Da’i yang Tidak Pernah Lelah

Seorang muwajih dari negeri timur tengah pernah mengatakan bahwa tugas utama dari pemimpin adalah membuat bagaimana acara demo penurunan presiden pun terasa meningkatkan ruhiyah. Bukan mentoring, bukan mabit, bukan daurah, bahkan acara demo dan dorong-dorongan pagar dengan polisi pun meningkatkan keimanan kita dan menngkatkan perasaan dekat kita dengan Allah.

Ini pekerjaan yang sulit, membuat seorang staff tidak pernah lelah. Namun orang seperti itu memang ada. Orang yang sepertinya tidak pernah futur. Orang yang kerja terus seperti tidak pernah istirahat. Namun juga banyak orang yang sering mengeluh. Bila ia dikasih pekerjaan sedikit, dia merasa diperkuda. Dikasih tambahan amanah, dia merasa diperalat. Dikasih amanah lebih banyak lagi, dia kabur dari organisasi.

Kita akan mengatakan bahwa persepsi orang itu terhadap amanah adalah salah. Dia anggap amanah itu beban dan bukan ibadah. Namun muncul pertanyaan, bagaimana mengatur persepsi. Kita dapat belajar dari suatu kisah.

Umar bin Khatab mengamuk di momen Rasulullaah wafat dan berjanji akan menebas siapapun yang mengatakan bahwa Rasul telah tiada; beliau enggan menerima kenyataan buruk tersebut. Lalu apa yang dilakukan oleh abu bakar? Abu bakar menyadarkan kembali persepsi Umar tentang kenabian dan kerasulan dengan sebuah kalimat:

Wahai Umar,  andai kau menyembah Muhammad, hari ini Muhammad telah pergi, tapi jika kamu menyembah Allah, percayalah sesungguhnya Allah tetap hidup dan kekal selamanya.”

Dan lalu Abu Bakar melanjutkan dengan membaca Ali Imran 144:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Umar pun menyahut, “Seakan-akan aku baru mendengar ayat ini.”

Umar seperti baru teringat kembali ayat tersebut dan ia pun menjadi tenang serta menurunkan pedangnya.

Kita bisa melihat di sini bahwa kondisi hati Umar di kalibrasi ulang dengan ayat tersebut. Yang awalnya galau kembali rasional. Maka kita bisa melihat salah satu fungsi Al-Qur’an adalah mengkalibrasi hati kita; membuat bisikan-bisikan hati kita kembali normal dan baik.

Salah satu ketidaknormalan hati tentu adalah perasaan malas beramal. Kalibrasilah hati kita dengan melantunkan ayat yang sesuai. Di sinilah peran hafalan Qur’an menjadi penting. Dan, menurut pengalaman penulis, ayat dalam bahasa arab akan lebih mengena dibandingkan tafsiran bahasa Indonesia yang lebih sempit dalam makna. Di sinilah peran hafalan Qur’an menjadi penting.

Bila tiba-tiba harus berjuang melawan sesuatu yang tak terkalahkan maka lantunkanlah surat Muhammad ayat 7 dalam bahasa arab sambil memaknai maknanya bahwa barangsiapa menolong agama Allah, maka Allah akan menolong dan meneguhkan kedudukan.

Bila tiba-tiba merasa malas untuk beramal, maka lantunkan Surat Taubah ayat 41 sambil memahami artinya, “Bergeraklah kamu baik dengan rasa ringan dan rasa berat….”

Bila tiba-tiba merasakan sedih dalam perjuangan ini, maka lantunkan At-Taubah ayat 41 yang memiliki arti, “Janganlah kau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”.

Dan banyak ayat lainnya, yang akan menjadi penguat. Bukan hendak mengecilkan pengaruh kata-kata mutiara, namun entah bagaimana, ayat-ayat Al-Qur’an memberikan dorongan yang lebih kuat, mengkalibrasi lebih tepat, dan memberi makna yang lebih dalam.

Peran pemimpin dalam melakukan hal ini amatlah penting. Bagaimana dalam setiap langkah kerjanya, ia terus menerus melantunkan ayat-ayat Al-qur’an yang menjaga hati para staffnya dari godaan syetan. Bagaimana taujih pemimpin terus menerus menjaga ruh para jundi menjadi terkalibrasi saat sedikit saja bergeser dari keimanan. Pemimpin mampu membuat yang dipimpin memandang pekerjaan, kepahitan, pengorbanan sesuai dengan cara memandang yang dituntun Allah melalui Al-Qur’an. Bila pemimpin berhasil melakukan itu, maka staff-nya tidak akan pernah merasa lelah, maka demo serasa mentoring, kampanye serasa mabit, semuanya meningkatkan kedekatan kita dengan Allah; meningkatkan ruhiyah. Semua pekerjaan itu dibimbing oleh kalam-Nya.

Di sinilah peran hafalan Qur’an menjadi penting. Semoga dengan cara ini, hati kita tidak bisa lagi mengenali istilah futur kecuali futuristik.

 Rio Aurachman, Bandung

FacebookTwitterBlog