Buku

Ketika Jepang pertama kali mendarat di tanah air, mereka segera melucuti pasukan Belanda, mempreteli segala kewenangannya di Indonesia, menyuruh mereka hengkang dari Nusantara, tapi juga tidak begitu saja memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Dengan gegap gempita, Jepang meneriakkan “Jepang Cahaya Asia!”; meniupkan angin segar bagi bangsa-bangsa Asia yang sudah habis-habisan menjadi korban eksploitasi bangsa-bangsa Eropa, termasuk Indonesia. Akan tetapi, pada hakikatnya, Jepang juga bangsa penjajah yang eksploitatif. Pasukan Negeri Matahari Terbit ini telah sukses meruntuhkan dominasi Belanda di tanah air, namun pada akhirnya mereka juga yang mendominasi negeri ini. Bagaimana pun, sejarah mencatat bahwa memang pernah terjadi ‘bulan madu’ antara Jepang dan Indonesia, bahkan antara pemerintah Jepang dan ulama Indonesia.

Ayahanda Buya Hamka, yaitu Syaikh Abdul Karim Amrullah, adalah salah satu tokoh yang mengalami betul masa-masa bulan madu itu. Baru beberapa bulan diasingkan Belanda dari kampung halamannya ke Sukabumi, Perang Pasifik Raya pecah. Orang-orang menyingkir ke pedalaman, tapi beliau memilih tetap tinggal di kota, di rumah pengasingan yang dibuatkan untuknya. Prediksi beliau jitu. Sebentar saja, Belanda sudah takluk. Memang waktu itu kekuatan Belanda sedang goyah. Ibarat berdiri dengan satu kaki dan setengah hati, sebab di negerinya sendiri tengah berkecamuk perang. Pada saat itu, pasukan Jerman sedang membabi-buta meluluhlantakkan hampir seluruh daratan Eropa.

Setelah Belanda menyerah dan dipaksa angkat kaki, Jepang pun mulai melancarkan misi diplomasinya. Semua tahanan politik – yaitu yang ditahan karena menentang Belanda – dibebaskan. Semua tokoh yang diasingkan dinyatakan bebas dari pengasingan, termasuk Syaikh Abdul Karim Amrullah. Begitu besarnya pengaruh beliau ketika itu, sehingga para pecintanya pun saling berlomba mendekati beliau agar sudi menetap di Pulau Jawa. Karena pada masa itu perjalanan dari Jawa ke Sumatera tidak semudah sekarang, apalagi beliau sudah berumur cukup lanjut, maka permintaan itu pun dipenuhi. Syaikh Abdul Karim akhirnya menetap di Jakarta.

Lanjutan dari ‘bulan madu’ Jepang-Indonesia itu dengan segera melibatkan para ulama. Karena Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia, dan para ulama memiliki tempatnya tersendiri di hati umat Muslim – bahkan sebenarnya merekalah kekuatan inti yang mampu menghembuskan semangat jihad ke seluruh negeri – maka Jepang menganggap perlu mengadakan konsolidasi bersama para ulama. Maka digelarlah sebuah konferensi yang mempertemukan pemerintah Jepang dengan seluruh ulama terkemuka di Pulau Jawa pada tahun 1943 di Bandung. Pada saat itu, Jepang telah mengetahui bahwa Syaikh Abdul Karim Amrullah adalah salah satu ulama paling terkemuka di jamannya. Oleh karena itu, beliau diberi kehormatan untuk duduk di tribun yang sama dengan para pembesar Jepang. Di kiri-kanannya ada pembesar yang kemana-mana membawa pedang samurai yang menjadi lambang kekuatan dan kebesaran Jepang.

Maksud dari pertemuan itu sendiri tidak lain adalah membulatkan tekad para ulama agar sudi mendukung kekuatan Jepang di Indonesia. Dalam suasana pada masa itu, boleh dibilang keinginan ini memang bersambut.

Ketika acara hendak dimulai, terjadilah peristiwa besar itu. Sebagaimana kebiasaan baru yang telah dibawa (dan dipaksakan) oleh Jepang sebagai penguasa baru Indonesia saat itu, setiap acara dibuka dengan penghormatan ke arah istana Kaisar mereka di Timur Laut. Penghormatan dilakukan dengan mengambil posisi seperti ruku’. Tentu saja, hal yang semacam ini terlarang dalam Islam. Akan tetapi, biarlah kata-kata Buya Hamka di bawah ini menceritakan kejadian lengkapnya kepada kita semua:

Semua orang pada berdiri! Seorang melakukan komando: “Sei Keirei!” Semua menekur rukuk menghadap keistana! Semua serban, semua djubah, semuanja berdiri! Hanja seorang tua jang kurus, tetapi matanja menjinarkan Iman jang panas dan hati wadja, hanja itu sadja jang duduk, tidak ikut berdiri, jaitu Dr. H. Abdulkarim Amrullah. Walaupun dikiri dan kanannja Djepang jang berpedang pandjang semuanja!

