Hukum Menabung di Bank Konvensional (Ribawi)

Majelis Ulama Indonesia, Melalui Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Intersat/Fa’idah), tanggal 24 Januari 2004, menjelaskan bahwa:

Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.

Sementara, riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.

Sehingga, praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yakni Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.  Praktik penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.

Bagi kaum Muslimin, diatur cara bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional sebagi berikut:

  1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada perhitungan bunga.
  2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.

Dasar Keharaman Bunga (Riba)

Dalil yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia untuk mengharamkan bunga (riba) adalah:

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, antara lain, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (darimengambil riba), maka baginya maka yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,mengerjakan amal shaleh,mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran,mereka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali’Immran [3]: 130).

Hadis-hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, antara lain:
Dari Abdullah Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang memakan orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menjadi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab, “Kami hannya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).

Dari Jabir Radhiyallahu ‘Anh,ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikn, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata, “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Akan dating kepada umat manusia suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’i).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).

Dari Abdullah, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).” (HR. Ibn Majah).

Dari Abdullah bin Mas’ud, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorang pun diantara mereka kecuali (terbias) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).

Juga ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir).

Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di haramkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti dikemukakan,antara lain, oleh An Nawawi berkata:

AlMawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi’I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.

Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya.

Itulah maksud firman Allah : “… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… “ kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an.

Fatwa Ulama dan Lembaga yang Lain

Selain MUI, ulama dan organisasi Islam lain juga memberikan fatwa keharaman bunga:

  1. Ibn al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an
  2. Al-Aini dalam ‘Umdah al-Qary
  3. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth
  4. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur;an
  5. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I’ al-Bayan
  6. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba
  7. Yusuf al-Qardhawy dalam Fawa’id al-Bunuk
  8. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh
  9. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
  10. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
  11. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
  12. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
  13. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965
  14. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985.
  15. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
  16. Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
  17. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
  18. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
  19. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
  20. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
  21. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.