Dakwah Sekolah: Sinergisasi atau Mati

Dakwah sekolah merupakan suatu istilah yang sudah tidak asing lagi bagi di telinga para aktivis, terutama aktivis kerohanian Islam (rohis). Kegiatan dakwah sekolah ini telah menjamur di berbagai sekolah di Indonesia. Segmen target dari dakwah sekolah ini pada awalnya adalah siswa-siswi sekolah menengah atas. Namun, seiring berjalannya waktu, dirasa bahwa pendidikan dakwah sekolah ini harus masuk di level yang lebih rendah lagi. Akhirnya, di beberapa daerah, segmen dakwah sekolah ini diperluas hingga merambat ke sekolah menengah pertama.

Para pelaku dakwah sekolah ini biasanya adalah siswa-siswi sekolah yang telah menjalani pembinaan Islam secara intensif terlebih dahulu sebelumnya. Siswa-siswi ini dibina oleh kakak kelasnya, baik yang masih bersekolah maupun yang sudah berstatus sebagai alumni. Di beberapa sekolah, bahkan level guru pun turut membantu dalam penyuksesan kegiatan dakwah sekolah. Pada umumnya, para pelaku dakwah sekolah ini memiliki mekanisme tersendiri dalam melakukan sebuah regenerasi sehingga kegiatan dakwah sekolah ini tetap berjalan dan tidak tenggelam seiring berjalannya waktu.

Sebenarnya aktivitas dakwah sekolah ini muncul untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang menghinggapi bangsa ini. Bila direnungi lebih jauh, semua permasalahan ini bermuara pada lemahnya karakter masyarakat bangsa ini. Masa-masa krusial dalam pembentukan karakter adalah saat insan bangsa ini mengenyam pendidikan di sekolah menengah. Di masa itu, masa remaja, adalah masa dimana setiap orang sedang mencari sosok ideal bagi dirinya. Tidak jarang ia mencoba hal baru di sana-sini untuk menemukan pola hidup dan role model seperti apa yang tepat bagi dirinya. Di sinilah mengapa masa ini disebut masa yang paling krusial dalam pembentukan karakter. Jika sosok remaja ini tidak diarahkan pada hal yang baik sejak dini, maka ia akan diarahkan pada hal yang buruk dengan sendirinya. Hal ini terjadi karena kondisi lingkungan sekitar sekarang sudah tidak mendukung lagi untuk berparadigma positif dan lurus. Pengaruh globalisasi, ghazwul fikr, dan modernisasi mendominasi siklus budaya zaman ini. Apabila kondisi ini dipadukan dengan godaan internal (hawa nafsu), sedangkan di luar sana tidak ada filter yang menyaring asupan buruk tersebut, maka dapat dipastikan remaja ini akan terseret pada degradasi moral dengan sendirinya. Oleh karena itu, dakwah sekolah hadir sebagai tindakan preventive agar remaja tidak salah memilih jalan hidupnya.

Melihat urgensi dan latar belakang mengapa dakwah sekolah ini lahir, dapat ditarik kesimpulan bahwa memang kegiatan dakwah sekolah ini benar-benar diperlukan. Pembentukan karakter rabbani lebih dini akan memberikan dampak yang sangat luar biasa di kemudian hari. Sosok rabbani berkapasitas tinggi tersebut pasti akan terketuk hatinya tatkala melihat realita yang terjadi di masa setelahnya sehingga ia akan terus melanjutkan aktivitasnya pasca lulus sekolah menengah. Kepekaan sosial dan semangat menebar kebaikan akan kembali muncul di dunia kampus, dunia kerja, dan lain sebagainya. Dari satu orang yang terbentuk secara paripurna di saat ia masih sekolah akan memberikan suatu perubahan yang signifikan bagi lingkungan setelahnya. Dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi apabila ratusan bahkan ribuan siswa-siwi sekolah menengah yang tersentuh oleh aktivitas dakwah sekolah ini. Dengan mengoptimalkan ketercapaian dakwah sekolah, maka visi besar membangun Indonesia Jaya bukan hanya isapan jempol belaka.

Untuk membangun sistem dan ‘kerajaan’ dakwah sekolah yang paripurna dibutuhkan sinergisasi antara siswa dengan pihak luar, seperti alumni dan warga sekolah. Visi besar dakwah sekolah tidak bisa hanya dimiliki siswa saja atau alumni saja. Visi besar ini harus dimiliki dan difahami oleh tiga komponen tersebut. Siswa berperan sebagai pelaku lapangan dimana mereka mengelaborasikan penjabaran misi ke dalam bentuk program yang mereka kreasikan di lapangan. Alumni berperan sebagai penjaga nilai, supervisor, controller ketercapaian visi besar dakwah sekolah, fasilitator siswa dalam menjalankan setiap programnya, dan motivator bagi siswa-siswi yang berjuang di lapangan. Kegiatan dakwah sekolah melibatkan unsur luar, seperti warga sekolah termasuk kepala sekolah dan guru-guru, adalah karena mereka pemegang kebijakan sekolah. Harmonisasi ketiga komponen ini akan memberikan kelancaran aktivitas dakwah sekolah. Ketika siswa bersemangat dalam merumuskan suatu tindak nyata berbentuk program, maka alumni membantu dalam pembentukan paradigma dakwah, reminding visi besar dakwah sekolah, dan controlling lapangan. Kemudian pihak sekolah sebagai penentu kebijakan memberikan kebebasan berekspresi. Dengan kolaborasi seperti ini, maka aktivitas dakwah sekolah ini akan terus berjalan secara berkesinambungan. Siklus pembinaan dan syiar akan tetap saling melengkapi sehingga banyak siswa-siswi yang terbina dan terbentuk karakternya.

Fenomena yang terjadi di beberapa daerah dimana kondisi rohisnya tidak optimal adalah karena tidak ada harmonisasi dan sinergisasi dari ketiga komponen tersebut. Siswa yang manja, alumni yang kurang cakap dalam membahasakan maksud dan tujuan kepada para siswa, pihak sekolah yang tidak memberikan izin setiap kegiatan rohis acapkali menjadi masalah-masalah yang sering muncul di lapangan. Jika kondisi ini tetap dibiarkan, maka visi besar di atas tidak akan pernah tercapai. Oleh karena itu perlu dilakukan sinergisasi ketiga komponen tersebut. Jika tidak, maka gerakan dakwah sekolah akan mati, dan kondisi bangsa ini tidak akan membaik kembali.

 

Oleh: Fauzi Achmad Zaky Amirullah
FacebookBlogTwitter