Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi adalah salah seorang gubernur di Baghdad di bawah pemerintahan Khalifah Bani Umayyah, ‘Abdul Malik bin Marwan. Seorang yang zhalim, banyak membunuh, dan fasiq. Walaupun demikian, beliau turut memiliki jasa dan kebaikan. Memiliki sumbangan dalam meletakkan baris bacaan Al Qur’an, membantu banyak usaha meluaskan kerajaan Bani Umayyah. Beliau juga termasuk tokoh yang ahli dalam strategi peperangan. Ia berasal dari kabilah Tsaqif.
Kata Imam Al Hafizh Adz Dzahabi rahimahullah (Wafat: 748H) mengenai Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi:
“Al Hajjaj, Allah memusnahkannya di bulan Ramadhan tahun 95 Hijrah dalam keadaan tua, dan beliau adalah seorang yang zhalim, bengis, naashibi (pembenci Ahlul Bait), keji, suka menumpahkan darah, memiliki keberanian, kelancangan, tipu daya, dan kelicikan, kefasihan, ahli bahasa, dan kecintaan terhadap Al Quran. Aku (Imam Adz Dzahabi) telah menulis tentang sejarah hidupnya yang buruk dalam kitabku At Tarikh Al Kabir, mengenai pengepungannya terhadap Ibnu Az Zubair dan Ka’bah, serta perbuatannya melempar Ka’bah dengan manjaniq, penghinaannya terhadap penduduk Al Haramain (dua tanah haram), penguasaannya terhadap ‘Iraq dan wilayah timur, semuanya selama 20 tahun. Juga peperangannya dengan Ibnul Asy’ats, sikapnya melambat-lambat (melalaikan) shalat sehinggalah Allah mematikannya, maka kami mencelanya, dan kami tidak mencintainya, sebaliknya kami membencinya karena Allah.” (Siyar A’lam An Nubala’, 4/343)
Kata Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah:
“Dan adapun sang pemusnah adalah Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsqafi ini. Beliau seorang yang amat memusuhi, beliau amat membenci anggota keluarga ‘Ali, ini karena kecenderungannya kepada keluarga Marwan Bani Umayyah. Beliau juga seorang yang angkuh lagi bodoh, berani menumpahkan darah hanya karena kesalahan yang syubhah (samar).
Diriwayatkan dari beliau kata-kata yang sangat buruk, yang zahirnya adalah kufur, sebagaimana yang telah kami kemukakan. Jika beliau bertaubat darinya dan berlepas diri darinya, maka itu yang diharapkan, tetapi jika tidak, maka ia tetap dalam keadaan tersebut. Cuma diragukan bahwa itu adalah kata-kata yang diriwayatkan dari beliau dengan berbagai penambahan, karena golongan Syi’ah sangat membencinya karena beberapa perkara. Jadi, mungkin terjadi mereka mengubah sebagian perkataannya dan menambah padanya sehingga mereka melabelnya sebagai perkataan-perkataan buruk lagi menjijikkan.”
