Hukum Melakukan Sihir atau Santet

Pengertian Sihir

1. Bahasa

Kata sihir dalam bahasa Arab terambil dari kata sahara ( سَحَرَ), yaitu akhir waktu malam dan awal terbitnya fajar. Karena pada saat itu bercampur antara gelap dan terang, sehingga sesuatu menjadi tidak jelas atau tidak sepenuhnya jelas.

Arti lain dari sihir adalah, “Segala sesuatu yang halus dan lembut.” Maksudnya segala hal yang tersembunyi, samar dan tidak terlihat asal usulnya, sehingga menipu pandangan sehingga seakan akan melihat sesuatu, padahal sebenarnya sesuatu itu tidak ada.

Secara bahasa sihir juga berarti penjelasan yang menarik sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Sesungguhnya sebagian dari penjelasan itu sihir.”

Penjelasan yang baik dikatakan sihir karena bisa mempengaruhi dan menarik hati para pendengar.

Juga istilah sihir bermakna penipuan, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ayat berikut: “Mereka berkata bahwa kamu adalah orang-orang yang menipu.”

Al-Azhari mengatakan bahwa asalnya sihir itu adalah: “Mengubah sesuatu dari hakikat wujudnya menjadi wujud yang lain.” Sehingga dengan sihir itu seseorang menyangka bahwa apa yang dilihatnya itu benar padahal sebenarnya tidak.

2. Istilah

Adapun secara istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan isitlah sihir. Al-Azhari mendefinisikan sihir sebagai, “Perbuatan yang dilakukan dengan mendekatkan diri kepada setan dan meminta bantuan dengannya.”

Al-Baidhawi mendefinisikan sihir sebagai, “Hal-hal yang untuk mendapatkannya dibutuhkan penyembahan kepada setan, dimana manusia tidak sanggup melakukannya

Menurut Imam Al-Qurtubi, asal makna sihir adalah mengelabui pandangan dengan cara menipu, seperti seseorang yang melihat fatamorgana dari kejauhan dan ia mengiranya seolah-olah itu adalah air.

Sedangkan Imam Al-Kurmani menyebutkan bahwa sihir adalah perkara atau hal yang menyalahi adat kebiasaan dan bersumber dari jiwa yang jahat tetapi tidak mustahil untuk dikalahkan.

Ada juga yang mendefinisikan sihir sebagai pengetahuan yang dengannya seseorang memiliki kemampuan kejiwaan yang dapat melahirkan hAl-hal aneh dan sebab-sebab tersembunyi.

Abu Bakar ibnu Al Arabi seorang pakar tafsir dan hukum islam bermazhab Maliki (w.1148 M) berpendapat bahwa sihir adalah ucapan-ucapan yang mengandung pengagungan kepada selain Allah yang dipercaya oleh pengamalnya dapat menghasilkan sesuatu dengan kadarkadarnya.

Imam Al-Alusy berpendapat bahwa sihir adalah perkara-perkara ganjil yang seakan-akan ia adalah perkara yang luar biasa tetapi bukanlah luar biasa, karena sihir dapat dipelajari dan diperoleh melalui takarrub (mendekatkan diri) kepada setan dengan melakukan kejahatan berupa ucapan seperti jampi-jampi yang mengandung makna kemusyrikan serta pujian kepada setan , dan berupa perbuatan seperti beribadah kepada bintang-bintang dan melakukan jinayah serta kefasikan, dan berupa keyakinan seperti menganggap baik perkara yang membawa kepada takarrub serta cinta kepada setan.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sihir tidak terbatas hanya kepada hal-hal yang bentuknya tipuan belaka dan hayalan seperti yang dilakukan oleh tukang sulap dengan segala trik-triknya seperti disebutkan dalam firman Allah:

Berkata Musa: `Silahkan kamu sekalian melemparkan`. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka`(QS. Thaha: 66)

Dalam ayat tersebut disebutkan kata-kata terbayang dan kata seakan-akan yang berarti bukanlah hal yang sebenarnya. Memang keterbayangan itu mempengaruhi jiwa manusia dan pada ahirnya dapat memberikan dampak yang buruk bagi manusia itu sendiri.

