Ekonomi Islam, Jalan Kehidupan

Hidup, merupakan hak mutlak tiap jiwa yang pernah bersemayam dalam rahim seorang pencetak generasi, seorang di mana di bawah kakinya digambarkan ada surga. Dari keadaan tidak mengetahui apapun, hidup membawamu masuk dalam siklus pembelajaran. Tak kan pernah cacat seseorang jika dia tau apa itu hidup. Maka, apa itu hidup? Definisi akan jadi relatif jika tak ada iman dalam hati maupun lisan. Banyak sudah kitab yang mengulas soal satu tema. Hidup. Maka, kitab yang paling sempurna mengartikannya hanyalah satu. Rujukan iman para pengelana kehidupan, para peraih kemuliaan dipengawal kematian, para pelahap ilmu pengetahuan, yaitu Al Quran. Kitab? Ya… Kitab yang tak ada duanya berisi segalanya yang tak terhingga bagi orang-orang yang berfikir dengan hikmah dan iman.

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. AdzDzariat : 56)

Inilah sepenggal cuplikan dari isi kitab tersebut. Menjawab pertanyaan apa itu hidup. Yaitu hakikat yang harus dipahami manusia ketika dia sudah diciptakan. Hidup diberikan pada manusia, untuk satu tujuan. Mengabdi pada Sang Pencipta, yang ditangan-Nya lah jiwa ini diserahkan. Pengabdian seperti apa yang layak manusia lakukan? Yaitu, dijawab dengan cuplikan lainnya dalam lembaran Al-Qur’an. Di surat pembuka, lembar pertama Al Qur’an, disinggung lagi tentang pengabdian.

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS Al Fatihah : 5-7)

Baiklah, sepertinya cuplikan kedua ini telah membawa kita ke definisi selanjutnya tentang hidup. Yaitu, tujuan untuk mengabdi pada Rabb, Allah Yang Maha Besar, yang dengan petunjuk-Nya lah kita bisa hidup dijalan orang-orang yang telah Ia beri nikmat. Jalan kehidupan, yang menjauhkan manusia dari murka dan kesesatan.

Lantas, mari kita beranjak ke realita kehidupan. Saya dan Anda yang sedang merasakan kehidupan, bisa saja dalam keadaan yang berbeda. Berbeda kabar, berbeda rasa, berbeda jalan. Tetapi, apapun perbedaan itu, biarkan dia tetap mendaki, dari berbagai tali asalkan tetap kita berjumpa pada satu titik, yaitu titik puncak kehidupan. Banyak batu krikil yang berbeda, kondisi tanah yang tak sama, tapi semuanya membuat kita belajar menjadi lebih tangguh, lebih cerdas, lebih mulia insyaAllah.

Realita kehidupan, dimana ada cerita dalam berbagai lini. Sekarang kehidupan sudah beragam bahasanya. Tak sekedar picisan dalam sastra. Lebih kompleks. Lebih sering bertemu kata sadis dari pada romantis. Nilai humanis sering diukur dengan dengan kantong yang tebal atau malah tipis. Miris, melihat manusia yang semakin banyak meringis karena ketidakadilan para pengikut setan yang sudah terlalu skeptis.

Semuanya bercerita tentang kepentingan dibalik kepentingan. Lobi dalam dunia perpolitikan lebih-lebih perekonomian membuat manusia makin tak manusia. Hak Kemanusiaan tak ada nilainya dibanding kepentingan manusia bernafsu hewan. Perlahan, sejarah Islam yang dulu gemilang mulai bangkit lagi dari keterpurukan. Manusia bernafsu hewan memang sudah banyak berkembang biak, tapi tetaplah mereka orang yang lalai, yang pasti tak kan pernah meraih kemenangan.

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
(Al’Araaf : 179)

Jalan kehidupan, mencari halal dan haram. Inilah seharusnya patokan manusia yang ingin mencapai kebahagiaan. Paradigma manusia sudah dibiasakan membelah antara ilmu dan iman. Dunia dan akhirat. Padahal semuanya selaras, harus berimbang. Sekaranglah, sistem baru yang sedang mewarnai sedikit demi sedikit peradaban yang serba bertarif ini, mulai dilirik dan seterusnya akan menjadi solusi aktif perbaikan kehidupan duniawi dan akhlak insan. Ekonomi Islam menjadi sinar pagi yang menjadi harapan setelah pekatnya malam kegagalan peradaban.

Sebagai sebuah sistem, Ekonomi Islam berperan mendobrak keganjilan-keganjilan yang selama ini perlahan tapi pasti meruntuhkan para pembangkang Tuhan, yang dulunya terkenal adidaya, sekarang hanya memanfaatkan media untuk memperbaiki citra. Padahal, kondisinya semakin hampa, menanti waktu untuk segera musnah. Tinggal disentil sedikit, perekonomian mereka akan pecah karena gelembung yang terlalu rapuh. Antek-antek nya yang berkhianat dari Islam pun, perlahan-lahan mulai ditampar.

Hal yang wajib kita sadari sebagai manusia adalah, sistem ekonomi Islam yang berkeadilan dalam distribusi kekayaan, mengatur moral dalam perilaku konsumen, pendidikan keimanan yang melatih tanggungjawab, cita-cita luhur yang membawa pada kebaikan dan menjauhi keterpurukan, pembersihan jiwa menuntut diri lebih praktis hingga membatasi nafsu yang tak ada habisnya, ajaran infaq yang menganjurkan investasi pasti untung, dan pinjaman bebas bunga yang membuat semuanya lebih produktif dari pada spekulatif.
Dengan fokus utama Ekonomi Islam dalam menggerakkan sektor riil, akan menjadi jaminan bahwa semua pelakunya akan mendapat keuntungan, walau secara perlahan, tapi hasilnya pasti.

Manusia pada dasarnya dituntut menerapkan Islam secara menyeluruh dalam aspek hidupnya. Walaupun dia seorang dokter atau pengacara, tetap esensinya ketika dia beraktifitas ekonomi, hal-hal yang berakibat dzolim karena ketidakjelasan akad, atau riba yang telah jelas-jelas diharamkan harus dia jauhi karena kita sedang berhitung dalam kurun jangka panjang. Sekarang, peluang Ekonomi Islam masih belum cukup terpenuhi melihat keseriusan manusia dalam mengetahui apa lagi mengamalkannya. Maka tidak salah jika dalam satu rubrik di majalah Sabili edisi 2004 mengatakan bahwa Indonesia khususnya membutuhkan banyak dokter. Tapi, kali ini bukan dokter penyembuh demam atau sekedar penyakir kulit, tapi benar-benar penyakit kemiskinan. Miskin harta dan moral.

NB: Tulisan ini merupakan surel dari: http://nabelahafshah.multiply.com/journal/item/38/SET_Ekonomi_Islam_Jalan_Kehidupan yang telah mendapat izin dari pemiliknya untuk dimuat di Fimadani.