Angelina Sondakh, Nurani dan Etika

Hari hari ini kita terus-menerus dibombardir pemberitaan soal kesaksian Angelina Sondakh dalam lanjutan kasus wisma atlet dengan terdakwa mantan bendahara umum Partai Demokrat, Muhammad Nazarudin. Semua ribut, pakar hukum ribut, pakar politik ribut, pengacara-pengacara kondang ribut, politisi (apalagi) ribut, mahasiswa sudah pasti ribut, dan warung-warung kopi mulai dari paling kecil yang isinya pengemudi kendaraan umum sampai ‘warung kopi’ terkenal di Mall besar pasti juga meributkan hal ini. Yang diributkan tentu berbagai soal.

Kita paham sekali bahwa Angelina Sondakh ini bukan politisi biasa. Sebelum memasuki panggung politik, namanya sudah kadung mentereng sebagai salah satu perempuan cerdas milik bangsa ini, dia juga mantan pemenang salah satu kontes kecantikan terkenal negeri ini. Jadi anda bisa bayangkan, selain soal permasalahan hukum yang membelitnya saat ini oleh media cetak elektronik dengan basis pemberitaan soal politik dan hukum, dia juga dikuliti (belum sampai habis mungkin) soal  kehidupan pribadinya oleh awak media yang berbasis pemberitaan kehidupan artis dan gaya hidup.

Angelina Sondakh jelas perempuan cerdas dengan pemahaman multi-disipliner. Sudah disebut sebelumnya dia pemenang Kontes kecantikan yang mengharuskan dia memiliki 3 hal (yang katanya) sakral “brain, beauty, behaviuor”. Keterangan-keterangan yang dia sampaikan pada saat pemeriksaan saksi hampir 2 minggu yang lalu menunjukkan bahwa dia sangat memahami, mengetahui dan tentu saja mempraktekkan hak-hak hukum yang dimilikinya dimuka pengadilan. Tentu saja yang saya maksud disini adalah hak diam, hak menjawab tidak tahu dan hak ingkar (mungkin). Banyak jawaban yang -setidaknya menurut penasehat hukum M. Nazarudin- dia sampaikan bertentangan dengan keterangan saksi-saksi lain yang juga berkaitan dengan kasus wisma atlet ini. Hampir semua hal yang mengarah pada pemberatan terhadapnya dengan sangat mantap dijawab “tidak tahu” oleh Angelina Sondakh.

Menjawab tidak tahu di pengadilan merupakan hak, siapapun yang tidak berkenan menjawab pertanyaan dari  hakim, jaksa penuntut umum maupun penasehat hukum itu adalah hak. Tapi jelas, apa yang dilakukan oleh Angelina Sondakh sudah mulai membuat rakyat kesal. Rakyat tidak peduli soal hak “tidak tahu” atau hak “diam” yang dimiliki dan dipraktekkan Angelina di persidangan. Terlebih dengan kondisi rakyat saat ini yang sebagian besar masih hidup dibawah garis kemiskinan sebagai akibat dari banyaknya praktek korupsi di semua sendi kehidupan. Konkretnya, rakyat ingin agar setidaknya Angelina memiliki nurani dan keberanian untuk mengungkap apa yang diketahuinya soal kasus wisma atlet ini. Minimal nantinya kalau Angelina memiliki nurani dan menerangkan secara terbuka soal wisma atlet ini, dia tidak akan terus menerus menjadi bulan-bulanan awak media dan pembicaraan tidak berujung soal kasus ini.

Soal Nurani dan Etika

Praktek politik di Indonesia memperlihatkan pada kita bahwa politisi itu tidak pernah paham soal nurani dan tidak pernah punya etika. Saya yakin mereka punya nurani dan etika tapi nurani dan etika mereka tidak untuk dipraktekkan  kepada rakyat, tidak untuk menyenangkan hati rakyat. Nurani dan etika mereka untuk rakyat sudah mati saat mereka terus-menerus memberikan pembenaran soal praktek korupsi yang terus menerus berlangsung, bahkan jauh lebih buruk pasca reformasi 1998. Politisi saat ini mencoba memberikan rasionalisasi kepada rakyat bahwa apa yang mereka lakukan, sebagai representasi dari rakyat adalah hal yang terbaik untuk rakyat dan rakyat seharusnya menerima, kalaupun kesejahteraan saat ini belum tercapai setidaknya rakyat bersyukur dengan apa yang diterima saat ini.

Saya mungkin masih bisa memahami rasionalisasi dari politisi itu. Ini jelas berkaitan dengan saya yang setidaknya berkesempatan untuk sekolah sampai pada tahap perguruan tinggi, tidak sedang kelaparan saat menulis ini, tidak sedang dalam ruangan yang panas saat menulis ini atau segala hal yang akhirnya dapat mencegah saya untuk menulis ini dengan kepala panas. Tapi bagaimana dengan rakyat yang tidak sama kondisi sosial ekonominya dengan saya yang sudah muak dengan proses politik kotor? Yang sudah muak dengan janji pemberantasan korupsi, sudah muak dengan janji kesejahteraan?

Satu saat rakyat bisa jadi sangat tidak bernurani dan beretika sebagai reaksi dari kemuakan atas proses politik yang sarat dengan praktek korupsi dari para pejabat pemerintahan maupun legislatif. Sejarah rakyat yang bergerak menuntut perubahan adalah sejarah yang berulang, dan tahun 1998 adalah pergerakan rakyat terbesar yang terakhir terjadi dan tentu saja bisa terjadi lagi.

Menang Ramai, Kalah Ditinggalkan

Bagian ini adalah penutup dari tulisan ini. Sang Putri, Angelina Sondakh, harus memahami posisinya yang saat ini sudah menjadi tersangka. Dia harus benar-benar mempertimbangkan untuk mengungkap soal semua hal yang diketahuinya. Lupakan soal hak diam, hak ingkar dan hak-hak hukum lain yang dimilikinya yang justru makin membuat dia dibenci oleh rakyat. Lebih baik dia memikirkan perasaan rakyat yang sudah muak dengan semua praktek tidak bernurani dan beretika dari para politisi kebanyakan. Ini resiko politik yang akan ditanggung oleh Angelina Sondakh, menang ramai, kalah ditinggalkan. Lebih baik dia kalah di mata politisi tapi tidak dihakimi rakyat, dibanding menang di mata politisi tapi harus menanggung beban seumur hidup dihakimi rakyat.

Oleh: Andi Anugrah Pawi, Jakarta
FacebookTwitter