Kata Al Hafizh Ibnu Katsir lagi:
“Diriwayatkan kepada kami dari beliau bahwa beliau meninggalkan hal-hal yang memabukkan, banyak membaca Al Qur’an, menjauhi larangan-larangan, dan tidak dikenali sebagai orang yang pernah terjerumus dalam urusan kemaluan, walaupun dia terlalu berani dalam hal menumpahkan darah. Maka Allah Ta’ala-lah yang lebih mengetahui kebenaran dan hakikat-hakikat segala urusan serta rahsia-rahsianya, serta hal-hal yang tersembunyi di dalam dada.” (Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, 9/153)
Dalam Sunan At Tirmidzi disebutkan riwayat, Hisyam bin Hassan berkata:
“Mereka menghitung jumlah manusia yang dibunuh oleh Al Hajjaj secara zhalim (dibunuh dengan cara tidak diberi makan dan minum), maka jumlahnya mencapai sebanyak 120.000 orang manusia.” (Sunan At Tirmidzi, no. 2220. Dinilai hasan oleh At Tirmidzi. Lihat juga Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 2/211)
Al Ashma’i rahimahullah berkata:
“Di suatu pagi, Sulaiman bin ‘Abdul Malik membebaskan 81,000 orang tawanan, setelah Al Hajjaj (selepas kematiannya), penjara-penjara diperiksa lalu mereka dapati ada 33,000 orang yang belum dilaksanakan atas mereka pemutusan hukum dan tidak juga penyaliban.” (Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, 9/156)
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah menyebut namanya dengan sebutan “musuh Allah”. Kata Al Hafizh Ibnu Katsir: Ibrahim bin Hisyam bin Yahya bin Yahya Al Ghassani berkata, dari ayahnya, dari datuknya, dari ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, beliau berkata:
“Aku tidak sedikitpun merasa iri hati (dengki) terhadap Al Hajjaj si musuh Allah itu, melainkan terhadap sikapnya yang cinta kepada Al Qur’an dan sikap pemurahnya terhadap ahlul Qur’an, serta ucapannya sebelum wafat, “Ya Allah ampunilah aku, sesungguhnya manusia menyangka bahwa Engkau tidak bertindak.” (Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, 9/158)
Sampai-sampai ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz membuat permisalan yang menggambarkan betapa jahat dan berpengaruhnya Al Hajjaj:
“Kalau sekiranya setiap umat datang dengan para penjahatanya manakala kita pula datang dengan membawa Al Hajjaj, niscaya kita akan mengalahkan semua penjahat tersebut.” (Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, 6/267, 9/158)
Malah terdapat perkataan sebagian salaf yang seakan-akan mengkafirkannya.
Ibnu ‘Asakir meriwayatkan perkataan Asy Sya’bi rahimahullah (Wafat: 104H):
“Al Hajjaj beriman dengan kejahatan dan thaghut, serta kafir terhadap Allah Al ‘Adziim.” (Ibnu ‘Asakir, Tarikh dimasyq, 12/187. Al Bidayah wa An Nihayah, 9/157)
Imam Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata:
“Suatu yang ajaib terhadap sahabat-sahabat kita dari ‘Iraq, mereka menamakan Al Hajjaj sebagai orang beriman?!” (Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala’, 5/44. Al Bidayah wa An Nihayah, 9/157)
Sebagian Kejahatan dan Nukilan Kekejaman Al Hajjaj
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim:
‘Uqbah bin Mukarram Al ‘Ammiy memberitahu kami, katanya Ya’qub iaitu Ibnu Ishaq Al Hadhrami memberitahu kami, katanya Al Aswad bin Syaiban memberitahu kami, dari Abu Naufal, katanya:
Aku melihat (mayat) ‘Abdullah bin Az Zubair (dalam keadaan tergantung) di ‘Aqabah Al Madinah (di Makkah), dan kaum Quraisy serta orang-orang lainnya pergi ke arahnya, termasuklah ‘Abdullah bin ‘Umar, apabila beliau berdiri di hadapannya (mayat Ibn Az Zubair) beliau mengucapkan:
“Wahai Abu Khubaid (‘Abdullah bin Az Zubair), semoga keselamatan ke atas engkau, semoga keselamatan ke atas engkau, semoga keselamatan ke atas engkau! Demi Allah, aku telah melarang engkau dari perkara ini, Demi Allah, aku telah melarang engkau dari perkara ini, Demi Allah, aku telah melarang engkau dari perkara ini. Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui seseorang yang selalu berpuasa, selalu qiyam (bangun malam untuk beribadah), dan selalu menyambung silaturrahim selain dari engkau. Demi Allah, engkau yang dikatakan sejahat-jahat ummat, sebenarnya adalah sebaik-baiknya.”
‘Abdullah bin ‘Umar pun berlalu pergi. Kata-kata Ibnu ‘Umar telah sampai kepada Al Hajjaj lalu dia mengutus seseorang untuk menurunkan mayat ‘Abdullah bin Az Zubair, kemudian mayat tersebut dicampakkan ke perkuburan Yahudi.
Kemudian Al Hajjaj menghantar utusan kepada Asma’ Binti Abu Bakr agar Asma’ menemuinya, tetapi Asma’ enggan. Utusan tersebut pulang dan kembali membawa pesan Al Hajjaj:
“Engkau mesti datang berjumpa dengan aku atau aku akan hantar seseorang yang akan mengheret engkau sambil menarik rambutmu.”
Asma’ tetap juga enggan.
