Telah diketahui bahwa seluruh ibadah dalam agama Islam ini haruslah dilandasi dengan keikhlasan kepada Allah ta’ala. Dengan keikhlasan, seorang mukmin akan dapat meraih derajat mulia di sisi Allah ta’ala, bahkan Iblis tidak akan sanggup untuk menyesatkannya. Namun, apakah kita telah paham akan makna keikhlasan, sementara generasi terbaik umat ini merasakan betapa beratnya mewujudkan keikhlasan dalam ibadah mereka.
Ikhlas Adalah Inti Ibadah
Allah ta’ala menciptakan manusia dan jin untuk suatu tujuan yang agung, yaitu beribadah hanya kepada-Nya. Allah ta’alaberfirman “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat: 56). Tidak cukup sampai disitu, Allah ta’ala berfirman “Dan tidaklah mereka diperintah kecuali supaya mereka menyembah Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama untuk-Nya…” (QS. Al Bayyinah: 5). Oleh karena itu, sudah merupakan keharusan bahwa ibadah yang kita lakukan dilandasi keikhlasan untuk Allah ta’ala semata. Apabila ibadah yang kita ternodai oleh noda-noda ketidak-ikhlasan kepada Allah, niscaya amal tersebut tidak akan ada artinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Allah ta’ala berfirman ‘Aku adalah maha kaya yang tidak butuh akam sekutu-sekutu. Barangsiapa beramal dalam keadaan menyekutukan-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia bersama dengan sekutu tersebut’” (HR. Muslim).
Riya’ Penghancur Ibadah
Salah satu penyakit yang dapat menodai keikhlasan seorang hamba adalah riya’. Yang dimaksud dengan riya’ adalah memperlihatkan (memperbagus) suatu amalan dengan tujuan mendapatkan pujian manusia. Semakna dengan riya’ adalah sum’ah yaitu memperdengarkan suatu amalan dengan tujuan yang sama yaitu mendapatkan pujian manusia. Riya’ termasuk syirik khafiy (tersembunyi), maknanya adalah kesyirikan yang terdapat di dalam hati manusia yang tidak ada yang mengetahuinya selain Allah ta’ala. Seseorang bisa saja selamat dari syirik akbar yaitu dengan menjauhi segala bentuk peribadatan kepada selain Allah, namun terkadang dia tidak selamat dari riya’ yang merupakan syirik asghar. Oleh karena itu, sepatutnya seorang mukmin mewaspadai hal ini. (lihat I’anatul Mustafid, Syaikh Shalih al Fauzan)
Penyakit riya’ dapat menimpa siapa saja, termasuk orang yang shalih sekalipun. Di dalam hadits yang panjang dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa golongan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah seorang yang mati syahid, seorang yang mempelajari dan mengajarkan ilmu, dan seorang yang bersedekah. Namun, ternyata Allah ta’ala masukkan mereka ke dalam neraka karena niat ibadah mereka tidak ditujukan kepada Allah ta’ala. Orang yang mati syahid ternyata berperang sampai syahid supaya dia dikatakan pemberani, orang yang mempelajari dan mengajarkan ilmu ternyata ingin dikatakan sebagai seorang alim, dan orang yang bersedekah ternyata ingin supaya dikatakan dermawan oleh orang lain. Hadits ini hendaknya menjadi peringatan bagi kita yang hendak beramal agar memurnikan ibadah kita hanya untuk Allah ta’ala semata dan membersihkannya dari kotoran-kotoran riya’ dan sum’ah yang dapat menodainya.
Selain itu, seorang yang riya’ dalam ibadahnya, berarti terdapat dalam dirinya satu bagian dari sifat-sifat kaum munafikin, sebagaimana firman Allah ta’ala “Dan apabila mereka (kaum munafikin) berdiri mengerjakan shalat, maka mereka berdiri dalam keadaan malas dan riya’ di hadapan manusia dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisa: 142). Allah ta’ala juga berfirman”Maka kecelakaanlah bagi orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya,(dan) mereka yang riya’…” (QS. Al Ma’un: 4-6). (lihat I’anatul mustafid). Inilah ancaman Allah untuk orang-orang yang riya’ Waliyyadzu billah.
