Berhati-hati dengan Pikiran Kita

Suatu hal yang menarik sempat menjadi perhatian saya. Ini terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Mungkin sudah banyak yang tahu, atau mungkin ada juga yang kurang menyadari hal ini. “Apa yang kita pikirkan kepada orang lain, hal itu akan kembali kepada kita”. Ya begitu, kadang hal-hal yang kita pikirkan kepada orang lain justru kembali ke kita. Kenapa demikian? Bagaimana cara kita berpikir terhadap mereka adalah refleksi perbuatan kita terhadap mereka.

Kalau kita berpikir buruk tentang mereka, biasanya hal itu akan kembali kepada kita. Begitu pun jika kita berpikir tentang kebaikan. Kita berpikir si Fulan itu payah, dia pelit, dia itu suka membicarakan orang, dia itu suka merebut hak orang. Sedikit banyak kita juga akan seperti itu. Tapi kalau kita suka berbaik sangka, hal tersebut juga akan terefleksi pada diri kita.

Ada satu cerita Tionghoa yang menurut saya agak menggelitik dan mengandung hikmah yang baik untuk pelajaran kehidupan kita. Katakanlah ada 3 orang sahabat, sebut saja namanya Si Fulan, Fulani, dan Bedul. Si Fulan mengadakan suatu acara, dia mengundang Si Fulani dan Bedul. Akhirnya Si Fulani datang, lama si Bedul gak datang. Si Fulan gelisah, sehingga si Fulani berpikir “orang ini dari tadi nanyain Bedul, gelisah terus. Ah saya gak penting nih”, walhasil si Fulani pergi begitu saja. Si Fulan jadi merasa bersalah dan kecewa karena Fulani jadi tersinggung. Datang kemudian si Bedul, Bedul melihat Fulan gelisah memikirkan kejadian itu. Terus dan terus gelisah, sehingga Bedul berpikir “Ah dia cuman menganggap Fulani saja yang penting, aku tidak”. Akhirnya Bedul pun pergi, Fulan tambah menyesali kepergian kawannya itu.

Hal tersebut nampaknya membuat kita geli. Tapi seperti itu juga dalam kehidupan kita, kadang penyesalan itu datang belakangan, karena kita melakukan hal-hal dengan pikiran kita yang terlihat sepele, namun dampaknya bisa jadi gak sepele. Hanya penyesalan yang datang kemudian. Tapi gak jarang yang terjadi jurang perselisihan semakin dalam karena yang namanya “gengsi” datang. Gengsi meminta maaf, entah karena merasa kita paling benar, atau karena merasa malu.

Bukannya saya bermaksud mengajak kita menghilangkan rasa curiga, rasa mawas diri. Tentunya Sang Pencipta, menciptakan perasaan itu “tidak sia-sia”. Perasaan itu ada untuk menjaga diri kita dan keselamatan kita, bisa jadi suatu naluri perlindungan diri. Tidak ada yang sia-sia diciptakanNya. Dalam keyakinan saya mengajarkan “prasangka baik” dulu (sama kayak hukum di Indonesia yah? Azas praduga tak bersalah), sampai kita diarahkan pada bukti atau gejala nyata akan ada suatu buruk yang terjadi. Para pakar psikologi, berkesimpulan, rasa curiga dan kecenderungan manusia “negative thinking” yang membuat spesies manusia ini bertahan sampai sekarang.

Terkadang pemikiran kita, disadari atau tidak dapat menjadi indikator diri kita, seberapa sering kita berbuat kebaikan daripada keburukan. Memang sih, kebaikan dan keburukan itu gak bisa dihitung secara nominal…1, 2, 3, 10 … dst.

Jika kita seringkali berpikir buruk akan seseorang, “ah sini pasti ngomongin gue, si itu pasti mau nyuri sendal gue, si anu pasti nanti mau nyikut gue.” Bisa jadi kita sudah cukup sering melakukan hal itu dan berpikir “orang pasti berbuat apa yang saya perbuat”.