Katanya, “Aku tidak akan berjumpa dengan engkau hinggalah engkau hantar seseorang yang akan mengheret aku dengan rambutku.”
Al Hajjaj yang mendengarnya (sebagaimana disampaikan oleh utusannya) pun berkata, “Ambilkan alas kakiku”.
Lalu utusannya mengambilkan alas kaki untuknya, dan Al Hajjaj pergi menuju kepada Asma’ dalam keadaan marah, lalu berkata:
“Apa pendapat engkau tentang apa yang aku lakukan terhadap si musuh Allah itu (‘Abdullah bin Az Zubair)?”
Asma’ menjawab: “Aku lihat engkau telah menghancurkan kehidupan dunianya, manakala dia pula telah menghancurkan kehidupan akhirat engkau. Aku dengar engkau memanggilnya (sebagai), “Wahai anak Dzat An Nithaqain (pemilik dua tali pinggang).” Sesungguhnya demi Allah, akulah Dzat An Nithaqain; tali pinggang yang pertama aku gunakan untuk menghantar makanan Rasulullah dan Abu Bakr, manakala tali pinggang kedua tidak dapat ditandingi oleh mana-mana wanita pun. Rasulullah pernah memberitahu kami bahwa di Thaqif nanti ada seorang pendusta dan seorang pemusnah, si pendusta itu kami telah mengenalinya, manakala si pemusnah pula, aku tidak kenal yang lain melainkan engkau.”
Al Hajjaj lalu bangkit beredar dan tidak membalas kata-kata Asma’. (Shahih Muslim, no. 2545)
Imam An Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) menjelaskan: “Perkataan Asma’ mengenai si Pendusta, “kami telah mengenalinya”, yang beliau maksudkan dengannya adalah Al Mukhtar bin Abi ‘Ubaid Ats Tsaqafi, dia ini sangat teruk sifat pendustanya, dan antara tuduhannya yang paling buruk ialah Jibril Shallallahu ‘alaihi wa Sallam datang kepadanya. Para ulama sepakat bahwa yang dimaksudkan dengan si pendusta adalah Al Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, manakala si pemusnah pula adalah Al Hajjaj bin Yusuf.” (Syarah Shahih Muslim, 16/100)
Imam An Nawawi juga mengatakan: “Dan mazhab Ahlul Haq (pengikut kebenaran) adalah meyakini Ibnu Az Zubair itulah yang dizhalimi, manakala Al Hajjaj dan para pengikutnya pula adalah khawarij (iaitu yang keluar memberontak) terhadap Ibn Az Zubair.” (Syarah Shahih Muslim, 16/99)
Ini karena Al Hajjaj-lah yang sengaja memerangi wilayah dan kekhilafahan ‘Abdullah bin Az Zubair di Hijjaz, Madinah, dan Makkah.
Al Hafizh Ibnu Katsir meriwayatkan perkataan Al Hajjaj:
“Demi Allah, kalau aku memerintahkan kamu semua keluar melalui pintu ini, tetapi kamu semua keluar melaui pintu yang lain, maka halallah darah kamu di sisi aku, dan tidak aku temui seorang lelaki yang membaca (Al Qur’an) mengikut qiraat Ibnu Ummu ‘Abd (‘Abdullah bin Mas’ud) melainkan aku akan memancung kepalanya, dan akan aku kikis bacaannya dari mushaf, walaupun dengan tulang rusuk babi.”
Selain itu, Al Hajjaj pernah berkata di mimbar Wasith (di kota Wasith):
“‘Abdullah bin Mas’ud adalah pemimpin golongan munafiq. Kalau aku menemuinya aku akan basahkan muka bumi dengan darahnya.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 9/149)
Al Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan: “Dan ini termasuk kemelampauan Al Hajjaj, semoga Allah memburukkannya, dan termasuk kelancangannya mengungkapkan perkataan yang buruk, serta menumpahkan darah tanpa haq. Beliau dengki dengan qira’ah (bacaan) Ibnu Mas’oud radhiyallahu ‘anhu karena menyelisihi qira’ah pada mushaf induk yang dihimpunkan manusia pasa masa ‘Utsman.” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/149)
Al Qa’qa’ bin Ash Shalt berkata: “Al Hajjaj pernah berkhuthbah lalu beliau mengatakan dalam khuthbahnya, “Sesungguhnya Ibnu Az Zubair mengubah Kitab Allah.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 9/140)
Demikianlah sifat kejamnya Al Hajjaj, sampai tiada adab dan hormat terhadap orang-orang yang amat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, iaitu para sahabatnya ridhwanullah ‘alaihim ajma’in. Demikian juga sikap beliau terhadap para ulama selain sahabat.
