tiap pertemuan pakai hijab sekarang tidak perlu, atau yang dulu ada jam malam hingga maghrib sekarang semakin dilarutkan, atau dulu yang foto akhwat tidak boleh dipajang sekarang boleh saja dipajang, atau dulu akhwat yang tidak boleh nyanyi sekarang boleh nyanyi dan contoh-contoh lainnya. Dengan alasan itu semua bukan hal yang tsawabit yang masih bisa ditolerir.

Tahukah kita bahwa moderat adalah karakter dari Islam itu sendiri? Sejak awal manhaj dalam Islam sudah moderat dan tidak perlu dimoderasi lagi. Dalam Kitab Kaifa nata’amalu ma’a as shunnah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW” disebutkan Islam memiliki tiga karakter, Syumul (Komprehensif), Washat (Moderat) dan Taisyir (Memudahkan).

Dalam pandangan saya tiga karakter ini bisa menjadi urutan kita dalam memahami Islam, awalnya kita harus memahami Islam secara komprehensif. Setelah benar-benar memahami Islam dan berbagai kaidahnya barulah kita bicara soal moderasi yang dibangun atas dasar pemahaman yang utuh, sehingga moderasi adalah manifestasi dari kebijaksanaan. Barulah kemudian Islam dapat menjadi manhaj yang memudahkan.

Kembali ke persoalan moderasi aktivis dakwah, apakah perlu ada moderasi padahal Islam sendiri sudah moderat? Dan apakah moderasi ini sudah diawali dengan kefahaman agama yang komprehensif? Ataukah hanya sekedar tidak ingin dicap ekstrem dan supaya banyak peminat?

Hal inilah yang perlu diwaspadai oleh aktivis dakwah, jangan sampai ada missing link antara pemahaman yang utuh dengan sikap moderat. Bukankah di pelatihan-pelatihan awal di Lembaga Dakwah Kampus diberikan materi tentang Syumuliyatul Islam? Materi itu diharapkan menjadi trigger bagi aktivis dakwah kampus untuk mengkaji Islam yang Syumul pun secara syumul, bukan hanya jadi wawasan bahwa Islam itu syumul.

Lantas apa bedanya kita dengan orientalis barat kalau Islam sekedar dijadikan wawasan, bukan dikaji untuk diamalkan. Asset At Taqwa, Mantan ketua JANUR XI UKMKI Unair pernah menekankan “Antum jangan bicara ‘moderat’ kalau belum benar-benar memahami Islam dengan baik”. Seseorang yang memahami Islam, akan bersikap moderat dalam konteks membangun titik temu, sebab ia telah menemukannya dalam pemahamannya yang utuh. Ibarat seseorang yang telah utuh memahami fiqh, ia akan semakin arif dalam bersikap dan tidak ekstrim pada salah satu mazhab.

Jadi, moderat dalam berislam tanpa pemahaman terhadap Islam yang baik adalah sebuah kebodohan, dan akan menjadi virus dalam tubuh dakwah, alih-alih moderat justru bisa jadi liberal. Mengkaji Islam secara komprehensif adalah sebuah keniscayaan bagi mereka yang mengklain dirinya aktivis dakwah kampus, sehingga dalam berargumen dan bertingkah laku ia berdasarkan pada dasar agama yang kuat, bukan berdasar tren apalagi asumsi.

Dan yang perlu dicatat, bahwa forum bernama mentoring atau halaqoh saja tidak cukup dijadikan bekal dalam berIslam, masih banyak perbendaharaan ilmu agama ini yang tersebar di banyak majelis, yang perlu aktivis dakwah serap sebanyak-banyaknya, hingga lahirlah kearifan dalam berIslam, bukan sekedar ikut-ikutan. Wallahu’alam bishshowab

Oleh: Ahmad Jilul Qur’ani Farid, Surabaya
Twitter