Harmonisasi Kualitas Diri

“Ketika sibuk, bukan kuantitas amanah yang mesti dikurangi, tetapi kualitas dirilah yang harus dibenahi.”

Pernah ada seorang ikhwan yang hendak mengikuti seorang Ustadz selama seminggu. Dirinya merasa penasaran terhadap kegiatan keseharian Ustadz tersebut. Alhasil, setelah mendapat izin dari sang Ustadz, ikhwan itu pun menjadi asisten yang selalu mengikuti kemana saja Ustadz itu pergi.

Selama seminggu itu, rupanya Ustadz itu tidak pernah libur. Tak ada waktu luang barang sejenak untuk bersantai-santai. Panggilan dakwah di sejumlah daerah luar kota memadati agenda sang Ustadz. Hingga di suatu malam, ikhwan itu meminta izin kepada sang Ustadz untuk istirahat (tidur) lebih dulu lantaran sudah begitu letihnya. Dirinya merasa malu karena di saat itu sang Ustadz masih tetap terjaga sambil menyiapkan bahan materi untuk dakwahnya besok. Padahal, hari sudah sangat larut kala itu.

Sebelum adzan Subuh, ikhwan itu terbangun karena ucapan sang Ustadz, “Bangun akhi, masih ada 10 menit. Lumayan untuk salat Tahajud.” Ikhwan itu terkesiap, bingung terhadap Ustadz tersebut. Ia senantiasa menanyakan dalam hati, kapan dan berapa lama Ustadz itu tidur. Karena setiap saat, ia selalu mendapati sang Ustadz selalu terjaga sambil disibukkan dengan agenda dakwah, ibadah, dan tarbiyah.

Terakhir, selepas satu minggu menjadi asisten sang Ustadz, ikhwan tersebut dikabarkan terserang tipes. Tubuhnya seolah menjawab bahwa dirinya tak cukup kuat mengikuti padatnya agenda sang Ustadz.

Cerita non-fiksi di atas begitu selaras dengan apa yang dikatakan oleh Imam Syahid Hasan al-Banna, “Kewajiban yang mesti kita tunaikan jauh lebih banyak dari waktu tersedia yang kita miliki.” Ustadz tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak orang hebat yang berhasil ‘mengalahkan’ dirinya sendiri, sehingga yang dihasilkan dari semua waktunya adalah kebaikan-kebaikan. Pun begitu, kehebatan mereka tidaklah mereka dapatkan begitu saja. Akan tetapi itu terjadi atas proses tarbiyah yang terintegrasikan dengan setiap aspek kehidupannya dalam waktu yang lama.

Merupakan sebuah keniscayaan bahwa setiap orang akan menghadapi amanah yang lebih tinggi sesuai dengan kemampuan dan jenjang kehidupannya. Setiap amanah akan menuntut seseorang untuk bertanggung jawab. Sementara, di sisi lain, tanggung jawab itu akan memupuk seseorang menjadi semakin dewasa. Untuk itu, kualitas seseorang bukanlah ditinjau dari usia, melainkan sejauh mana kedewasaannya dalam menjalankan amanah.

Ada kalanya seseorang akan menemukan titik kerapuhan manakala dirinya mulai merasa waktunya berkurang karena begitu banyak aktivitas yang ia lakukan. Tidak sedikit pula yang akhirnya berpikir untuk mengurangi amanah-amanah tersebut. Akan tetapi, di sinilah letak ujian kedewasaan itu sebenarnya, yang membuatnya bertahan atau tidak. Saat seperti itu, bukan kuantitas amanah yang mesti dikurangi, tetapi kualitas dirilah yang harus dibenahi.

Analogi korelasi antara kualitas diri terhadap besarnya amanah itu seperti cangkir dan tangan yang menggenggamnya. Apabila cangkir terus mengembang, tetapi tangan yang menggenggamnya tidak ikut melebar, maka hanya ada dua kemungkinan, yaitu ia mencari ukuran tangan lain yang lebih sesuai atau ia bertahan dan akhirnya pecah. Sebaliknya, ketika genggaman tangan semakin melebar namun tidak diiringi perkembangan cangkir, maka pilihannya pun ada dua, yakni cangkir tersebut harus mengejar ketertinggalannya, atau ia akan jatuh dan pecah.

Oleh: Deddy Sussantho, Depok.
BlogFacebook