Sampai-sampai sebagian salaf mengatakan tentangnya: “(Seolah-olah) tidak ada satu pun dari larangan Allah ‘Azza wa Jalla melainkan telah dilakukan oleh Al Hajjaj.” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/1153)
Saat Kematian Al Hajjaj
Atas sebab kekejaman dan kekejian Al Hajjaj, kematian beliau dianggap sebagai khabar gembira oleh sebagian salaf. Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (Wafat: 774H) merakamkan: “Lebih dari seorang yang meriwayatkan bahwa Al Hasan (Al Bashri) ketika dikabarkan dengan berita gembira mengenai kematian Al Hajjaj, beliau langsung melakukan sujud syukur kepada Allah Ta’ala yang mana sebelumnya beliau bersembunyi, maka setelah itu beliau menonjolkan diri. Lalu beliau berdoa: “Ya Allah, matikanlah dia dan hilangkanlah sunnahnya (kebiasaan-kebiasaannya) dari diri kami.”
Hammad bin Sulaiman berkata, “Apabila aku mengkhabarkan kepada Ibrahim An Nakha’i tentang kematian Al Hajjaj, beliau pun menangis karena gembira.” (Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, 9/159)
Abu Khaitsamah berkata: “Ziyad bin Ar-Rabi’ Al Haritsi mengatakan kepada para penghuni penjara, “Al Hajjaj akan mati dalam sakitnya ini di malam sekian.”
Lalu ketika tiba malam tersebut, tidak seorang pun penghuni penjara yang tidur karena sangat gembira. Mereka duduk menunggu hingga mendengar berita kematiannya. Iaitu pada malam 27 Ramadhan.”
Al Hafizh Ibnu Katsir menambah: “Pendapat lain menyebutkan, hal tersebut berlaku pada lima hari terakhir bulan Ramadhan. Pendapat lain lagi, ia berlaku pada bulan Syawal di tahun tersebut. Umurnya ketika itu adalah 55 tahun, karena kelahirannya adalah pada tahun Al Jama’ah (tahun di mana Al Hasan bin ‘Ali menyerahkan kekhalifahan kepada Mua’wiyah – Pent.), tahun 40H. Pendapat lain mengatakan setelah itu. Yang lain lagi mengatakan, setahun setelahnya.
Beliau meninggal di Wasith, dan kuburannya diratakan serta disirami air padanya supaya tidak dibongkar dan dibakar. Wallahu a’lam.” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/159)
Al Ashma’i berkata: “Yang menakjubkan tentang Al Hajjaj, adalah apa yang beliau tinggalkan hanya 300 dirham.” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/159)
Kata Al Waqidi, “Bahwa Al Hajjaj meninggal dengan meninggalkan 300 dirham, sebuah mushaf, sebilah pedanh, pelana, sekedup, dan seratus baju besi (armour) yang diwakafkan.” (Tarikh Dimasyq, 12/191. Al Bidayah wa An Nihayah, 9/159)
Syihab bin Khirasy berkata:
“Al Hajjaj mewasiatkan 900 perisai atau baju besi, 600 di antaranya adalah milik orang-orang munafiq warga ‘Iraq yang mereka berperang dengannya, sedangkan 300 lagi adalah milik orang-orang Turki.” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/159)
Al Hajjaj Adalah Bencana Ke Atas Penduduk ‘Iraq
Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (Wafat: 728H) menyebutkan:
“Al Hasan Al Bashri pernah berkata: “Sesungguhnya kemunculan Al Hajjaj adalah disebabkan dari azab Allah, maka janganlah kamu melawan azab Allah dengan tangan-tangan kamu. Akan tetapi wajib bagi kamu untuk tunduk dan memohon dengan merendah diri karena sesungguhnya Allah telah berfirman (maksudnya):