Bentuk sihir lainnya yang dapat difahami dari pengertian sihir di atas adalah sihir yang bersumber dari jiwa yang jahat sehingga seorang tukang sihir mampu memberi pengaruh dengan sihirnya itu kepada alam materi dengan cara mendekatkan diri dan meminta bantuan kepada setan seperti dengan menyuguhkan sesaji dan melakukan penyembelihan untuk mereka atau dengan berbicara kepada roh -roh jahat.

Sihir dalam bentuk inilah yang mempunyai kaitan erat dengan setan. Al-Qur`an menjelaskan bahwa sihir diajarkan oleh setan kepada manusia dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya.

Hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir), mereka mengerjakan sihir kepada manusia…` (QS. Al-Baqarah: 102).[1]

Asal Mula Sihir

Di dalam Al Quran disebutkan kisah Harut dan Marut di negeri Babil:

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa Barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, Tiadalah baginya Keuntungan di akhirat, dan Amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 102)

Syaikh Athiyah Saqar menyebutkan bahwa di beberapa buku tafsir disebutkan kedua malaikat itu telah diturunkan ke bumi sebagai fitnah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengadzab mereka berdua dengan menggantung kedua kaki mereka. Perkataan para mufassir ini bukanlah hujjah (dalil) dalam hal ini, hal itu berasal dari warisan masyarakat Babilonia dan penjelasan orang-orang Yahudi serta kitab-kitab Nasrani.

Dan perkataan mereka yang paling dekat tentang kedua malaikat tersebut adalah bahwa masyarakat saat itu mendapatkan fitnah dengan para tukang sihir sehingga mereka mengangkat para tukang sihir itu sampai ke derajat para nabi. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan dua malaikat untuk mengajarkan kepada manusia sihir agar mereka bisa membedakan antara sihir dengan kenabian serta memperingatkan mereka tentang fitnah terhadapnya. Atau—ada juga yang mengatakan—bahwa mereka berdua adalah dua orang yang memiliki ilmu dan akhlak mulia sehingga menjadi fitnah di masyarakat dan mereka memberikan kepada kedua orang itu nama dua malaikat. Hal ini dari aspek penyerupaan dan gaya bahasa yang sudah difahami sejak dahulu sebagaimana saat ini nama Malaak digunakan untuk seorang yang istimewa.

Di dalam cerita-cerita kuno masyarakat Babilonia terdapat dua orang yang memiliki nama mirip yaitu Harut dan Marut. Masyarakat saat itu begitu kagum dengan mereka berdua sehingga memberikan kepada keduanya nama dua malaikat. Bahkan kekaguman mereka terhadap keduanya pun bertambah sehingga meyakini bahwa mereka berdua adalah Tuhan.

Kemudian orang-orang Yahudi mempelajari peninggalan dari kedua orang itu berupa hikmah dan sihir yang menjadikan mereka lebih disibukkan olehnya daripada Kitab Allah dan mereka pun membuang Kitab Allah itu dibelakang punggung mereka.

Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal Al Quran mengatakan bahwa terdapat kisah tentang keduanya yang sudah diketahui dimana orang-orang Yahudi atau para setan telah menganggap bahwa mereka berdua (Harut dan Marut) mengetahui tentang sihir dan mengajarkannya kepada manusia dan kedua malaikat itu menganggap bahwa sihir itu diturunkan kepada mereka berdua! Kemudian Al Qur’an membantah kebohongan ini, kebohongan yang menyatakan bahwa sihir diturunkan kepada kedua malaikat itu.. Selanjutnya Allah swt menjelaskan hal yang sebenarnya, bahwa kedua malaikat itu hanyalah fitnah dan menjadi cobaan bagi manusia untuk sebuah hikmah yang ghaib. Kedua malaikat itu mengatakan kepada setiap orang yang mendatangi dan meminta mereka berdua untuk mengajarinya sihir, “Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.”

Sekali lagi kita dapati Al Qur’an yang menyatakan bahwa mempelajari dan menggunakan sihir adalah suatu kekufuran. Hal ini disebutkan melalui lisan dua malaikat, yaitu Harut dan Marut.

