Cara Mempelajari Ilmu Fiqih Imam Syafi’i

Fiqih Imam Syafi’i – Cara mudah untuk mempelajari ilmu fiqih ialah dengan cara mempelajarinya melalui fiqih madzhab. Bahkan cara yang terbaik ialah mempelajari fiqih madzhab di negeri masing-masing, seperti halnya fiqih Imam As-Syafi’i untuk di negeri kita.

Fiqih Imam Syafi'i
alhazmonline.com

Apabila cara ini yang ditempuh, maka akan mudah bagi kita untuk bisa mengajarkan ilmu fiqih di tengah-tengah masyarakat kita dan tidak terlalu berseberangan. Akan tetapi bukan berarti kita mesti fanatik dengan madzab tersebut, tidak demikian. Yang benar adalah kita lakukan ketika bersesuaian dengan dalil dan yang berseberangan dengan dalil, kita tinggalkan.

Ketika ada seseorang yang menanyakan kepada Syaikh Sholih Al-Fauzan mengenai kitab fiqih apa yang cocok untuk diajarkan di negerinya, sedangkan masyarakatnya bermadzhab Maliki. Maka Syaikh hafizhohullah menjawab, ajarkan fiqih Maliki, sesuai fiqih yang berlaku di tengah-tengah mereka.

Kami pun mendapat sebuah nasehat yang sama dari Syaikh Sholih Al-‘Ushoimi, beliau seorang ulama yang terkenal dengan banyaknya sanad sampai dikatakan ia mempunyai 1000 guru, beliau menasehatkan untuk menghafalkan berbagai kitab matan yang di dalamnya terdapat matan tauhid, aqidah, ushul fikih, ushul hadits dan juga ushul tafsir.

Beliau juga mempunyai list (daftar) kitab-kitab yang sebaiknya untuk dihafal. Padahal beliau adalah seorang ulama dari madzhab Hambali, namun beliau mengatakan di catatan kaki, untuk kitab fiqih disesuaikan dengan madzhab di negeri masing-masing. [Dauroh Muhimmatul ‘Ilmi di Masjid Nabawi selama 8 hari, 5 hingga 12 Rabi’ul Awwal 1434 Hijriyah]

Ini berarti di negeri kita (Indonesia) yang sudah ma’ruf dengan madzhab Imam As-Syafi’i, maka alangkah baiknya yang dihafalkan dan diajarkan adalah ilmu fiqih Syafi’i. Untuk permulaan tak usah pelajari buku yang tebal-tebal dahulu (seperti Al-Umm dan Al-Muhaddzab karya dari Asy-Syairozi atau Syarh Al-Muhaddzab karya Imam An-Nawawi yang dilanjutkan As Subkiy dan Syaikh Muhammad Al Bakhit), namun kuasai terlebih dahulu yang ringkas-ringkas (matan) mulai dari matan Abi Syuja’ dan matan Syafinatun Najah.

Apabila dengan catatan dibaca di depan seorang guru yang lebih memahaminya. Setelah 2 kitab tadi, baca juga kitab lanjutan seperti kitab Fathul Qorib, kitab Al Iqna’ dan kitab Kifayatul Akhyar yang merupakan penjelasan dari kitab Matan Abi Syuja’. Dengan mengambil cara seperti ini, maka kita akan lebih mudah untuk memahami fiqih masyarakat sekitar kita.

Kita menganjurkan mempelajari fiqih dari madzhab Syafi’i bukan berarti kita ingin taklid buta dengan madzhab lain, namun lebih sebagai jalan untuk belajar. Apabila ada yang keliru dari madzhab tersebut, tinggal diluruskan. Inilah jalan yang ditempuh oleh para ulama terdahulu, mereka beranjak dari mempelajari fikih madzhab di negerinya, sebagaimana praktek yang ada di Kerajaan Saudi Arabia. Lihat saja Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, dan juga saat ini Syaikhuna Sholih Al Fauzan (yang sedang mengajarkan fikih Al Muntaqo karya Jadd Ibnu Taimiyah dan Umdatul Fiqh karya Ibnu Qudamah), para ulama besar dan senior seperti ini menganjurkan mempelajari fikih madzhab seperti itu. Maka ini juga nasehat untuk para da’i Ahlus Sunnah di negeri kita agar dapat memperhatikan hal ini.

Namun bagi yang mempelajari fikih madzhab, harus memperhatikan rambu dalam bermadzhab:

Rambu pertama:

Harus diyakini bersama bahwa madzhab tersebut bukanlah dijadikan sarana kawan dan musuh sehingga dapat memecah belah persatuan dan kesatuan kaum muslimin. Jadi tidak boleh seseorang berprinsip apabila ada orang lain yang tidak mengikuti madzhab ini, maka ia telah menjadi musuh kami dan jika semadzhab, maka ia adalah kawan kami.

Sifat dari para pengikut hawa nafsu (ahlu bid’ah) berprinsip bahwa satu orang dijadikan sebagai tolak ukur kawan dan lawan. Sedangkan para Ahlus Sunnah berprinsip bahwa yang dijadikan standar kawan dan lawan (wala’ dan baro’) hanya dengan mengikuti Al Quran dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’ (konsensus) dari para ulama kaum muslimin.

Rambu kedua:

Tidak boleh apabila seseorang meyakini bahwa setiap muslim harus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak boleh mengikuti imam yang lainnya. Apabila ada yang meyakini demikian, maka dialah orang yang jahil. Namun orang awam boleh baginya untuk mengikuti orang tertentu, namun tidak ditentukan bahwa yang diikuti mesti Muhammad, ‘Amr atau yang lainnya.

Rambu ketiga:

Imam yang diikuti madzhabnya itu wajib diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia telah menyampaikan maksud dari agama dan syari’at Allah Ta’ala. Sedangkan yang mutlak ditaati yakni Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Maka tak boleh seseorang mengambil pendapat imam tersebut karena itu merupakan pendapat imamnya.

Namun yang harus menjadi prinsipnya yaitu dia mengambil pendapat imam tersebut karena itu yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Rambut keempat:

Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di antaranya:
1. Fanatik buta dan memecah persatuan kaum muslimin.
2. Berpaling dari Al Qur’an dan As Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam madzhab.
3. Membela madzhab secara over-dosis bahkan sampai menggunakan hadits-hadits dhoif agar orang lain mengikuti madzhabnya.
4. Mendudukkan imam madzhab seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [1]. (Lihat Ma’alim Ushul Fiqh, halaman. 501-503)
Semoga Allah memberikan taufik dan kemudahan bagi kita untuk mempelajari ilmu diin ini karena kebahagiaan di dunia dan akhirat hanya diraih melalui ilmu agama. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.