“Dan sesungguhnya Kami telah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.” (Surah Al Mukminun, 23: 76)
Thalq bin Habib berkata: “Lindungilah dirimu dari fitnah dengan ketaqwaan.” Maka dikatakan kepadanya, “Simpulkanlah untuk kami apa itu ketaqwaan?” Beliau berkata, “Iaitu engkau beramal dengan ketaatan kepada Allah dengan cahaya (petunjuk) dari Allah dengan berharap rahmat Allah. Dan engkau meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan azab Allah.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi Ad Dunya).” (Ibnu Taimiyyah, Minhajus Sunnah An Nabawiyyah, 4/527-531 – Mu’asasah Al Qurthubah)
Demikian jugalah yang diungkapkan oleh Al Hafizh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah: “Secara umum, bahwa Al Hajjaj adalah bencana yang ditimpakan ke atas penduduk ‘Iraq karena dosa-dosa lalu mereka dan perbuatan khuruj mereka kepada para pemimpin, menghinakan mereka, memaksiati mereka, menyelisihi mereka, dan tidak menghargai mereka.” (Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, 9/151)
Al Hafizh dan Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari jalan Ya’qub bin Sufyan (berkenaan apa yang pernah berlaku ketika zaman pemerintahan ‘Umar): “Seorang lelaki datang kepada ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu lalu memberitahunya bahwa warga ‘Iraq melempari wakil pemimpin (gubernur) mereka, maka ‘Umar pun keluar (untuk shalat) dalam keadaan marah, lalu beliau mengimami kami suatu shalat, lalu beliau lupa di dalam shalatnya sehingga orang-orang (para makmum) mengatakan, “Subhanallah, Subhanallah…”
Setelah salam, ‘Umar pun menghadap kepada para makmum lalu berkata, “Siapakah di sini dari kalangan penduduk Syam?”
Lalu berdirilah seorang lelaki, kemudian berdiri juga lelaki yang lainnya, kemudian aku (perawi Ya’qub bin Sufyan) juga berdiri sebagai orang ketiga atau keempat. Lalu ‘Umar berkata: “Wahai warga Syam, bersiap-siaplah kalian untuk menghadapi penduduk ‘Iraq. Karena Syaitan telah bertelur di tengah-tengah mereka dan menebarkan anak-anaknya. Ya Allah, sesungguhnya mereka telah menyamarkan diri mereka, maka samarkanlah atas mereka, dan segeralah ke atas mereka dengan anak Tsaqif yang memimpin (berhukum) dengan hukum jahiliyyah. Tidak akan diterima kebaikan dari orang baik mereka, dan tidak akan dimaafkan dari orang buruk mereka.”
Kata Al Hafizh Ibnu Katsir, “Kami juga telah meriwayatkan di dalam kitab Musnad ‘Umar bin Al Khaththab, dari jalan Abu Azabah Al Himshi dari ‘Umar yang semisal dengannya.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 9/151-152)
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata (berdoa):
“Ya Allah, aku telah memberi mereka amanah tetapi mereka mengkhianatiku, aku telah menasihati mereka tetapi mereka curang padaku. Maka kuasakanlah atas mereka seorang pemuda Tsaqif yang angkuh lagi sombong, yang memakan kesejahteraannya, yang memakai kulitnya, dan menerapkan hukum-hukum jahiliyyah atas mereka.”
