Futur? Jalan-Jalan Aja

Dulu, aktivitas yang satu ini adalah hal yang paling jarang saya lakukan, baik jarak dekat terlebih jarak yang jauh. Perjalanan, selalu membuat diri ini tidak nyaman. Dalam perjalanan selalu timbul rasa was-was, khawatir dan takut yang kadang berlebihan. Alhamdulillah, hal itu berubah seratus delapan puluh derajat sejak awal memasuki masa-masa SMA, saat mengenal sahabat-sahabat yang luar biasa di Rohis dulu. Aktivitas safar yang secara sederhana bermakna melakukan perjalanan. Bahkan sampai sekarang aktivitas ini menjadi hal yang rutin saya lakukan.

Saat saya melakukan perjalanan, apapapun maksud dan dimanapun tujuannya. Perjalanan untuk menemui orang-orang sholih, keluarga, saudara-saudara yang saya mencintai mereka karena Allah atau  sahabat-sahabat pengingat semangat. Dalam perjalanan itu, saya sering menemukan hikmah baru, hikmah yang  membuat saya menjadi lebih bersemangat. 

Dengan melakukan perjalanan, kesabaran kita akan teruji. Jika tidak percaya sekali-kali cobalah melakukan perjalanan dengan sarana transportasi umum kelas ekonomi. Kereta ekonomi Bengawan, dari Stasiun Tanah Abang di Jakarta menuju Stasiun Solo, misalnya. Kesabaran pertama akan diuji saat mengantri untuk membeli tiket, terlebih pada akhir pekan, hari Jum’at atau Sabtu petang. Pada saat itu akan di terbukti kesabaran kita. Apakah kita masih bisa bersabar dalam kondisi yang pengap dan panas dan menunggu dengan waktu yang tidak sebentar.

Kedua, saat akan memasuki gerbong kereta, kesabaran kita akan di uji saat harus berdesak-desakan  dengan orang-orang yang juga ingin masuk ke gerbong yang sama. Pada saat inilah akan muncul sifat asli kita, apakah kita termasuk orang-orang yang bersabar atau tidak. Dalam perjalanan kebanyakan orang cenderung tidak bersabar dan mudah terpancing emosinya. Saat mengendarai sepeda motor misalnya, ketika kita tersalip kita akan mudah marah. Dari hal-hal yang sepele dan ringan di dalam sebuah perjalanan, hal itu bisa memicu pertengkaran bahkan perkelahian. Pun saat kita jadi penumpang juga akan di uji kesabaran kita. Bersabar karena supir yang angkotnya kita tumpangi ngebut, ugal-ugalan atau supir yang terlalu lama ngetem untuk menunggu penumpang. Dalam keadaan demikian akan nampaklah watak asli kita, bersabar atau tidak bersabar.

Dalam perjalanan, kita akan diingatkan betapa diri ini kecil dan tidak ada apa-apanya. Kecongkakan dan kepongahan yang sering muncul dalam diri serta merta akan luntur kala melakukan perjalanan. Perasaan-perasaan yang membesarkan diri sendiri akan mengerdil. Ketika sampai di suatu terminal, stasiun, pelabuhan atau bandara, akan nampak betapa kecilnya diri kita dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan para arsitek dan insinyur-insinyur tekhnik sipil itu, lalu bagaimana dengan ciptaan Allah Yang Maha Besar. Tentu jika dibandingkan dengan ciptaan-Nya, kita amat sangat kecil dan tidak ada apa-apanya.

Dalam kondisi yang riuh ramai dengan banyaknya orang yang hilir mudik dalam tempat-tempat itu, akan tersadar bahwa kita hanyalah salah satu bagian kecil dari mereka, pribadi yang mungkin belum atau bahkan tidak berarti bagi mereka. Kondisi seperti itu akan mengecilkan perasaan sombong dalam diri kita, apa yang bisa dan perlu di sombongkan. Kita akan benar-benar tersadar bahwa ubun-ubun kita benar-benar ada dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa ketika melakukan perjalanan baik di darat, laut maupun udara. Saat itu kita akan yakin bahwa nyawa kita benar-benar sangat mudah di cabut oleh malaikat Izrail sewaktu-waktu. Saat itulah kita yakin bahwa kita tidak ada apa-apanya dibandingkan kekuasaan Allah. Maka dengan melakukan perjalanan nyatalah bahwa kita adalah kecil dan tidak ada apa-apanya.