Pemikiran seperti ini jika berlebihan akan kembali kepada kita, kita jadi curiga dengan orang lain, orang lain jadi merasa kurang nyaman dengan kita, sehingga banyak yang menjauhi. Dari sisi individu pun kita jadi pergaulannya dan kehidupan sosial kurang bagus, merasa selalu kurang aman karena berpikir semua orang akan melakukan hal buruk pada kita.

Bagaimana kalau sebaliknya? Jika kita sering berbuat baik, paling tidak berpikir yang baik-baik terhadap orang lain. Hal baik bukannya tidak mungkin akan kembali kepada kita. Kita akan memiliki sifat hangat atau terbuka dengan orang lain mereka akan nyaman berada dekat kita. Hidup kita juga tenang tidak serba ketakutan dan tertekan. Logika-logika yang berlaku di pikiran kita juga akan positif, sehingga mengurangi kecurigaan kita. Namun demikian, tidak berarti kita “tidak menjadi mawas diri”.

Kata orang, hidup ini fana, sementara…. makanya jalani hidup ini dengan tenang saja. Namun yang namanya fana, sementara itu bukan berarti sebentar. Bisa jadi besok, lusa, 60 tahun, 80 tahun bahkan ratusan tahun, ribuan tahun. bagaimana cara kita mengisi waktu kita yang sebentar itu menjadi bermanfaat bagi sesama mahluk-Nya. Tentunya, Dia ciptakan kita, hidup di dunia ini bukan “sia-sia”. Hidup kita akan berakhir dengan “kematian”, tapi bukan berarti kita hidup untuk mati saja. Tapi nilai-nilai kita selama hidup, manfaat yang kita berikan selama hidup ini yang akan bermanfaat bagi kelanjutan hidup generasi-generasi sebelumnya.

Sedikit tips, saya bukan tipe orang yang “senantiasa berpikir positif” dan “tidak terlalu emosional”. Sifat dasar saya sebenarnya emosional. Namun beberapa hal yang saya lakukan untuk mengurangi dampak sifat buruk saya ini Alhamdulillah sering menolong saya. Jika kita kecewa, atau kesal, atau curiga, atau apapun hal buruk yang kita pikirkan. Jangan langsung diungkapkan, menurut saya orang yang “blak-blak”-an itu orang yang egois dan kurang bijak. Kenapa? Egois karena mereka tidak memikirkan sudut pandang orang lain, dan tidak memikirkan perasaan orang. Kurang bijak karenaakan menjadi biang permasalahan jika “blak-blak”-annya itu ternyata salah.

Biasanya yang saya lakukan itu mengumpulkan data dulu, buat catatan, ingat waktu kejadiannya. Kalau kesal, buat draft tulisan. Biarkan draft itu mendekam selama seminggu atau 2-3 x perbuatan sama yang dilakukan. Gak jarang, seseorang melakukan perbuatan buruk, saya siapkan draft laporan beserta kronologis dan bukti. Terkadang, orang itu melakukan perbuatan kebaikan atau melakukan perubahan. Saya hapus draft itu, tidak jadi saya kirim. Atau kalau itu berupa catatan, bisa dibuang.

Manusia itu, kadang melakukan kebaikan dan tidak jarang keburukan. Manusia tempatnya lupa atau kesalahan, makanya Sang Maha Pencipta tau banget sifat kita dan memberikan kita kesempatan yang bernama “taubat”. Mari kita mencoba mengedepankan “berpikir kebaikan” kepada orang lain, agar kebaikan itu nantinya kembali kepada diri kita juga, agar kehidupan ini bisa berjalan lebih baik, lebih harmonis.

Lupakanlah kebaikan diri sendiri, ingatlah kebaikan orang lain agar kita tidak pamrih.

Lupakankah kesalahan orang lain, ingatlah kesalahan diri sendiri, agar kita bisa lebih lapang dada dan memaklumi, agar kita dapat memetik pelajaran bagi kehidupan kita mendatang.

Kita adalah apa yang kita pikirkan..

 

Oleh: Martin Wong, Jakarta
Facebook
Blog