Blusukan Sang Presiden

Kisah ini diceritakan oleh dosen Ilmu Fiqih saya yang berasal dari Sudan.

Pada September 1983, di Sudan di masa pemerintahan Ja’far An-Numairi diresmikanlah Undang-Undang Syariat Islam untuk mengatur kehidupan negara.

Salah satunya adalah peraturan pelarangan peredaran dan konsumsi Minuman Keras (Miras), yang sebelumnya marak beredar baik Miras buatan dalam negeri maupun Miras impor.

Bagi yang terbukti mengedarkan atau mengkonsumsi pun dijerat dengan hukuman berat berupa hukuman cambuk 80 kali.

Semenjak diberlakukan peraturan ini maka semua Miras di Sudan waktu itu dimusnahkan semua, baik Miras lokal maupun Miras impor.

Semua Miras itu dibuang ke laut, saking banyaknya Miras yang dibuang sampai ada yang mengatakan barangkali ikan-ikan waktu itu mabuk kepayang dibuatnya.

Semenjak saat itu peredaran Miras menurun drastis -jika tidak dikatakan habis sama sekali-. Namun tetap ada saja yang menjualnya secara sembunyi-sembunyi di kedai-kedai teh pinggir jalan.

Sampai pada suatu saat, pak presiden pun memutuskan melakukan inspeksi langsung. Maka beliau pun melakukan penyamaran sebagai warga biasa kemudian masuk ke sebuah kedai yang diduga menjual Miras.

Di dalam sudah ada pelayan kedai yang menawarkan menu ke pak presiden.

“Silahkan Pak, ada yang bisa dibantu? Mau pesan apa?”

“Saya ingin setengah,” istilah ini difahami sebagai penduduk setempat sebagai isyarat pemesanan Miras. Maksudnya pesan setengah gelas.

Ternyata benar, sang pelayan pun menghidangkan setengah gelas Miras. Maka setelah memperhatikan dengan seksama, presiden pun langsung bertanya,

“Apa ini? Miras?,”

“Iya, Pak.”

“Benar?”

“Iya, kan tadi Bapak sendiri yang pesan.”

“Mengapa kamu menjualnya, padahal negara sudah melarangnya? Apakah kamu tau siapa saya?”

“Tidak, Pak.”

“Saya Ja’far An-Numairi, presiden Sudan!”

Pelayan pun terkejut. Namun, dengan nada tidak percaya sang pelayan kedai tadi berkata,

“Hah… Benarkah? Padahal Anda belum minum sama sekali, bagaimana kesadaran Anda sudah hilang? Jika sudah minum, apakah lantas Anda akan mengaku sebagai Raja Fahd?!!”

Penutup

Pelayan kedai masih belum sadar kalau beliau benar-benar presiden. Dikira orang yang mengarang cerita saja. Karena mungkin bagi dia mana mungkin ada Presiden yang rela blusukan di warung-warung kecil seperti itu.

Sehingga dia mengira ini orang yang mengarang-ngarang cerita. Belum mabuk saja sudah ngaku jadi presiden Sudan, apalagi kalau sudah minum, bisa-bisa ngaku jadi Raja Arab Saudi waktu itum yaitu Raja Fahd.

Pesan yang ingin saya sampaikan dari kisah di atas adalah bahwa penerapan syari’at Islam -terutama dalam hukum pidana-, selain merupakan tanggung jawab dari pemerintah juga harus mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat.

Jika masyarakat saja masih ogah-ogahan menerapkannya, ya bagaimana bisa jalan?

Ustadz Taj Nashr