Bawahannya Saja Begini, Apalagi Atasannya

“Akh, ente tau gak dia siapa?” Tanya senior saya selepas menyapa temannya yang sama-sama dari masjid. Saya menggeleng. Dia memberi tahu bahwa temannya itu ialah supir pribadi seorang tokoh politik (baca: pejabat) dari salah satu partai Islam yang ada di Indonesia.

Kemudian sambil berjalan bersama, dia melanjutkan ucapannya, “Setahu ane, dia itu tidak pernah bolos sholat berjama’ah lho. Hebat ya. Bawahannya saja begini, apalagi atasannya.”

Sejenak, saya menekuri kata-katanya tadi, bawahannya saja begini, apalagi atasannya. Bukankah wajar sebagai seorang muslim tidak bolos sholat berjama’ah? Lagipula, terlepas apa pun statusnya, Allah tidak memandang seorang hamba melainkan ketakwaannya, bukan?

Lama saya berpikir, hingga akhirnya saya teringat sebuah hadits,

“Dua hal apabila dimiliki oleh seseorang dia dicatat oleh Allah sebagai orang yang bersyukur dan sabar. Dalam urusan agama (ilmu dan ibadah) dia melihat kepada yang lebih tinggi lalu meniru dan mencontohnya. Dalam urusan dunia dia melihat kepada yang lebih bawah, lalu bersyukur kepada Allah bahwa dia masih diberi kelebihan.” [HR. Tirmidzi]

Betapa indah apabila masing-masing dari kita bersikap seperti yang dikatakan Rasulullah SAW. Melihat ke bawah dalam urusan dunia, dan melihat ke atas dalam urusan akhirat. Namun pertanyaannya, bagaimana jadinya jika atasan tidak dapat menjadi contoh bagi bawahannya? Nah, ini dia masalahnya.

Dewasa ini, betapa banyak kasus yang ‘di atas’ tidak dapat menjadi contoh bagi yang ‘di bawah’. Anehnya, apabila yang ‘di bawah’ melakukan prestasi, yang ‘di atas’ sering berseloroh dengan bangga, “Siapa dulu dong atasannya!” Tapi lain jawaban ketika yang ‘di bawah’ melakukan kesalahan, yang ‘di atas’ pasti berujar, “Emang dasar bawahannya saja yang tidak becus.”

Ini menarik. Padahal, kata atas dan bawah menandakan bahwa ada satu kesatuan di antaranya. Kalau tidak, bukan atas dan bawah namanya, tetapi kanan dan kiri (sejajar). Sederhananya begini, tidak akan ada atas apabila tidak ada bawah, begitu pula sebaliknya. Maka dari itu, hendaknya yang ‘di atas’ memperhatikan yang ‘di bawah’, karena bagimanapun kondisi yang ‘di bawah’ ialah cerminan bagaimana kondisi yang ‘di atas’.

Ibarat air gunung, maka jernih atau tidaknya air yang di bawah merupakan gambaran kondisi air yang di atas, bukan? Lalu bagaimana jika air di atas jernih, sedangkan yang di bawah keruh? Ini bukan masalah besar, karena cepat atau lambat air yang keruh di bawah itu akan terganti dengan jernihnya air yang ada di atas. Lain halnya ketika memang atasnya yang keruh, segigih apa pun upaya yang dilakukan untuk menjernihkan air yang di bawah tidak akan pernah berhasil, lantaran air keruh di atas terus turun ke bawah.

Maka tak berlebihan jika sering kita dengar pernyataan serupa: Adiknya saja begini, apalagi kakaknya; Anaknya saja begini, apalagi orang-tuanya; Muridnya saja begini, apalagi gurunya; dan lain sebagainya.

Lepas dari itu, kita diciptakan oleh Allah SWT tidak sendiri, tetapi dengan banyak rival yang berasal dari segala penjuru dunia, semata untuk terus berlomba menggapai ridho-Nya. Dengan adanya rival, kita bisa tahu posisi dan terpacu untuk meningkatkan valensi diri. Rival ini bukan berarti lawan, melainkan pembanding antara satu dengan yang lain. Bayangkan, jika kita lomba lari, tetapi kita lari sendiri. Mungkin kita tidak akan tahu di mana posisi kita berada, apakah di depan atau di belakang, cepat atau lambat.

Allah SWT berfirman,

“…Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan…” [QS. 2:148]

Semangat inilah yang semestinya kita munculkan dalam keseharian, sehingga orang tua hendaknya malu apabila kalah dewasa dengan anaknya; Seorang syekh mestinya malu kalau ibadahnya kalah dengan santrinya; Seorang pemimpin harusnya malu ketika tidak lebih bijaksana daripada bawahannya; dan lain sebagainya. Kesadaran malu inilah yang harusnya diolah menjadi semangat ‘tidak mau kalah’ dalam kebaikan.

Kita tentu ingat dengan ungkapan, “semakin tinggi pohon, maka angin semakin kencang.” Apabila ini dikaitkan dengan hal yang kita bahas, tentu hasilnya cukup signifikan dan menimbulkan kesimpulan: Semakin tua, semakin dewasa. Semakin kaya, semakin dermawan. Semakin sehat, semakin produktif amalnya. Semakin lapang, semakin banyak kesempatan berbuat baiknya. Intinya, semakin ‘atas’, maka semakin dapat dijadikan contoh bagi yang ‘bawah’ dan dapat memertanggungjawabkan kredibilitasnya sebagai yang ‘di atas’.

Inilah alasan (mungkin) mengapa senior saya berkata demikian, bahwa kondisi ‘atasan’ dapat dilihat dari kondisi ‘bawahan’. Kalau seorang supir saja tidak pernah bolos sholat berjama’ah, lantas bagaimana atasannya? Kalau bawahannya saja baik, bagaimana dengan atasannya? Ya… tentu (semoga) lebih baik lagi!

Allahua’lam…

Oleh: Deddy Sussantho, Depok.