Al Hasan berkata, “Pada ketika itu Al Hajjaj belum lahir.” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/152. Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyq, 12/169)
Diriwayatkan juga oleh Mu’tamir bin Sulaiman, bahwa ‘Ali berkata: “Pemuda yang angkuh, Amiir (pemimpin) dua kota yang memakai kulitnya dan memakan kesejahteraannya, membunuhi para tokoh penduduknya, menimbulkan perpecahan yang banyak, banyak menimbulkan kegelisahan, dan Allah menguasakannya ke atas kaumnya.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 9/152. Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyq, 12/169)
Sikap Para Ulama Di Bawah Kekuasaan Al Hajjaj Sebagai Pemerintah
Zubair bin ‘Adi berkata, kami mendatangi Anas bin Malik mengeluhkan perihal Al Hajjaj. Anas pun menjawab: “Bersabarlah, karena tidaklah datang sebuah zaman kecuali yang setelahnya akan lebih buruk sehingga kamu berjumpa dengan Rabb kamu. Aku mendengarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Shahih Al Bukhari, no. 7068)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah (Wafat: 204H) berkata: “Ibnu ‘Umar (salah seorang sahabat Nabi yang masih hidup) memencilkan diri di Mina pada hari-hari pertempuran (peperangan) antara Ibnu Az Zubair dengan Al Hajjaj, dan beliau (Ibnu ‘Umar) tetap shalat bersama (berjama’ah di belakang) Al Hajjaj.” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/140)
Imam Al Bukhari rahimahullah (Wafat: 256H) meriwayatkan: Dari As Sahmi, “Aku mendatangi Aba Amamah, lalu beliau berkata: “Janganlah engkau mencela (mengutuk dan menghina) Al Hajjaj, karena beliau adalah penguasa bagi engkau dan bukan penguasa bagiku.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari, At Tarikh Al Kabir, no. 83)
Aba Umamah tinggal di Syam, manakala As Sahmi tinggal di Iraq yang mana pemimpin di Iraq ketika itu adalah Al Hajjaj.
Fenomena kekejaman Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi dan penentangan terhadapnya banyak dikaitkan dengan salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu bab kewajiban mentaati pemerintah (dalam hal yang bukan maksiat pada Allah). Maka dalam hal ini, antaranya Imam An Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) menjelaskan: “Mayoritas ulama Ahli Sunnah dari kalangan fuqaha’ (ahli fiqh), ahli hadits, dan ahli kalam menyatakan bahwa pemimpin tidak dilengsertkan (atau dijatuhkan kepimpinannya) atas sebab kefasikannya, kezhalimannya, dan perbuatannya yang merampas hak-hak umat Islam, dan tidak boleh khuruj (keluar dari ketaatan) kepadanya. Tetapi umat Islam wajib untuk menasihati dan menundukkan hatinya dengan hadits-hadits (yang berbentuk ancaman) berkaitan perkara tersebut.
Al-Qadhi berkata, “Abu Bakar bin Mujahid telah menyatakan adanya ijma’ atas perkara ini, sebagian ulama telah membantah pernyataan tersebut dengan apa yang dilakukan oleh Al Hasan dan Ibnu Az Zubair, serta penduduk Madinah terhadap Bani Umayyah. Juga pertempuran dua kelompok besar dari kalangan tabi’in dan generasi awal dari umat ini terhadap Al Hajjaj bin Yusuf, bukan karena sekadar kefasikan, akan tetapi ketika dia telah mengubah sebagian syari’at dan menampakkan kekafiran.” Al Qadhi berkata lagi, “Perbedaan ini timbul pada awalnya, kemudian terjadi ijma’ (kesepakatan) yang melarang memberontak kepada pemerintah.” Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 12/229)
Sikap Ulama Di Luar Kekuasaan Al Hajjaj
Al Hafizh Ibnu Katsir mencatat, “Berkata At Tsauri dari Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir bahwa dia masuk ke kawasan Al Hajjaj tanpa memberi salam kepadanya dan tidak pula shalat di belakangnya (sebagai makmum).” (Al-Bidayah wa An Nihayah, 9/140)
Jasa dan Ungkapan Nasihat Al Hajjaj
Imam Asy Sya’bi berkata: “Aku mendengar Al Hajjaj berkata dalam perbicaraannya yang tidak pernah diungkapkan oleh seorangpun sebelumnya. Beliau mengatakan:
“‘Amma ba’d, sesungguhnya Allah Ta’ala telah menetapkan kefanaan (sifat tidak kekal) bagi dunia ini, dan menetapkan keabadian bagi akhirat. Maka tidak ada keabadian bagi yang telah ditetapkan kefanaan baginya. Oleh itu, janganlah keadaan dunia ini memperdayakan kalian dari keghaiban akhirat, dan redamlah panjangnya angan-angan dengan dekatnya ajal.” (Ibn ‘Asakir, Tarikh Dimasyq, 12/142. Al Bidayah wa An Nihayah, 9/143)
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (Wafat: 774H) berkata: “Al-Haitsam bin ‘Adi dari Ibn ‘Ayyasy (beliau berkata): ‘Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan pernah mengutus surat kepada Al Hajjaj, “Kirimkan kepadaku kepala Aslam bin ‘Abdul Bakri.”