Gandjil suasana rapat sesudah tiba komando “Naure”, ertinja menjuruh mengangkat kepala kembali dan menjuruh duduk. Semua mata memandanglah dengan ketjemasan dan mengandung beberapa makna, mata ulama-ulama jang insaf bahwa perbuatan mereka salah, atau mata ulama-ulama jang merasa ketjil djiwa dan lemah iman karena turut rukuk. Demikian djuga mata Djepang-Djepang jang heran tertjengang, mengapa jang satu ini tidak turut berdiri.

(Dikutip dari buku Ajahku, karya Hamka)

Peristiwa ini pun mendapat perhatian besar dari kalangan pemerintah Jepang. Mereka pun tidak berani mengambil langkah tergesa-gesa, sebab yang dihadapinya adalah seorang ulama besar yang dikenal kuat pendirian, kuat pula pengaruhnya ke seantero negeri. Salah melangkah sedikit saja, mereka akan menghadapi perlawanan besar-besaran dari rakyat Indonesia yang tak rela ulamanya disakiti.

Tidak lama setelah kejadian di Bandung itu, datanglah Kolonel Hori, pejabat Kepala Urusan Agama yang ditunjuk oleh Jepang untuk wilayah Indonesia, membawa sebuah buku terjemahan yang berjudul Wadjah Semangat sebagai pemberian untuk Syaikh Abdul Karim Amrullah. Buku itu penuh dengan puji-pujian terhadap Kaisar Jepang yang separuh dewa, keturunan sang Dewa Matahari sendiri. Setelah selesai dibacanya buku itu, datanglah lagi Kolonel Hori ke kediaman Syaikh Abdul Karim. Pada saat itu, terjadilah dialog berikut ini:

“Saja suka menjatakan pendapat saja dalam Agama Islam terhadap buku ini. Tetapi dengan sjarat tuan berdjandji djika saja menerangkan jang sebenarnja, saja tidak akan diganggu dan djiwa saja tidak akan terantjam.”

“Djangan tjemas tuan Doktor! Saja djamin!”

“Kalau begitu biarlah saja tulis!”

(Dikutip dari buku Ajahku, karya Hamka)

Maka Syaikh Abdul Karim pun menulis sebuah buku ringkas yang diberinya judul Hanja Allah. Tanpa ragu sedikitpun, beliau membantah semua kepercayaan yang berlebihan masyarakat Jepang terhadap kaisarnya itu. Beberapa hal dibantahnya dengan keras, sehingga penerjemahnya (beliau menulis naskah aslinya dalam bahasa Arab) pun merasa khawatir dan memohon agar beliau sudi memperlunak. Tapi beliau tidak sudi. Tanpa menunggu restu Kolonel Hori, naskah itu pun beliau cetak dalam jumlah banyak dan disebarluaskan kepada para pemimpin negeri. Ketika Hamka mencetak ulang buku itu pada tahun 1946, sahabatnya, Moh. Natsir, pernah berkata bahwa ia pun telah menerima salinan buku itu sejak pertama kali diterbitkan dahulu.

Bagaimana pengaruh buku tipis karya Syaikh Abdul Karim Amrullah itu? Luar biasa! Karena satu risalah kecil itu, pemerintah Jepang sadar bahwa cara penghormatan yang telah menjadi kebiasaan mereka ternyata sangat menyinggung umat Muslim. Oleh karena itu, hormat ke arah istana Kaisar tidak lagi menjadi hal yang wajib, karena Jepang tidak hendak buru-buru membuka konfrontasi dengan Indonesia. Semua itu karena sikap tegas seorang ulama yang menuangkan pemikirannya secara lugas dalam sebuah buku. Buku boleh tipis, namun pemikiran tidak boleh dangkal. Itulah tradisi intelektual para ulama di masa lampau.

