Berbagi Biaya Pengadaan Hewan Kurban

A. Seekor Unta Untuk Tujuh Orang

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu berkata,”Kami menyembelih bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7 orang”. (HR. Muslim).

Hadits ini menerangkan bahwa ketentuan dalam penyembelihan adalah patungan untuk membeli sapi dan sejenisnya atau untuk dan sejenisnya oleh 7 orang. Sedangkan kambing dan sejenisnya tidak ada keterangan yang membolehkannya untuk dilakukan dengan patungan.

Karena itu umumnya para fuqaha mengatakan bahwa bahwa seekor kambing tidak boleh disembelih atas nama lebih dari satu orang. Keterangan ini pada beberapa kitab fiqih yang menjadi rujukan utama. (Al Badai’ jilid 5 hal. 70, Bidayatul Mujtahid jilid 1 hal. 420, Mughni Al-Muhtaj jilid 4 hal. 285, Al-Muhazzab jilid 1 hal. 238, Al-Mughni jilid 8 hal. 619, Kasysyaf Al-Qanna’ jilid 2 hal. 617.)

B. Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga

Bukan ternyata kita masih juga menemukan adanya dalil bahwa seekor kambing disembelih untuk udh-hiyah, dimana peruntukkannya bisa untuk lebih dari satu orang, bahkan untuk satu keluarga.

Al-Hanabilah dan Asy-Syafi’iyah membolehkan seseorang berkurban seekor kambing untuk dirinya dan untuk keluarganya. Hal itu karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam memang pernah menyembelih seekor kambing qurban untuk dirinya dan untuk ahli baitnya.

Hal senada juga disepakati oleh Imam Malik, bahkan beliaumembolehkan bila anggota keluarganya itu lebih dari 7 orang. Namun syaratnya adalah [1] pesertanya adalah keluarga, [2] diberi nafkah olehnya dan [3] tinggal bersamanya.

Sedangkan bila patungan terdiri dari 50 anak di dalam kelas untuk membeli seekor kambing, tentu saja tidak bisa dikatakan sebagai hewan qurban. Karena tidak memenuhi ketentuan yang telah ada. Meski ada juga orang yang membolehkannya seperti A. Hassan Bandung dan lainnya. Namun kami menganggap istidlalnya masih tidak terlalu kuat.

C. Qurban Untuk Orang Wafat

Masalah penyembelihan hewan udh-hiyah yang niatnya agar pahalanya disampaikan kepada mereka yang sudah wafat, seperti untuk orang tua, mertua, saudara, keluarga dan lainnya, adalah masalah yang menjadi ajang perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha.

Sebagian dari para ulama membenarkan bahwa menyembelih hewan qurban untuk keluarganya yang telah wafat itu boleh dilakukan, dan pahalanya akan bisa disampaikan kepada yang dituju.

Namun sebagian dari para ulama tidak membenarkan hal ini. Mereka menolak bila pahala penyembelihan hewan udh-hiyah ini bisa dikirim kepada almarhum di alam kubur.

1. Mazhab Asy-Syafi’iyah

Pendapat yang mengatakan tidak boleh adalah pendapat dari mazhab Asy-Syafi’iyah. Mazhab ini secara tegas mengatakan bahwa pahala tidak bisa dikirim kepada orang yang sudah wafat, kecuali bila memang ada wasiat atau waqaf dari mayit itu ketika masih hidup, termasuk pahala sembelihan hewan udh-hiyah.

Pengecualiannya adalah apabila almarhum sebelum wafat berwasiat atau berwaqaf. Kalau dikatakan berwasiat, memang sejak masih hidup, yang bersangkutan telah menetapkan niat. Bahkan harta yang digunakan adalah harta miliknya sendiri, yang disisihkan sebelum pembagian warisan.

Demikian juga halnya dengan wakaf, almarhum sejak sebelum wafat sudah berniat untuk menyembelih hewan udh-hiyah, yang uangnya diambil dari harta produktif yang telah diwakafkan.

Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Quran :

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS. An-Najm : 39)

Sebenarnya pendapat kalangan Asy-Syafi’iyah ini justru bertentangan dengan perilaku umat Islam di negeri ini yang mengaku bermazhab Asy-Syafi’iyah. Dan fenomena tahlilan atau mengirim pahala bacaan ayat Al-Quran al-Kariem kepada ruh di kubur justru menjadi ciri khas keagaamaan bangsa ini.

Sementara mazhab mereka dalam hal ini Imam Asy-Syafi’i justru mengatakan bahwa pengiriman itu tidak akan sampai.

2. Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah

Sebaliknya, kalangan fuqaha dari Al-Hanafiyah dan Al- Hanabilah sepakat bahwa hal itu boleh hukumnya. Artinya tetap sah dan diterima disisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai pahala qurban.

Mereka membolehkan pengiriman pahala menyembelih hewan udh-hiyah kepada orang yang sudah meninggal dunia. Dan bahwa pahala itu akan bisa bermanfaat disampaikan kepada mereka.

Dasar kebolehannya adalah bahwa dalil-dalil menunjukkan bahwa kematian itu tidak menghalangi seorang mayit bertaqaruub kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana dalam masalah shadaqah dan haji.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan berkata, “Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tapi belum sempat pergi hingga wafat, apakah saya harus berhaji untuknya?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab, “Ya pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu bila ibumu punya hutang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarkanlah hutang kepada Allah karena hutang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan.” (HR Al-Bukhari).

Hadits ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah haji dengan dilakukan oleh orang lain memang jelas dasar hukumnya, oleh karena para shahabat dan fuqoha mendukung hal tersebut. Mereka di antaranya adalah Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Imam Asy-Syafi`i rahimahullah. Dan lainnya. Sedangkan Imam Malik rahimahullah mengatakan bahwa boleh melakukan haji untuk orang lain selama orang itu sewaktu hidupnya berwasiat untuk dihajikan.

Seorang wanita dari Khats`am bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-nya untuk pergi haji, namun ayahku seorang tua yang lemah yang tidak mampu tegak di atas kendaraannya, bolehkah aku pergi haji untuknya?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab, “Ya.” (HR Jamaah)

3. Mazhab Al-Malikiyah

Sedngan mazhab Al-Malikiyah mengatakan bahwa hal itu masih tetap boleh tapi dengan karahiyah (kurang disukai). Adapun anak yang meninggal saat dilahirkan, menurut banyak ulama tidak perlu disembelihkan aqidah, sebab secara umum aqidah hanya untuk anak yang hidup, sebagai doa atas kebaikannya di dunia ini.

D. Latihan Qurban

Idealnya ibadah ini dilakukan oleh seseorang yang punya kelebihan harta dengan cara menabung, lalu dia membeli kambing dengan hartanya itu, dan menyembelihnya dengan tangannya sendiri di hari penyembelihan, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan tentunya semua pahala dari Allah hanya diperuntukkan untuk dirinya sendiri.

Seseorang menabung dengan menyisihkan uangnya sedikit demi sedikit, katakanlah misalnya Rp. 25.000 / bulan, maka setelah empat tahun, tabungannya akan berjumlah Rp. 1.200.000. Cukup untuk membeli seekor kambing pada Idul Adha.

Namun sudah menjadi tradisi khususnya di beberapa lingkungan, misalnya di kalangan siswa dan guru di sekolah, bahwa pada setiap Hari Raya Idul Adha dilakukan penyembelihan hewan udh-hiyah, yang mana hewan itu didapat dengan cara membeli secara patungan dari seluruh siswa di sekolah itu.

Setiap siswa dipungut sepuluh ribu rupiah, maka dari 100 siswa akan terkumpul uang sebesar 1 juta rupiah. Cukup untuk membeli seekor kambing dengan ukuran seadanya. Kalau di sekolah itu ada 1.000 siswa, maka sekolah itu bisa membeli 10 ekor kambing.

