Bahasa

Suasananya gegap gempita. Segalanya serba gemerlap. Para pemuda dan pemudi yang berdesak-desakan di ruangan luas itu semuanya berpakaian rapi dan trendi. Tidak ada yang tampil ‘seadanya’. Lampu bergantian menyoroti wajah-wajah mereka. Semuanya datang untuk bersenang-senang; tak ada kesedihan di tempat dan waktu itu. Musik yang berdentum memekakkan telinga hanya bisa ditandingi dengan sorak sorai kegembiraan mereka yang hadir di sana. Tak ada kesusahan di sana, karena orang susah dilarang masuk.

Kata orang, inilah kehidupan malam orang-orang ‘pintar’ jaman sekarang. Dibilang pintar karena banyak uangnya, sedangkan menurut logika orang awam, banyak uang itu berarti banyak akal. Tapi sebenarnya, untuk mendapatkan uang, selain dengan jalan menggunakan akal, bisa juga dengan akal-akalan. Masalah akal dan akal-akalan ini terlihat jelas ketika seorang penyiar TV mewawancarai mereka (di sebuah stasiun televisi swasta, ada acara yang setiap episodenya membahas secara khusus gaya berpesta kaum urban ini). Ketika ditanya pendapatnya tentang party malam itu, jawaban tipikalnya adalah “Acaranya gokil abis! Keren!” Ketika diminta menjelaskan apa maksud “keren” yang diucapkannya, penjelasannya cukup “DJ-nya OK, yang dateng asik-asik, suasananya enak banget!” Dan kalau penyiarnya ‘iseng’ meminta penjelasan lebih lanjut, jawabannya tidak akan jauh dari “Pokoknya keren banget! Rugi yang nggak dateng!”

Inilah ironi bangsa Indonesia. Tidak semua orang mendapatkan uang dengan akal, bahkan bisa dibilang sebagian besar mendapatkan uang hanya dengan akal-akalan. Yang maju di negeri ini hanya entertainment. Riset sains diabaikan, industri hulu dilupakan, pendidikan mahal, kesehatan mahal, justru BBM yang disubsidi besar-besaran. Betapa banyak orang-orang yang mendapatkan kekayaan bukan dengan membangun bisnis yang bermanfaat bagi sesama, tapi hanya dengan memanipulasi hawa nafsu masyarakat. Uang banyak, pakaian rapi, kendaraan canggih, gadget beraneka ragam, tapi tergagap-gagap ketika diminta menjelaskan acara yang baru saja dihadirinya. Ini realita.

Tidaklah salah jika para ulama sejak dahulu kala telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap bahasa. Dengan bahasa itulah manusia berkomunikasi, menjelaskan isi pikirannya, memberi keterangan kepada yang membutuhkannya. Tidak ada dakwah tanpa penguasaan bahasa yang baik, bahkan orang tak mungkin bisa dikatakan berilmu kalau tidak menguasai bahasa. Sebab, ilmu itu sendiri perlu penjelasan, dan itulah tugas bahasa.

Dahulu, ust. Rahmat Abdullah rahimahullaah begitu keras menentang penggunaan yang salah dari kata “korban”. Menurut beliau, kata ini diadaptasi dari kata “qurban” dalam bahasa Arab. Istilah “qurban” di Indonesia memang identik dengan hewan yang disembelih pada Hari Raya Idul Adha, namun makna sebenarnya berkaitan dengan “kedekatan”. Allah itu dekat atau qariib, dan kata ini pun diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “karib”, yang biasanya diletakkan setelah kata “sahabat” untuk menunjukkan betapa dekatnya hubungan di antara dua orang yang berkawan. Setiap Muslim diperintahkan untuk terus ber-taqarrub atau mendekat kepada Allah, salah satunya dengan ber-qurban. Maka, esensi qurban bukanlah hewannya itu sendiri, melainkan keikhlasannya, sehingga yang akan sampai kepada Allah bukanlah darah atau dagingnya, melainkan amal salehnya. Tentu saja hewan yang di-qurban itu tidak diletakkan percuma saja sebagaimana orang-orang jahil menaruh sesajen. Dagingnya harus dibagi-bagikan, dan dengan demikian setiap Muslim dilatih untuk berbagi dengan sesama. Itulah cara mendekat kepada Allah.

