Bolehkah Menyebut Kisah Maksiat Bertaubat Sebagai Hikmah?

Semalam ada kajian Riyadhush Shalihin, alhamdulillah khatamlah Kitab Taubat. Namun tidak saya rekam streaming-nya, cuma rekam mp3 saja. Di antara hadits yang diangkat adalah hadits tentang mujaahirrun dengan maksiatnya; yaitu orang-orang yang melakukan maksiat terang-terangan. Salah satu pertanyaan di akhir sesi: “Bagaiamana mauqif kita terhadap mantan pelaku maksiat yang diumbar (atau mengumbar masa lalunya) di depan umum?”

Untuk masalah di atas, ada tafshil atau rincian. Tergantung pula getaran qalbu sang mantan.

Tapi BUKAN tradisi ulama: mengangkat-angkat mantan pelaku maksiat yang belum lama taubat dan belum banyak berilmu. Benar bahwa di balik cerita masa lalu ada ibrah. Namun, selayaknya seorang mantan pelaku maksiat TIDAK menjahrkan masa lalunya. Jika memang murni karena dakwah agar orang lain meninggalkan maksiat tersebut, maka semoga Allah ganjari pahala. Tapi, jenis para pemeluk hidayah semacam ini, sangat sangat rentan terkena penyakit ujub; bahkan bisa jadi ada sinar-sinar rasa bangga bahwa dulu dirinya begini begitu.

Dan bukan Iblis namanya kalau tidak men-talbis.

Jika ulama rabbany saja, para antek Iblis berusaha menggoda dengan weaponry yang mematikan seperti: riya, ujub dan sum’ah; maka lebih-lebih juhala yang belum banyak menyerap ilmu. Mungkinlah banyak menimba ilmu, tapi menyerap ilmu itu membutuhkan waktu berzaman-zaman. Belum bisa orang baru kemarin hari terbit di Timur, lalu langsung diangkat ke ufuk atas hanya karena dia pernah merasakan kegelapan sebelumnya. Lebih mirisnya, jika menceritakan kegelapan-kegelapan yang telah Allah tutupi dari mata masyarakat.

Wahai saudaraku, ikutilah tradisi para ulama, jika MEMANG antum benar ingin mencari ilmu dan jika MEMANG antum ingin benar-benar mengamalkannya. Para ulama, mereka bersungguh-sungguh mencari ilmu, meski hanya sebait hadits. Mereka bersedia jiwa raga menghafalnya. Bahkan, mereka bertarung dengan serangan terik matahari dan cekikan padang pasir hanya demi satu hadits. Dan mereka melakukan itu bukan karena sekadar ‘fulan’ atau ‘ingin melihat fulan’, apalagi melihat mantan penyanyi dan semacamnya.

Wahai para pemateri, -lebih-lebih penyelenggara-, didiklah kaum muslimin agar mencari ilmu TIDAK KARENA SIAPA PEMATERI, melainkan karena memang kita diwajibkan mencari ilmu. Jika antum sekalian beralasan bahwa mendatangkan fulan dan fulan akan menambah daya tarik orang-orang awam, ya…semoga upaya antum diberkahi, namun jika akibatnya para awam itu terdidik datang ke kajian karena fulan dan fulan, maka antum semua responsible (bertanggung jawab). Didiklah kaum awam untuk mengkaji rutin secara runut, sebagaimana dahulu antum ketika masih awam pun dididik oleh para asatidzah secara runut, dengan dibekali kitab atau modul atau kertas-kertas.

Wahai kaum muslimin tanah air, sadarlah kian bahwa kita sudah ‘terlanjur’ diselangkangi orang-orang kafir dan munafik. Kalau kita masih acak-acakan, hafal al-Qur’an atau Hadits pun malas, merasa yang penting datang, atau terus-terusan bertahun-tahun di dalam penjara keawaman, maka nikmati terus kondisi umat. Wahai kaum muslimin tanah air, berpijaklah pada dua asas yang tiada ketiganya, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.

Wahai kita yang masih ada dzauq iman di qalbu-qalbu kita, ambillah al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir. Telaah ayat-ayat dengan tafsirnya.

Wahai kita yang masih ada dzauq cinta Nabi, betapa sepinya pemandangan kita akan Shahih al-Bukhary, Shahih Muslim, kitab-kitab Sunan. Mana? Mana?

Wahai yang merasa bahwa dirinya adalah pencari ilmu, gantilah kedustaan-kedustaan yang selama ini kita umbar. Kita bertengger seolah kita adalah thullaab al-ilm, padahal kita adalah wartawan jejaring sosial.

Wahai saudara-saudari saya, dan wahai pula saya, yakinlah bahwa selama kita ikhlas mencari ilmu dan ikhlas mengamalkannya, sepahit-pahit apapun zahir realita kita, Allah tetap menurunkan sakinah ketenangan ke qalbu-qalbu kita. Jika ada kegalauan di qalbu kita, ketahuilah penyebabnya cuma ada dua:

[1] Maksiat, atau

[2] Tidak mengamalkan ilmu

Hanya itu. Dan ini nasehat untuk kita semua. Tidak diinginkan kecuali kebaikan semoga. Dan tiada kebaikan, batin maupun zahir, kecuali itu semua dari Allah Ta’ala. Dan itu semua akan kembali kepada Allah Ta’ala.

وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلْمُنتَهَىٰ

“Dan bahwasanya kepada Rabbmu-lah kesudahan (segala sesuatu).” [Q.S. An-Najm: 42]

Ustadz Hasan Al Jaizy, Lc.