Setelah surat tersebut sampai kepadanya, Al Hajjaj pun menghadirkan Aslam kepadanya lalu Aslam pun berkata, “Wahai Amir (pemimpin), engkaulah yang menyaksikan, sedangkan Amirul Mukminin tidak menyaksikan. Dan Allah Ta’ala telah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti supaya kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.” (Surah Al Hujuraat, 49: 6)
Apa yang sampai kepadanya tentang diriku adalah bathil. Dan sesungguhnya aku menanggung 24 orang wanita, mereka tidak memiliki pendapatan selain dariku, dan mereka sekarang ada di pintu.”
Maka Al Hajjaj pun memerintahkan agar mereka dibawa masuk. Setelah mereka dihadirkan, salah seorang dari mereka berkata, “Aku adalah bibi dari pihak ayahnya.”
Yang lain berkata, “Aku bibi dari pihak ibunya.”
Yang lain berkata, “Aku saudara (adik-beradik) perempuannya.”
Yang lain pula berkata, “Aku anak perempuannya.”
Dan yang lain berkata pula, “Aku isterinya.”
Lalu seorang anak perempuan maju ke depan, ia berumur antara 8 hingga 10 tahun, maka Al Hajjaj pun berkata, “Siapa engkau?”
Anak perempuan tersebut berkata, “Aku anak perempuannya.”
Kemudian anak perempuan itu berkata, “Semoga Allah memperbaiki Amir (pemimpin).” Lalu ia tunduk dan berkata:
“Wahai Hajjaj, tidakkah engkau saksikan kedudukan anak-anaknya, bibi-bibinya yang semuanya memerlukannya setiap malam? Wahai Al Hajjaj, berapa banyak yang telah engkau bunuh bila engkau membunuhnya? Delapan, sepuluh, dua, dan empat? Wahai Al Hajjaj, engkau boleh berlaku baik terhadap kami dengan memberi nikmat, atau engkau bunuh saja kami bersamanya.”
Maka Al Hajjaj pun menangis, dan beliau berkata:
“Demi Allah, aku tidak membantu untuk menyusahkan kalian dan tidak akan menambahkan kelemahan kepada kalian.”
Kemudian Al Hajjaj pun mengutus surat kepada ‘Abdul Malik (khalifah) tentang apa yang dikatakan oleh lelaki tersebut dan apa yang dikatakan oleh anak perempuannya. Lalu ‘Abdul Malik pun mengutus surat kepada Al Hajjaj yang memerintahkannya supaya membebaskan lelaki tersebut dan menyambung hubungan baik dengannya, serta berbuat baik kepada anak perempuan tersebut dan mengawalnya setiap waktu.” (Ibn ‘Asakir, Tarikh Dimasyq, 12/145-146. Al Bidayah wa An Nihayah, 9/144)
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Dikatakan bahwa Al Hajjaj pada suatu hari berkhuthbah lalu berkata:
“Wahai manusia, bersabar menahan diri terhadap larangan-larangan Allah adalah lebih mudah berbanding bersabar terhadap azab Allah.”
Lalu seorang lelaki berdiri kepadanya lalu berkata, “Celaka engkau wahai Hajjaj! Betapa buruknya wajah engkau dan betapa sedikitnya rasa malumu. Engkau melakukan apa yang engkau lakukan (dari berbagai jenis keburukan – pent.) lalu sekarang engkau mengatakan perkataan ini? Engkau telah rugi, dan sia-sialah usaha engkau.”
Maka Al Hajjaj mengatakan kepada pengawalnya, “Tangkap dia.”
Setelah dia selesai dari khuthbahnya, dia pun berkata kepada lelaki tersebut, “Apa yang membuat engkau berani terhadapku?”
Lelaki tersebut pun menjawab, “Celaka engkau, wahai Hajjaj, engkau berani terhadap Allah, lalu kenapa aku tidak berani terhadap engkau? Siapakah engkau hingga aku tidak berani terhadapmu, sementara engkau berani terhadap Allah, Rabb sekalian alam?”
Al Hajjaj pun berkata, “Bebaskan dia.”
Lalu ia pun dibebaskan.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 9/144-145)
Abu Numair Nawawi