Dan ada sebagian manusia yang memaksa untuk belajar sihir dari kedua malaikat itu walaupun telah diingatkan dan diberitahu. Maka pada saat itu terjadilah fitnah pada sebagian orang-orang yang yang terkena fitnah: “Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya.”

Dalam Tafsir Ath Thabari disebutkan: Sesungguhnya Allah telah memberikatahukan kepada hamba-Nya mengenai segala hal yang Ia perintahkan dan segala hal yang Ia larang. Sihir termasuk suatu pekerjaan yang terlarang bagi para hamba-Nya. Karena itu bukan hal yang ganjil jika Allah mengajarkan pada dua malaikat- Harut dan Marut- ilmu sihir, dan mereka mengajarkannya kembali kepada manusia. Hal itu dimaksudkan sebagai ujian bagi hamba-hamba-Nya, agar bisa diketahui siapa orang yang beriman dan siapa yang kufur. Orang yang beriman adalah orang yang tidak belajar sihir dari kedua malaikat itu, sedangakan orang yang kfur adalah orang yang mempelajari sihir dan mempraktekkannya, untuk itu mereka mendapat penghinaan dan celaan dari Allah Subhanahu wa Ta’aala.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Juga Disantet

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri pernah disihir oleh seorang Yahudi yang bernama Labid bin Al A’sham. Sebagaimana  disebutkan dalam sebuah hadits (yang artinya):

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam disihir sehingga dikhayalkan padanya bahwa beliau melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada suatu hari berkata kepada Aisyah: “Telah datang padaku dua malaikat, salah satunya duduk di dekat kepalaku dan yang lainnya di dekat kakiku. Salah satu malaikat tersebut berkata kepada yang lainnya: “Apa penyakit laki-laki ini (Rasulullah)? Yang satunya menjawab terkena sihir”. “Siapa yang menyihirnya ?” Satunya menjawab “Labid bin Al A’sham …” (HR Al Bukhari).

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad 4/ 124 berkata: “Dan sekelompok manusia telah mengingkari hal ini (disihirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam-red). Mereka mengatakan: “Ini tidak boleh menimpa diri Rasul,” bahkan mereka menganggap ini sebagai suatu kekurangan dan aib. Dan perkaranya tidak seperti yang mereka duga, akan tetapi sihir tersebut adalah dari jenis perkara (penyakit) yang berpengaruh terhadap diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, hal ini termasuk  dari jenis-jenis penyakit yang menimpanya sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga tertimpa racun, di mana tidak ada perbedaan antara pengaruh sihir dengan racun.”

Ibnul Qayyim rahimahullah mengutip dari Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah, bahwasanya beliau berkata: “Kejadian disihirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menodai kenabian beliau. Adapun keberadaan atau kejadian beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dikhayalkan melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya, hal ini tidaklah mengurangi sifat shiddiq (jujur) yang ada pada diri beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. dikarenakan adanya dalil bahkan ijma’ (kesepakatan umat Islam) atas kemaksuman (terpelihara dari dosa dan kesalahan) beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari hal tersebut, akan tetapi hal ini suatu perkara duniawi yang mungkin bisa menimpanya. Yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak diutus karena sebab tersebut dan tidak diberi keutamaan, karenanya pula beliau dalam hal ini seperti manusia yang lainya, maka tidak mustahil untuk dikhayalkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari perkara-perkara yang tidak ada hakekatnya baginya, kemudian hilang dari beliau dan kembali seperti keadaan semula.”

Keharaman Melakukan Sihir Santet

Dalam Al Qaul Al Mufid disebutkan bahwa keharaman melakukan sihir terdiri dari dua perincian:

  1. Sihir yang termasuk perbuatan syirik, jika menggunakan perantara para syaithan (jin-jin kafir), di mana para tukang sihir tersebut beribadah dan mendekatkan diri kepada para syaithan supaya bisa menguasai orang yang akan disihir.
  2. Kedua: Sihir yang termasuk perbuatan permusuhan dan kefasikan, jika tukang sihir hanya sebatas menggunakan perantara obat-obatan (ramuan) dan sejenisnya.