Tentu saja, karya-karya Syaikh Abdul Karim Amrullah bukan sekedar Hanja Allah saja. Masih banyak karya-karya beliau lainnya yang memberi pengaruh besar bagi umat Muslim Indonesia di jamannya. Anaknya pun demikian juga, sama-sama gila membaca dan tangkas menulis. Tidak perlu lagi mempertanyakan kredibilitas Buya Hamka sebagai seorang penulis, karena karya-karyanya telah menjadi rujukan hingga kini, mulai dari novel hingga tafsir al-Qur’an. Sahabatnya, Moh. Natsir, juga banyak menulis. Jauh sebelum Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Natsir sudah berbantah-bantahan dengan Soekarno dengan cara berbalas artikel di surat kabar. Dari sisi keilmiahan dan kekokohan referensi, Natsir jauh di atas Soekarno. Tulisan-tulisannya kemudian dibukukan ke dalam buku Kapita Selekta. Ketika Natsir ‘ditantang’ untuk mendirikan sekolah di Bandung, sebagai pecinta buku, beliau hanya meminta dibelikan buku-buku yang terkait dengan teori-teori pendidikan dan meminta waktu untuk mempelajarinya. Prof. Rasjidi, Menteri Agama RI yang pertama, demikian juga cintanya pada buku. Materi kuliah yang diberikannya dalam beberapa kesempatan dibukukan dengan judul Empat Kuliyah Agama Islam pada Perguruan Tinggi. Ketika sekularisme dan kristenisasi datang menginvasi Indonesia, beliau menulis buku Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam. Demikian juga ketika beliau mengkritik Nurcholish Madjid dan Harun Nasution, semua ia lakukan dengan buku.

Itulah tradisi intelektual para ulama di masa lampau. Syaikh Abdul Karim Amrullah hidup jauh dari masa kita; beliau wafat sebelum kemerdekaan RI. Demikian juga Buya Hamka, Prof. Rasjidi dan Moh. Natsir. Akan tetapi, nampaknya kita bisa mengatakan bahwa mereka memegang teguh tradisi menulis dan membaca yang jauh lebih kuat daripada yang biasa kita lakukan. Bahkan tradisi intelektual yang mereka contohkan masih jauh lebih tinggi pula dari para ulama yang banyak kita jumpai sekarang ini. Syaikh Abdul Karim dan Hamka adalah contoh ayah-anak yang sama-sama ulama dan memiliki disiplin kepenulisan yang sangat kuat; mereka terbiasa menulis setiap hari. Setiap ada gagasan baru, mereka tumpahkan menjadi buku. Ada wacana, mereka tanggapi dengan buku. Musuh-musuh Islam berbicara, mereka bantah dengan buku. Umat Muslim lengah, mereka ingatkan dengan buku. Buku yang menyesatkan pun akan mereka jawab dengan buku.

Umat Muslim Indonesia mengalami kerugian yang sangat banyak lantaran tidak lagi bisa menikmati karya-karya mereka. Jika buku-buku para ulama besar ini tidak lagi dapat kita jumpai di toko-toko, maka ingatlah bahwa penerbit yang paling idealis pun harus memperhatikan realita pasar; jika tak ada peminat, tentu tak ada alasan untuk mencetak. Selama kita masih malas membaca, atau puas saja membaca buku-buku yang kurang berisi, maka industri perbukuan pun tidak akan berkembang; paling banter hanya bertambah banyak, tapi tidak tambah berisi.

Rasanya bukanlah kebetulan jika Hasan al-Banna, pendiri Al-Ikhwan Al-Muslimun, menjadikan tradisi membaca dan menulis sebagai salah satu kewajiban pokok bagi seluruh kadernya. Simaklah bagaimana beliau menuliskan kewajiban yang diberinya nomor urut keempat belas ini:

Hendaklah engkau pandai membaca dan menulis, memperbanyak menelaah risalah Ikhwan, koran, majalah, dan tulisan lainnya. Hendaklah engkau membangun perpustakaan khusus, seberapa pun ukurannya; konsentrasi terhadap spesifikasi keilmuan dan keahlianmu jika engkau seorang spesialis; menguasai persoalan Islam secara umum, penguasaan yang membuatnya dapat membangun persepsi yang baik untuk menjadi referensi bagi pemahaman terhadap tuntutan fikrah. (Dikutip dari Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, karya Hasan al-Banna)

Hasan al-Banna sendiri memang tidak dikenal sebagai penulis produktif – barangkali karena umat Muslim pada jamannya memang lebih membutuhkan seorang organisatoris daripada seorang penulis – namun gelombang tarbiyah yang telah dibawanya telah melahirkan begitu banyak penulis. Begitu banyaknya, sehingga perpustakaan pribadi kita pun akan penuh kalau kita memiliki semua karya dari salah satu muridnya saja, yaitu Syaikh Yusuf al-Qaradhawi. Dari membaca dan menulis itulah kita membangun tradisi ilmu, dan dari tradisi ilmu itulah kita membangun peradaban Islam.