Generasi terbaik pun mengkhawatirkannya
Penyakit riya’ amatlah berbahaya karena ia menjangkiti seseorang bukan dalam keadaan seseorang bermaksiat, melainkan justru menyerang tatkala dia tengah beramal shalih. Oleh karena itu, generasi terbaik umat ini, dari zaman Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti jalan mereka sangat mengkhawatirkan amal mereka terjangkiti riya’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik asghar”. Lalu beliau ditanya tentang (maksud) hal tersebut (syirik asghar), maka beliau menjawab “Riya’”. [HR. Ahmad, hasan]. Lihatlah, Rasulullah mengatakan hal ini kepada Abu Bakar, Umar, para sahabat muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum yang telah mencapai ketinggian tauhid, iman, dan jihad fi sabilillah. Namun, bersamaan dengan itu Rasulullah tetap takut riya’ menjangkiti mereka. Maka siapa lagi yang bisa merasa aman setelah mereka? (lihat I’anatul Mustafid).
Tatkala hadits tentang golongan orang yang pertama kali dimasukkan ke neraka karena riya -sebagaimana telah disebutkan di awal- sampai ke sahabat Mu’awiyah bin Sufyan radhiyallahu ‘anhu, beliau jatuh pengsan. Setelah siuman beliau berkata “Telah benar Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh bagian di akhirat, kecuali neraka….” (QS Hud: 15-16) (lihat Jami’ul Ulum wal hikam, Ibnu Rajab Al Hanbali)
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata “Tidaklah ada sesuatu yang lebih sulit untuk aku perbaiki melainkan niatku” (lihatJami’ul ‘ulum). Demikian pula para ulama’ ketika menulis kitab, banyak di antara mereka membuka kitabnya dengan hadits Umar bin Khattab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya.Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang ia niatkan…” [HR. Bukhari-Muslim]. Di antara para ulama’ tersebut adalah Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, Imam An Nawawi dalam Arbain An Nawawiyyah dan Riyadhush Shalihin, Imam Ash Shuyuthi dalam Jamiush shaghir, dan selain mereka. Disebutkan bahwa para ulama membuka kitab-kitab mereka dengan hadits ini adalah sebagai peringatan bagi penulis atau para pembacanya untuk mengikhlaskan niat mereka hanya untuk Allah ta’ala dalam seluruh perkara ibadah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. (lihat Fathul Qawiy al Matin, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad). Maka, demikianlah perhatian generasi terbaik umat ini akan niat mereka.
Kiat Menuju Keikhlasan
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah menjelaskan, seseorang dapat mencapai keikhlasan yang sempurna apabila ibadahnya dibangun di atas tiga perkara. Pertama, seseorang meniatkan suatu amalan sebagai ibadah kepada Allahta’ala, bukan karena kebiasaan atau rutinitas belaka. Kedua, seseorang melakukan ibadah tersebut karena Allah dan untuk Allah semata. Ketiga, seseorang melakukan ibadah tersebut dalam rangka melaksanakan syari’at Allah ta’ala. (lihat Syarah Riyadhush Shalihin)
Sebagai contoh, seseorang mendengar panggilan adzan kemudian menuju masjid untuk mengerjakan shalat. Maka untuk mencapai derajat keikhlasan yang sempurna, orang tersebut harus menjadikan perginya ke masjid dan shalatnya sebagai ibadah kepada Allah ta’ala, bukan sekedar rutinitas kesehariannya. Lalu, dia mengerjakannya karena Allah dan untuk Allah semata, bukan karena ingin dipuji mertua, cari muka kepada atasan, atau yang lain semisalnya. Terakhir, dia berangkat ke masjid dan shalat dalam keadaan dia menanamkan pada dirinya bahwa amalan tersebut telah disyari’atkan oleh Allah ta’aladan rasul-Nya yang dia harus tunduk dan patuh terhadapnya.