Yang membuat ust. Rahmat Abdullah berang adalah beberapa media massa yang menyebut orang yang mati karena overdosis narkoba sebagai “korban narkoba”. Mereka bukanlah korban, karena tak ada taqarrub dalam tindakan yang menyebabkan kematiannya. Menurut ust. Rahmat, istilah yang tepat adalah “mangsa narkoba”. Tapi para penegak hukum pun sekarang kebingungan karena perspektif korban dalam kasus-kasus narkoba ini seolah sudah diterima begitu saja tanpa kritik, sehingga semua pengguna narkoba meminta agar diperlakukan sebagai korban, bukan sebagai pelaku kejahatan. Padahal mereka adalah orang-orang dewasa yang berakal, mampu membedakan yang benar dan yang salah, dan sudah sewajarnya siap mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri.

Penggunaan istilah “korban” untuk konteks narkoba memang problematis. Jika makna “korban” selalu sejalan dengan “qurban”, maka kita bisa membentuk kata “berkorban”. Namun jika penggunaan istilah ini tidak diwaspadai, jangan-jangan nanti akan ada pula istilah “berkorban demi narkoba”. Celaka betul! Benarlah mereka yang mengatakan bahwa bahasa menentukan budi.

Bagi para ulama, bahasa bukan sekedar alat untuk ngobrol tanpa kejelasan arah dan tujuan, karena di balik setiap kata pastilah ada konsep yang tersembunyi. Coba lihat bahasa Inggris yang mewakili mainstream dunia Barat secara umum. Mereka punya kata-kata “world” (dunia), “universe” (alam semesta), “sign” (tanda), “knowledge” (pengetahuan), dan “God” (Tuhan). Kelima istilah ini berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan sama sekali. “World” tidak berkaitan dengan “God”, dan “God” tidak ada kaitannya dengan “knowledge”. Beginilah tabiat bahasanya, yang merupakan cerminan yang sangat tepat dari konsep sekuler yang dianut oleh masyarakatnya.

Bandingkan dengan bahasa Arab yang merupakan alat yang Allah SWT gunakan untuk menurunkan wahyu-Nya kepada manusia melalui Kitab Suci-Nya. Padanan untuk kelima kata di atas (secara berurutan) adalah “’alaam”, “’aalamiin”, “’alamah”, “’ilm” dan “Al-‘Aliim”. Dunia yang kita kenal adalah “’alaam”. Setiap Muslim sudah terbiasa memahami dunianya sebagai bagian dari alam semesta yang luar biasa luasnya. Mereka meyakini bahwa dunianya ini adalah satu dari sekian banyak alam yang telah diciptakan oleh Allah, sehingga alam pun dinyatakan dalam bentuk jamak, yaitu “’aalamiin”. Alam yang kita saksikan ini pun adalah sebuah tanda kekuasaan Allah SWT, dan karenanya, ia disebut sebagai “’alamah” (yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata “alamat”). Dengan memahami tanda-tanda itu, kita pun akan mendapatkan “’ilm” (ilmu), karena alam ini pun diciptakan dengan ilmu. Oleh karena itu, Allah SWT pun memiliki salah satu nama yang berkaitan dengan ilmu, yaitu “Al-‘Aliim” (Yang Maha Mengetahui).

Bagi seorang Muslim, kelima kata yang dibahas ini memiliki keterkaitan, dan hal ini menunjukkan kekukuhan konsep yang diajarkan dalam agama Islam. Dunia dan alam semesta adalah tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang bisa dikaji dengan ilmu, sedangkan ilmu itu sendiri pastilah berasal dari Yang Maha Mengetahui. Sebaliknya, orang Barat memahami kelima istilah secara terpisah, tanpa ada keterkaitan satu sama lainnya. Maka ketika mereka melihat dunia dan alam semesta, mereka tidak mengingat Tuhannya. Dunia hanyalah tempat untuk mereka bersenang-senang dan memenuhi syahwat, bukan tanda kekuasaan Allah. Mereka ibarat orang yang berhenti di pinggir jalan untuk mengagumi keindahan rambu-rambu lalu lintas; perhatiannya tertuju pada tanda-tanda, bukan pada apa yang ditunjuk oleh tanda-tanda itu. Oleh karena itu, segala perhatiannya tercurah pada sesuatu yang sebenarnya bukan ilmu, karena ia tidak membawanya mendekat pada Al-‘Aliim. Maka bukannya melahirkan hal-hal yang bermanfaat, mereka hanya membantu umat manusia memuaskan keinginan sesaatnya saja. Dengan cara akal-akalan beginilah mereka menghidupi dirinya.

Pada akhirnya, mereka pasti akan dimangsa oleh dunia.