Di antara ancaman-ancaman Allah ‘azza wa jalla di dalam Al Qur’an adalah firman-Nya (artinya): “…dan sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tidaklah ada keuntungan baginya di akhirat.” (Al Baqarah : 102)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan ayat tersebut ( مِنْ خَلاَقٍ yaitu مِنْ نَصِيْبٍ ) “Tidak ada baginya bagian di akhirat.”

Al Hasan rahimahullah berkata: ( فَلَيْسَ لَهُ دِيْنٌ ): “Tidak ada agama baginya.”

Adapun ancaman dari Allah ‘azza wa jalla adalah sebagaimana di dalam riwayat Al Bukhari  dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa tujuh perkara tersebut?. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Berbuat syirik kepada Allah ‘azza wa jalla, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan untuk dibunuh kecuali dengan hak (benar), makan riba, makan harta anak yatim, lari dari pertempuran dan menuduh zina wanita mukminah yang terhormat serta menjaga kehormatan.”

Dari Imran bin Hushain berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang menentukan nasib sial berdasarkan tanda-tanda benda, burung dan lain-lain, atau bertanya kepada dukun dan yang mendukuninya, atau yang menyihir dan yang meminta sihir untuknya, dan siapa saja yang membuat buhulan dan barangsiapa yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yang ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.”

“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal lalu menanyakan sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.”

Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mempelajari sebagian dari ilmu nujum, sesungguhnya dia telah mempelajari sebagian ilmu sihir.”

“Semakin bertambah ilmu nujum yang dia pelajari semakin bertambah pula sihir yang dia pelajari.”

Hadits dari Abi Hurairah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang membuat satu buhulan, lalu meniup padanya, maka dia telah melakukan sihir , dan barangsiapa yang melakukan sihir maka dia telah berbuat syirik dan barangsiapa yang menggantungkan diri pada sesuatu benda (jimat), maka dirinya dijadikan oleh Allah bersandar kepada benda itu.” (HR. Al-Nasa`i).

Status Pelaku Sihir Santet

Para ulama berbeda pendapat tentang tukang sihir. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa tukang sihir itu kafir, dan di antara yang berpendapat demikian adalah Al Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.

Imam Ahmad rahimahullah berkata kepada para muridnya: “Kecuali sihirnya dengan obat-obatan, asap dupa dan menyiram sesuatu yang bisa memberikan mudharat, maka tidaklah kafir.”

Mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa seorang penyihir yang beragama Islam akan menjadi kafir, kalau dalam melakukan sihir itu dibarengi dengan hal-hal yang membawanya kepada rusaknya keislamannya. Atau misalnya bila pengaruh sihirnya itu membuat pasangan suami istri menjadi bercerai.

Ibnu Al-Arabi menambahkan bahwa termasuk sihir yang mengkafirkan seseorang adalah suhir pelet, yaitu sihir yang bisa membuat seorang laki-laki tertarik kepada perempuan. Sihir ini disebut juga tuwalah (التُوَلَة ).

Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah dan juga pendapat Ibnu Al-Humam dari kalangan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa seorang muslim yang mengamalkan sihir itu tidak kafir, namun dia berdosa besar. Namun mazhab ini menyebutkan bahwa seorang yang melakukan sihir bisa saja menjadi kafir, manakala mereka melakukan salah satu dari tiga hal berikut:

  1. Mengerjakan perbuatan kufur bersama sihir
  2. Meyakini bahwa sihir itu boleh atau menghalalkan sihir
  3. Meyakini mampu menundukkan setan
Hukuman bagi Pelaku Sihir

Para pakar keislaman hususnya yang datang dari kelompok ahli Tafsir mereka berbeda pendapat mengenai hukum sihir baik yang berkaitan dengan si pelaku atau tukang sihir itu sendiri, adapun yang berkaitan dengan bagaimana hukum mempelajari dan mengamalkannya diantaranya adalah:

Imam Malik Rahimahullah berkata: Tukang sihir yang mengerjakan sihir adalah seperti orang yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya. “Demi sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat?. (QS. Al-Baqarah 102).

Maka saya berpendapat harus dibunuh apabila dia sendiri mengerjakannya.