Dengan melakukan perjalanan pula, rasa syukur kita akan bangkit. Ketika berada di dalam bis ekonomi misalnya, akan kita temui beberapa pengamen jalanan dengan berbagai suara, cara dan ke-khas-an dalam usahanya untuk menghibur dan menemani perjalanan para penumpang bus itu. Di dalam kereta ekonomi Progo tujuan Yogyakarta akan terdengar sahutan-sahutan suara dari pedagang yang menawarkan berbagai makanan, minuman atau mainan yang mereka bawa, berharap ada penumpang kereta yang mau membeli dagangannya. Atau saat ada peminta-minta yang menghampiri satu demi satu penumpang berharap uang receh yang di tujukan padanya. Bahkan tak jarang orang-orang yang fisiknya sudah cacat, yang dengan susah payah berpindah dari satu angkutan kepada angkutan yang lain,  namun tetap keukeuh berusaha sekuat mungkin mengais rezeki dan menghindari dari meminta belas kasih orang lain. Dari hal-hal yang kita lihat akan muncul rasa syukur yang akan memposisikan diri kita menjadi lebih menikmati hidup.

Pada sebuah perjalanan juga akan memupuk rasa kepedulian kita. Kepedulian saat ada ibu-ibu hamil yang tidak mendapat tempat duduk, padahal kita nyaman dengan tempat yang sudah kita duduki. Juga ketika ada orang tua yang renta berdiri di antara puluhan tempat duduk yang sudah penuh terisi. Apakah saat itu kita mau mengorbankan kenyamanan yang sudah kita miliki dan menukarnya dengan kenikmatan yang lain, kenikmatan karena telah mampu memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Apakah teori-teori yang sudah di ajarkan sejak kecil dapat benar-benar diaplikasikan dalam kondisi realita.  Atau mungkin saat itu kita sengaja menutup mata, pura-pura tidur dan membiarkan orang-orang yang lebih berhak tersebut untuk tetap dalam kepayahannya, sehingga teori-teori kebaikan yang selalu di ajarkan kepada kita hanya menjadi pemanis bibir tanpa aksi kepedulian yang nyata. Na’udzubillahi min dzalik.

Dalam perjalanan akan mengingatkan kita akan adanya sebuah tekad dan semangat yang kuat. Saat kita melakukan perjalanan pada dini hari dengan kereta ekonomi dari Purwakarta menuju kota metropolitan, Jakarta, akan kita saksikan ibu-ibu yang berpindah dari gerbong satu ke gerbong lainnya. Naik turun dari satu kereta menuju kereta lainnya dengan gendongan yang berisi dagangannya. Atau beberapa wanita paruh baya dan bapak-bapak yang tidak lagi muda yang membawa beberapa karung yang melebihi ukuran tubuhnya sendiri.  Karung-karung berisi sayur, baju atau beberapa kandang ayam yang mereka bawa untuk di jual di ibu Kota. Berharap mendapatkan laba yang  lebih banyak. Mereka rela menahan malu, menahan rasa kantuk dan menahan beratnya beban yang mereka ampu. Jauhnya perjalanan yang mereka tempuh tidak mereka hiraukan demi anak-anak dan keluarga yang menanti dirumah. Semangat para pedagang yang berseliweran diantara sela-sela kursi, semangat pedagang antar kota juga semangat pengamen-pengamen dalam mengais rizki itu dapat dijadikan contoh untuk memompa kembali semangat kita saat futur atau sedang malas melakukan aktivitas kebaikan merasuk dalam diri kita.

Kewaspadaan dan kesigapan juga akan terlatih ketika kita melakukan perjalanan. Apakah kita siap jika ada hal-hal yang tidak kita harapkan, tiba-tiba menimpa kita. Umumnya kejahatan lebih sering terjadi di perjalanan. Pencopetan, jambret, penodongan bahkan penculikan kerap di lakukan saat seseorang sedang melakukan perjalanan. Dengan melakukan perjalanan akan terbukti apakah kita adalah orang yang selalu waspada dan siap. Tentu masih banyak lagi hikmah dari melakukan sebuah perjalanan. Lakukanlah perjalanan maka akan ada lebih banyak hikmah lain yang bisa kita temukan. Jalan-jalanlah, semoga dengan itu ada hikmah yang bisa mengobati rasa futur yang merasuk dalam diri kita. Insya Allah.