Adalah Dra. Wirianingsih, Bc.Hk,M.S, istri dari Mutammimul Ula, SH yang lebih akrab disapa Wiwi ini lahir di Jakarta, 11 September 1962. Wiwi dibesarkan dalam keluarga yang tekun beragama meskipun masih bersifat abangan. Ayahnya sendiri bukanlah berasal dari keluarga santri. Hidayah Allah merasuk ke dalam diri sang ayah kala menikah dengan ibunda Wiwi yang kemudian melahirkan Wiwi. Saat Wiwi berusia 3 tahun dan sering terbangun di tengah malam karena buang air kecil, ia sering melihat ayahnya sholat malam. Kepribadian ayahnya ini tampaknya membekas dalam jiwanya dan membentuk kepribadiannya.
Sang ayah juga termasuk orang yang disiplin dalam hal mendidik akhlak anak-anaknya. Wiwi sudah dibiasakan sejak kecil untuk tidak mengenakan rok mini dan dilarang sama sekali memperlihatkan lutut. Keluarga Wiwi saat itu juga menjadikan rumahnya sebagai tempat berkumpul untuk mengaji. Kebiasaan inilah yang akhirnya menginspirasi Wiwi untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat mengaji bagi anak-anaknya dan juga anak-anak tetangganya.
Ibunda Wiwi, adalah orang yang pertama kali mengajarkan Wiwi kecil membaca Al Qur’an. Kedekatan ibu dengan putrinya dibangun dengan landasan Al Qur’an menjadi model bagi Wiwi untuk mengajarkan Al Qur’an kepada anak-anaknya. Orang tua Wiwi bahu membahu dalam mendidik Wiwi dan saudara-saudaranya. Tak hanya mengisi aspek ruhiyah saja, tetapi juga menempa Wiwi menjadi pribadi yang tangguh. Usia 7 tahun, Wiwi juga sudah terbiasa hadir di majelis-majelis taklim dan menyaksikan para mubaligh/ah memberikan taushiyahnya. Kebiasaan-kebiasaan ini terukir dalam sanubarinya dan membentuk jiwanya. Sejak kecil, Wiwi juga sudah hafal biografi Khadijah r.a dan Aisyah r.a, dan ini tertanam kuat dalam jiwanya dan terbawa hingga dewasa. Dari Khadijah, Wiwi meneladani kelembutan dan kedermawanannya, sementara dari Aisyah, Wiwi meneladani kecerdasan dan kekritisannya.
Wiwi selalu berusaha menerapkan setiap apa yang ia pahami. Ia sangat menyadari dan memahami peran dan tanggung jawab seorang muslimah baik tanggung jawab sebagai anak, istri, ibu, maupun sebagai anggota masyarakat. Kesholihan yang ia miliki tak hanya untuk dirinya sendiri, tapi ia juga terus berusaha mensholihkan ummat. Dari kesholihan pribadi dan keluarga menuju kesholihan ummat.
Berbagai pembiasaan dan tempaan dari orang tua yang dilengkapi dengan pengalaman hidup Wiwi di masa remaja akhirnya menumbuhkan ia menjadi seorang perempuan yang terbiasa diberikan keleluasaan untuk menhambil keputusan sendiri. Respons Wiwi pada pengalaman yang negatif pun adalah respons yang justru positif. Kemampuan mengemas pengalaman hidup, pengaruh orang tua, dan pengaruh lingkungan menghasilkan dinamika psikologis yang unik dalam kepribadiannya. Dia mampu menyikapi seluruh pengaruh yang menyentuh hidupnya selalu terkait dengan Allah swt, dan mu’jizat Al Qur’an membuatnya memiliki daya dorong yang kuat untuk menjadi pribadi yang selalu berusaha menjadi yang terbaik.
Wiwi bukanlah orang yang tidak memiliki kesibukan. Ia adalah orang yang sangat sibuk. Wiwi yang sejak muda aktif di berbagai organisasi ini pernah menjadi pengurus wilayah PII (Pelajar Islam Indonesia) Jawa Barat, pengurus besar PII, dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Unisba, ketua PP Salimah (sebuah organisasi muslimah yang tersebar di 30 propinsi) tahun 2005-2010, ketua Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia, Presidium BMOWI 2007-2012, dan Ketua yayasan Citra Insani (2009- ..). Ia juga pernah menjadi anggota delegasi RI dalam siding UNCSW ke-51 di New York, Amerika.