Lalu pada Hari Raya Idul Adha seusai shalat, kambingkambing itu secara bersama-sama disembelih dan dimasak di sekolah dan mereka pun makan daging kambing bersama-sama dengan para guru.

Pertanyaannya, apakah yang mereka sembelih itu sah disebut hewan udh-hiyah? Kalau tidak sah, lalu apa statusnya bila dilihat secara hukum fiqih?

Jawabannya tergantung dari bagaimana aturan dan akadnya. Kalau aqadnya benar, maka hewan yang disembelih itu sah sebagai hewan udh-hiyah. Sebaliknya kalau aturan dan akadnya tidak benar, maka hewan itu bukan hewan udh-hiyah.

1. Qurban Adalah Ibadah Individual Bukan Kelompok

Meskipun pengerjaannya bisa bersama-sama, namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa ibadah penyembeliah hewan udh-hiyah ibadah bersifat individu, sebagaimana syariat zakat dan haji.

Mari kita ambil dua buah ilustrasi untuk memudahkan duduk masalahnya.

a. Zakat

Yang pertama, kita ambil contoh dalam masalah zakat. Ketentuan emas yang wajib dizakatkan adalah bila telah mencapai nishab, yaitu seberat 85 gram. Kalau di dalam satu RT ada seratus kepala keluarga yang masing-masing memiliki emas seberat 1 gram, apakah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat? Apakah tiap orang harus dipotong emasnya 2,5% sehingga tinggal 0,975 gram?

Jawabannya pasti tidak. Tetapi kalau masing-masing ingin bersedekah dengan 0,975 gram emas, tentu tidak dilarang. Asalkan mereka tahu bahwa itu hanya sekedar sedakah dan bukan zakat.

Kenapa?

Karena kewajiban membayar zakat bersifat individu, bukan per-RT. Benar bahwa emas se-RT akan berjumlah 100 gram dan benar bahwa 100 gram emas sudah memenuhi nishab. Akan tetapi 100 gram emas itu bukan milik pribadi tapi milik 100 orang yang berbeda. Maka tidak ada kewajiban membayar zakat dari 100 gram itu bila emas itu milik 100 orang yang berbeda.

Dan tidak sah bila dikeluarkan zakatnya.

b. Haji

Demikian juga dengan ibadah haji. Kalau 100 orang yang tinggal di satu RT masing-masing punya uang tabungan 35 ribu rupiah, maka jumlah total uang se-RT itu memang 35 juta.

Dengan uang itu bisa didapat satu porsi haji. Katakanlah uang itu diserahkan kepada pak RT untuk berangkat haji. Kira-kira setelah pulang kembali ke tanah air, yang disebut pak haji itu siapa? Pak RT ataukah ke-100 warganya semua dipanggil dengan sebutan pak Haji?

Jawabannya mudah, hanya pak RT saja yang dipanggil pak Haji. Kenapa? Karena yang mengerjakan ibadah haji hanya beliau. 100 orang warganya tidak pernah mengerjakan ibadah haji. Mereka bukan pak haji, tidak mendapat pahala haji, tidak dijamin mendapat surga.

Lalu uang 300 ribu itu apa judulnya?

Uang itu berstatus hadiah buat pak RT. Sekedar hadiah dan bukan apa-apa. Kalau mau lebih nekad, paling tinggi status uang 300 ribu itu hanya sampai batas sedekah atau infaq saja.

Tidak akan membuat status 100 warga itu menjadi pak haji. Dan kewajiban mengerjakan ibadah haji buat mereka sama sekali belum gugur.

Maka demikian juga dengan penyembelihan hewan udh-hiyah, tidak dilakukan dengan cara berpatungan, melainkan dilakukan secara individu dan terpisah, meski pun dalam prakteknya, bisa dikerjakan bersama-sama, di lokasi yang sama, dengan pantia yang sama.

2. Makan Sate Bersama

Lalu bagaimana status hukum hewan udh-hiyah pada kasus patungan siswa-siswi sekolah di atas?