Imam Al-Qurthubi Rahimahullah berkata: Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum tukang sihir muslim dan zimmi.

Imam Malik berpendapat bahwa seorang muslim apabila mensihir sendiri dengan suatu ucapan yang berwujud kekafiran maka ia dibunuh, tidak diminta taubatnya, dan taubatnya tidak diterima karena itu adalah perkara yang dilakukannya dengan senang hati seperti orang zindiq dan berzina. Juga karena Allah menamakan sihir dengan kekafiran di dalam firman-Nya: “Sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang pun sebelum mengatakan Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kafir?” (QS. Al-Baqarah: 102)

Ibnu Munzir Rahimahullah berkata: Apabila seseorang mengakui bahwa dia telah mensihir dengan ucapan yang berupa kekafiran maka wajib dibunuh, jika dia tidak bertaubat. Demikian juga jika terbukti melakukannya dan bukti itu menyebutkan ucapan yang berupa kekafiran. Jika ucapan yang dipakai untuk menyihir bukan berupa kekafiran maka dia tidak boleh dibunuh. Dan jika dia menimbulkan bahaya pada diri orang yang tersihir maka wajib diqishas. Ia di-qishas jika sengaja membunuhnya. Jika termasuk yang tidak dikenakan qishas maka dikenakan diyat.

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: Telah berdalil dengan firman Allah: `Sekiranya mereka beriman dan bertakwa`, orang yang berpendapat mengkafirkan tukang sihir, sebagaimana riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal dan sekelompok dari ulama salaf. Dikatakan bahwa dia tidak kafir, tetapi hukumannya dibunuh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Syafi`i dan Imam Ahmad keduanya berkata; Telah menceritakan kepada Sofyan Ibnu Uyainah dari Amr bin Dinar bahwa ia mendengar Bajlah bin Abdah berkata:`Umar bin Khattab memutuskan agar setiap tukang sihir lelaki ataupun wanita agar dibunuh. Ia (Bajlah) berkata, kemudian kami membunuh tiga tukang sihir`.

Ia (Ibnu Katsir) berkata: Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab sahihnya. Masih menurut Imam Ibnu Katsir ia berkata: Demikianlah riwayat sahih menyebutkan bahwa Hafsah Ummul Mu`minin pernah disihir oleh wanita pembantunya, lalu beliau memerintahkan agar wanita itu dibunuh. Imam Ahmad berkata; Dalam riwayat shahih dari tiga orang sahabat Nabi saw disebutkan bahwa mereka pernah membunuh tukang sihir.

Menurut Imam Malik bahwa hukum tukang sihir sama dengan hukum orang Zindiq, maka tidak diterima taubatnya dan dibunuh sebagai hukumannya, jika terbukti melakukannya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad.

Imam Syafi`i berkata: Tukang sihir tidak dibunuh kecuali jika dia mengakui bahwa dia membunuh dengan sihirnya.[2]

Cara Mengobati Sihir (Santet)

Ada dua cara untuk mengobati santet:

  1. Mengeluarkan sihir tersebut dan membatalkannya, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berdo’a kepada Allah ‘azza wa jalla dalam perkara sihir tersebut.  Maka Allah ‘azza wa jalla tunjukkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (tempat buhul-buhul tersebut), kemudian beliau mengeluarkannya (mengambil buhul-buhul tersebut) dari suatu sumur. Maka hilanglah apa yang ada pada beliau, seakan-seakan beliau lepas dari ikatan.
  2. Dengan diruqyah, yaitu dengan dibacakan Al Qur’an dan do’a-do’a (yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) kepada yang terkena sihir. Misalnya dengan dibacakan surat Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas, dan yang lainnya dari ayat-ayat Al Qur’an kemudian ditiupkan kepada yang sakit, maka insya Allah akan sembuh. Demikian disebutkan dalam Zaadul Maad.
_______________________________


[1] Ahmad Sarwat, Lc, MA dalam Seri Fiqih dan Kehidupan: Fiqih Jinayat

[2] Ahmad Sarwat, Lc, MA dalam Seri Fiqih dan Kehidupan: Fiqih Jinayat