Ibnul Jauzi rahimahullah menyatakan bahwa seseorang yang ingin ikhlas hendaknya dia mengenal Allah ta’ala dengan sebenar-benarnya. Maka, barangsiapa yang telah mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya dia akan menujukan ibadahnya hanya untuk Allah ta’ala semata dan tidak melihat kepada selain-Nya. Dia juga menempatkan dirinya sebagai hamba yang hina di hadapan sesembahannya, bukan sebagai sesembahan yang harus dipuji. Dia pun melihat bahwa pahala itu didapat hanyalah dengan amal yang ikhlas. (lihat Ath Thibbur Ruhani, www.waqfeya.com).
Kiat Terbebas dari Riya’
Sesungguhnya seseorang jika telah mampu untuk mewujudkan kiat-kiat keikhlasan di atas, maka otomatis dia dapat terbebas dari riya’. Namun, mengingat peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap riya’, maka kita tidak bisa menutup mata untuk mencari sebab agar bisa selamat darinya. Di antara sebab-sebab seseorang dapat terbebas dari riya adalah,
- Berdo’a kepada Allah ta’ala supaya dijauhkan dari penyakit riya’ karena do’a adalah senjata seorang mukmin.
- Sebisa mungkin menyembunyikan amalan sebagaimana banyak dilakukan oleh orang-orang shalih terdahulu. Tentunya amalan yang bisa disembunyikan adalah amalan yang diberi kebebasan memilih oleh syari’at untuk dikerjakan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi seperti sedekah. Adapun amalan yang merupakan syi’ar Islam, seperti shalat jama’ah di masjid, sudah menjadi kewajiban bagi tiap muslim laki-laki untuk menghadirinya sehingga tidak bisa dilakukan secara sembunyi.
- Memandang kecil amalan-amalan kita sehingga dapat menumbuhkan semangat untuk menambah dan memperbaiki amalan.
- Menumbuhkan rasa takut tidak diterimanya amal oleh Allah ta’ala.
- Tidak terpengaruh dengan respon orang lain tatkala beribadah.
- Menyadari bahwa surga dan neraka bukan di tangan manusia, tapi di tangan Allah ta’ala semata.
- Selalu mengingat bahwa kelak di kubur kita akan sendirian. Yang menemani kita hanyalah amal shalih yang ikhlas karena Allah ta’ala semata.
Namun, tidak setiap amal yang terlihat riya’ bisa dikatakan riya’. Di antara perkara yang bukan termasuk riya’ misalnya seseorang yang melakukan amal dengan ikhlas, namun setelah selesai dia mendapat pujian dari orang lain tanpa dia inginkan, sebagaimana ada seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal (secara ikhlas) dengan amal kebaikan yang kemudian manusia memujinya?” Maka Rasulullah menjawab: “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin” [HR Muslim]. Selain itu, beramal dalam rangka memberikan teladan bagi orang lain juga bukan termasuk riya’ bahkan hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, sebagaimana Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Barangsiapa yang memberikan teladan yang baik dalam Islam, kemudian ada yang mencontoh kebaikannya, maka dicatat baginya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang mencontohnya.” (HR. Muslim)
Demikianlah paparan ringkas seputar keikhlasan dan riya’. Semoga Allah ta’ala memberi taufik kepada kita untuk menjadi hamba-hamba yang ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh ibadah kita. Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepadamu dari perbuatan syirik dalam keadaan kami mengetahuinya, dan kami memohon ampun atas perbuatan syirik yang tidak kami ketahui. Wallahu ta’ala a’lam.
Arif Rohman Habib