Kalau aturan dan akadnya tetap sebagai hasil patungan, maka statusnya bukan hewan udh-hiyah, melainkan sekedar acara makan sate bersama. Dimana waktu dan momen-nya ikut mendompleng dengan hiruk pikuk Hari Raya Idul Adha.

Tentu tidak ada kaitannya dengan ibadah dan taqarrub kepada Allah, apalagi mengharapkan pahala, tentu jelas tidak ada. Sebab ini bukan ibadah, ini adalah pesta makan-makan semata. Kalau mau kambing yang agak murah, sebaiknya embeli kambingnya setelah lewat Idul Adha. Toh ini bukan ibadah ritual, sehingga waktunya bebas dilakukan kapan saja, tidak ada aturan yang mengikat.

3. Hadiah Buat Guru

Namun menyembelih kambing itu bisa tetap bertatusibadah udh-hiyah, dan acara makan sate bersama itu bisa tetap bernilai daging udh-hiyah, asalkan dengan ketentuan begini:

Uang yang dikumpulkan dari para siswa itu diniatkan sejak awal untuk memberi hadiah kepada salah seorang guru. Katakanlah guru yang paling mereka cintai atau guru teladan.

Jadi setiap 100 siswa menghadiahi sepuluh ribu perak buat sang guru, sehingga totalnya menjadi 1 juta rupiah. Maka dalam hal ini ada beberapa ketentuan :

a. Uang Itu 100% Milik Pak Guru

Maka pak guru ini menerima uang hadiah sebesar 1 juta rupiah. Yang namanya penyerahan hadiah, berarti secara hukum, uang itu 100% sudah milik pak guru. Kalau kebetulan beliau berubah pikiran tapi tetap logis, misalnya dari pada buat beli kambing dan pesta makan sate, mendingan buat beli beras, bayar hutang dan melunasi tunggakan rumah kontrakan yang sudah tiga bulan, tentu saja tidak boleh ada yang protes.

Karena beliau sudah menjadi pemilik sah uang 1 juta. Dan yang namanya memberi hadiah, sifatnya harus ikhlas dan benarbenar total. Tidak boleh hadiah itu yang diberikan masih mengandung syarat ini dan itu.

Siswa tidak boleh protes apabila Pak Guru berpikir lebih baik uang itu ditabung saja, buat persiapan pensiun hari tua, maka itu menjadi hak preogratif beliau.

b. Kambing Itu Milik Pak Guru

Katakanlah misalnya dengan uang 1 juta perak itu pak guru memang berniat untuk membeli kambing untuk ibadah dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka dagingnya tentu 100% milik beliau juga, bukan milik 100 orang muridnya.

Maka kalau beliau memandang bahwa akan jauh lebih bermanfaat bila daging kambing itu disedekahkan kepada fakir miskin yang benar-benar kekurangan yang tinggal di seputar rumahnya, maka itu pun 100% menjadi hak beliau sebagai pemilik kambing.

Keseratus siswa-siswinya tidak boleh nggerundel, alias marah-marah karena tidak jadi makan sate.

c. Pahala Untuk Pak Guru

Kalau kebetulan pak guru mau memanfaatkan uang hadiah itu untuk membeli seekor kambing, dan beliau mau mensedekahkan atau menghadiahkan dagingnya kepada siswasiswinya, maka tentu berpahala besar.

Pertanyaannya, buat siapa kah pahalanya?

Jawabnya, tentu 100% buat pak Guru. Karena uang untuk membeli kambing 100% milik pak Guru. Kambingnya 100% kambing pak Guru. Ketika beliau menyembelih, tentu beliau mendapat pahala ritual penyembelihan. Dan ketika dagingnya beliau hadiahkan atau sedekahkan, maka pahalanya jelas-jelas buat pak Guru.

Lalu apakah 100 siswa-siswinya itu mendapat pahala? Tentu dapat pahala, tapi pahala memberi hadiah buat pak guru, bukan pahala berqurban, apalagi bersedekah dengan daging hewan qurban.