Anggapan Keliru tentang Interaksi dengan Al Quran

Semua hal di atas menjadi penyebab Al Quran tersisih dari benak umat. Kepercayaan terhadap Al Quran terkikis. Al Quran hanya dijadikan sebagai sumber berkah, dibaca sebagai pembuka acara, sementara kandungan maknanya terabaikan.

Ketika tujuan dan fungsi Al Quran diabaikan, ketika yang diwariskan dari generasi ke generasi hanya mushaf, bukan makna, ketika nilai-nilai Al Quran tak mempengaruhi perilaku, ketika setan terus-menerus membujuk manusia agar tak mengkaji dan memetik manfaat darinya..apa yang bisa kita tunggu dari semua itu?!

Kepahitan! Ya, Al Quran kehilangan fungsi sebagai tuntunan kehidupan, tak ada lagi generasi qur’ani, umat menjadi rendah.Itu secara umum. Secara khusus, yang terjadi jauh lebih rumit! Sebenarnya semua itu tidak perlu terjadi jika saja Al Quran diperlakukan secara tepat; ia diturunkan untuk sebuah misi besar, yaitu menunjukkan jalan lurus menuju Allah. Jika tujuan itu dilupakan maka apa yang sebenarnya hanya menjadi perantara untuk mencapai misi besar itu justru menjadi tujuan utama, sementara tujuan utama yang sebenarnya terabaikan.

Di tulisan ini, kami akan menambahkan beberapa pemahaman dan praktek menyimpang lainnya yang berkembang di kalangan kaum muslimin.

Minder Memahami Al Quran

Allah menurunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi kita.

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS Al Baqarah: 185)

Allah menjadikan Al Quran sebagai petujuk bagi kita karena Dia mengetahui kelemahan kita.

Al Quran itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Furqan: 6)

Agar kita dapat memperolah petunjuk Al Quran tersebut, Allah memerintahkan kita merenungkan Kitab Suci itu. “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS Shaad: 29)

Tentu saja, merenungi Al Quran dilakukan sesuai kemampuan setiap orang. Paling tidak, perenungan itu membuahkan hidayah (petunjuk). Beberapa orang merasa minder merenungi Al Quran. Mereka segan memahaminya secara langsung tanpa bantuan kitab tafsir -untuk mengetahui makna kata dan ayat. Tetapi, justru rasa seperti itulah yang menurut Ibnu Taimiyyah menghambat orang memahami Al Quran.(Qaidah fii Fadhail Qur’an, Ibnu Taimiyyah, hal 67)

Imam Ghazali mencatat beberapa hal yang menghambat seseorang memahami Al Quran, lalu mengatakan, “Seseorang sudah membaca tafsir yang sudah gamblang. Ia lalu meyakini tak ada lagi makna lain dari kata dan kalimat Al Quran selain yang ia peroleh dari Ibnu Abbas, Mujahid, atau yang lainnya (dari ahli tafsir / pen-). (Ihya Ulumuddin, 1/441)

Muhammad Abduh menegaskan, Allah berbicara melalui Al Quran kepada orang-orang yang memang hidup pada masa turunnya Al Quran itu, namun bukan berarti Al Quran itu khusus untuk mereka. Ia turun bukan semata karena mereka. Mereka hanyalah bagian dari manusia yang menjadi objek tujuan turunnya Al Quran.

Allah berfirman, “Wahai segenap manusia, bertakwallah kepada Allah!” Apakah masuk akal bila kita rela tidak memahami firman itu dengan pemahaman kita sendiri, karena harus mengikuti pendapat mereka yang sama sekali tidak ada titah jika harus diikuti?! Tidak! Setiap orang wajib memahami Al Quran dengan kadar kelimuan dan kemampuan masing-masing. (Tafsir Al Fatihah dan Juz Amma, Muhammad Abduh, hal 11)

Saya tidak mengatakan kita tidak butuh tafsir. Tapi yang saya maksudkan adalah kita harus berinteraksi secara langsung dengan Al Quran dan menggunakan akal kita untuk memahami Al Quran sesuai kemampuan. Di sisi lain kita juga perlu merujuk kepada tafsir untuk mengetahui makna yang belum jelas bagi pemahaman kita.

Sekedar Memburu Pahala

Anggapan bahwa Al Quran hanya sumber pahala dan keberkahan harus diluruskan. Sudah umum dipahami bahwa membaca satu huruf Al Quran bernilai sepuluh kebaikan. Semakin banyak huruf yang dibaca semakin berlipat ganda pahala didapat. Merenungkan isinya hanya menghambat untuk mendapatkan pahala dan kebaikan sebanyak mungkin.

Dengan pemahaman seperti itu banyak orang yang kemudian enggan merenungkan Al Quran. Mereka lebih memilih berlomba-lomba mengkhatamkan sebanyak dan secepat mungkin -khsususnya pada bulan Ramadhan.

Membaca Al Quran secara cepat itu mudah. Dan dengan itu terkadang orang merasa puas karena telah berhasil menyelesaikan sejumlah juz. Mereka rela membuang waktu dan tenaga untuk mendapatkan kepuasan itu.

Maka, membaca bukan lagi sebagai sarana untuk memahami Al Quran, melainkan telah menjadi tujuan itu sendiri yang menjadi perhatian banyak orang!