Etika Saat Melayani Penentangan dan Perdebatan

Suatu saat orang-orang Quraisy mengutus Utbah bin Rabi’ah menemui Rasulullah untuk memberikan tawaran menarik dan menggiurkan (dalam pandangan mereka), yakni agar Rasulullah menghentikan dakwahnya yang dirasa mengusik ketenangan dan status quo mereka. Ia datang kepada Rasulullah dan berkata,

“Wahai anak saudaraku, jika dengan dakwahmu itu kau menginginkan kemuliaan, maka kami angkat engkau sebagai pimpinan hingga tidak kami putuskan sesuatu tanpamu atau jika kau inginkan kekuasaan, kami jadikan engkau raja atas kami atau engkau sedang dililit problema yang tidak bisa kau atasi sendiri, maka kami akan carikan untukmu seorang tabib dan kami belanjakan harta kami untuk membebaskanmu dari padanya. Karena barangkali seseorang dikalahkan oleh problemnya sehingga perlu berobat.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Atau jika engkau tengah dilanda kesepian, maka pilihlah siapa saja di antara wanita Quraisy lantas kami kawinkan engkau dengan sepuluh wanita.”

Seusai Utbah berkata, Nabi bertanya, “Cukupkah itu, Abu Walid?”

“Ya”

“Dengarlah dariku baik-baik!”

“Lakukanlah”

Rasulullah saw kemudian membaca ayat,

“Haa Miim, Diturunkan dari yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni Al-Qur’an dengan bahasa Arab bagi kaum yang mengetahui.” (Fushilat: 1-3)

Rasulullah meneruskan bacaan ayat-ayat selanjutnya. Utbah terkesima mendengarnya. Terus-menerus ia mendengarkan hingga sampai pada ayat sajadah, bersujudlah Rasulullah dan berkata,

“Kau dengarkan itu, Abu Walid?”

“Ya, aku dengar”

“Untukmu, semua tawaranmu itu!” tegas Rasulullah

Utbah bangkit pulang menemui sahabat-sahabatnya, dan sesama mereka saling berkomentar, “Kami bersumpah demi Allah, Abu Walid kembali dengan wajah yang lain dari ketika ia berangkat.”

Mereka mengerumuninya dan bertanya, “Apa yang terjadi di belakangmu, Abu Walid?
“Di belakangku! Sungguh aku telah mendengar satu perkataan yang belum ada tandingannya. Demi Allah, Bukanlah ia syair, bukan pula mantra dukun, hai sekalian orang-orang Quraisy. Ikutilah Aku! Biarkan aku bersama lelaki itu dan apa yang diajarkannya, biarkan dia! Demi Allah, pada perkataan yang baru saja aku dengar tadi terdapat kebenaran.” (1)

Begitulah cara Rasulullah saw dalam melayani orang yang menentang dakwahnya. Santun dan berkata dengan baik. Suasana perang dan permusuhan tidak membuat Rasulullah berkata-kata buruk terhadap orang-orang musyrikin Quraisy. Bagi Rasulullah semua manusia adalah objek dakwah, dan tentu orang tidak akan mau menerima dakwah Islam jika penyerunya saja memiliki akhlak yang buruk, menyeru atau menasehati dengan cara-cara yang melukai. Dan Rasulullah saw adalah yang paling baik akhlaknya dalam berdakwah.

Dalam kisah-kisah lain juga banyak diceritakan bagaimana akhlak Rasulullah saw dalam melayani penentangan, ketika menghadapai masyarakat Thaif, orang-orang Yahudi, dan lainnya. Rasulullah saw. memperlihatkan akhlaknya yang mulia ketika berinteraksi dengan siapa saja.

Ustadz Abdul Halim Jasim Al-Bilaly berkata tentang fenomena dakwah kita saat ini,

“Agaknya rambu kenabian yang unik ini (dalam melayani penentangan dan perdebatan dengan pihak lain, telah banyak hilang dari kita pada zaman sekarang, Bagaimana Rasulullah dengan tenang mendengarkan tawaran lawannya tanpa memotong, meski beliau yakin bahwa semuanya hanya bualan kosong. Beliau tidak keberatan mendengarkannya hingga tuntas, kemudian berkata dengan mantap dan hormat,”Cukup kah itu, Abu Walid? dan di jawab, “Ya, cukup!” Beliau berkata, “Maka dengarkanlah dariku baik-baik!”

Alahkah indahnya etika ini. Kita telah kehilangan etika indah dalam dialog-dialog pilitik yang beraneka ragam. Yang ada, satu pihak ingin didengarkan argumennya tanpa memberikan kesempatan yang lain untuk membantah. Ia pergunakan media dan mimbarnya untuk melontarkan pendapatnya tanpa memberi kesempatan lawannya untuk menjawab atau mempergunakan medianya dalam memberikan bantahan. Inilah kebodohan yang nyata.”

Dan pada akhirnya kita tahu, Bahwa dengan menjalankan rambu-rambu kenabianlah dakwah ini akan berjalan dengan benar dan diterima oleh masyarakat. Dan salah satu rambu kenabian dalam berdakwah adalah “Akhlak yang mulia.”

Catatan:
(1) kisah dikutip dari buku Rambu-Rambu Tarbiyah. Karangan: Abdul Hamid Jasim Al-Bilaly. Terbitan: Era Intermedia, 2002

Oleh: Doni Al Siroj, Padang
FacebookTwitterBlog