Berbagai kesibukan Wiwi ini tidak lantas membuatnya lalai akan kewajiban yang utama, yakn mendidik keluarga. Ia berprinsip bahwa pendidikan anak adalah tugas terintegrasi antara ayah dan ibu. Sang ayah haruslah seseorang yang memiliki visi besar tentang pendidikan, danibulah yang akan menjalankan misinya, mengisi krangkanya. Lagi-lagi ia menyandarkan diri pada Al Qur’an, sunnah, dan shirah nabawiyah.
Dan kini, ibu dari 11 anak ini telah mampu mengantarkan anak-anaknya sebagai penghafal ayat-ayat suci Al Qur’an. Tentunya ini tak mudah, karena dibutuhkan komitmen dan keistikamahan dalam mengajarkan Al Qur’an kepada anak dalam segenap aspek kehidupan.
Bagi Wiwi, Al Qur’an adalah kunci meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan mendasari setiap gerak dan langkah pada ajaran mulia yang terkandung dalam Al Qur’an, maka setiap umat akan sanggup menghadapi tantangan sekaligus menyelesaikan segala macam permasalahan.
Wiwi mengenalkan Al Qur’an, sebagai pegangan hidup, kepada buah hatinya sejak dini. Menurutnya, pengenalan dan internalisasi nilai Al Qur’an memang harus diberikan kepada anak-anak, sejak masih kecil. Sebab dengan membiasakan anak-anak berinteraksi dengan Kitab Suci, akan menumbuhkan kecintaan terhadap Al Qur’an hingga mereka menginjak dewasa.
Menurut Wiwi, menghafal Al Qur’an akan memiliki banyak manfaat bagi sang anak. ”Insya Allah anak-anak memiliki akhlakul karimah dan ketegasan sikap untuk membendung setiap pengaruh negatif yang marak di tengah masyarakat. Al Qur’an mampu membentengi jiwa mereka agar tetap menjadi umat yang beriman,’’ tuturnya.
Terkait kehidupan keluarga, sambung dia, sangatlah penting antara suami dan istri untuk saling mendukung dan melengkapi. Masing-masing memiliki peran dan tanggung jawab yang berkaitan. Dia pun menyayangkan jika masih ada anggapan bahwa hanya istri yang bertanggung jawab mendidik anak, sementara suami mencari nafkah saja.
‘’Itu tidak tepat. Perlu ditekankan keberhasilan pendidikan anak merupakan hasil integrasi dan kerjasama yang baik dari suami dan istri, bahkan kalau kita baca lagi literature-literatur agama, justru porsi terbesar mendidik anak ada pada ayah,’’ katanya lagi.
Dalam pandangannya, anak adalah masa depan keluarga dan bangsa. Maka itu, maju mundurnya peradaban sebuah bangsa sangat tergantung dari cara dan pola pendidikan yang diberikan kepada anak-anak. Karena itulah, tutur dia, keluarga memiliki peran yang sangat besar.
“Untuk memperbaiki kondisi bangsa, kita harus benahi di tingkat keluarga terlebih dahulu. Kita harus menjaga ketahanan keluarga berdasarkan nilai-nilai Al Qur’an,’’ tegas ustadzah yang biasa berceramah hingga ke mancanegara itu.
Pesan dari Wiwi untuk para muslimah, “jika menginginkan anak-anak kita cerdas, mulailah dengan menjadikan diri kita sebagai ibu yang cerdas. Menjadi ibu yang cerdas merupakan cita-cita bagi seorang perempuan yag memahami arti kehidupan. waktu yang tersedia bagi kehidupan seseorang sudah dijatah oleh sang maha Pencipta. Tidak lebih dan tidak kurang. Maka penting bagi kita menata waktu sebaik-baiknya agar tidak ada satu hal yang terlewat dalam kehidupan. Semua hendaknya diniatkan untuk semata mengabdi padaNya. artinya, jadikan setiap waktu ‘gaul kita’ dengan siapapun hendaknya berkualitas tinggi, termasuk berinteraksi dengan anak-anak kita. Tugas seorang ibu sebenarnya hanyalah ‘menghantarkan’ agar anak memiliki kemampuan ‘mengarungi samudra kehidupan yang terbentang luas dengan segala tantangan dan peluangnya”.