Janda

Sebagai sesama warga, memikirkan tetangga yang menjanda sepertinya perlu jadi agenda kampung. Sama halnya dengan para gadis, janda pun masih memiliki hasrat biologis, terutama mereka yang umumnya masih di bawah 50 tahun. Di atas itu, biasanya lebih memikirkan soal anak dan cucu.

Lama menjanda tidaklah mengenakkan, apalagi sanak saudara sering menanyakan kenapa tak kunjung berganti status. Padahal, sudah banyak mata di kanan dan kiri yang melirik tertarik. Menjadi janda ternyata tak selalu lebih mudah daripada saat lajang dulu. Ada banyak pertimbangan dan proyeksi bagi anak keturunan yang ditinggalkan oleh pasangan semula.

Menjadi janda terkadang tergoda untuk berpenampilan menyesakkan sesama perempuan lain. Mencoba-coba menarik lelaki lain, entah sudah beristri ataukah belum. Ketika itu, iman masih tergeletak entah ke mana. Maka, menjanda menjadi pilihan untuk menjadi sosok yang diperhatikan. Tatkala keimanan pudar, yang ada tinggal pamer pesona yang berujung pada kemaksiatan.

Saya dapati seorang tetangga di dusun sebelah begitu bertingkah bak sang keponakan yang masih kuliah. Di usia mendekati kepala lima, bukan kearifan dan memikirkan rekam jejak kesilapan di masa lalu yang dikerjakan, melainkan justru berpamer memperlihatkan kemolekan diri. Berlenggak-lenggok dengan kacamata hitam dan motor Tiger, mengabaikan ketidakpatutan di kampung.

Kalaulah lelaki sering disebut memiliki pubertas kedua di paruh baya, saya yakin perempuan juga demikian. Janda-janda defisit iman yang saya temui, membuktikan itu. Bak perawan yang ingin dipinang, kebiasaan berhilir mudik tak ubahnya saat mereka di usia awal akil balig: ingin dicintai.

Bagaimanapun juga, janda juga manusia, apalagi si pemegang status sadar akan kecantikan, kecerdasan, kekayaan atau apa saja yang bisa dibanggakan. Itu sebab saya sebut menjanda bagi yang tak beriman bahkan disyukuri sebagai komodifikasi materi. Seolah dengan status itu ia membebaskan setiap lelaki masuk di zona tak bertuannya, dengan harap ada imbalan menggiurkan. Jika orang beriman saja kadang saya dapati keinginan untuk dimiliki dan dicintai, terlebih mereka yang melepaskan iman tanpa ragu-ragu. Inilah problematika menjanda yang mestinya perlu dipikirkan bersama agar tak terjadi fitnah.

Dulu mungkin sering terdengar romantika idealis sang perempuan begitu setia pada suaminya yang telah dipanggil ke haribaan Allah. Ia tak mau disunting lelaki lain karena masih mengingat kebaikan dan kelembutan almarhum suaminya. Kini? Kadang kematian suami diharapkan demi memuluskan langkah di balik pikirannya.

Saya akhirnya sadar, harta benda penting untuk kita tinggalkan kepada istri dan anak-anak. Tapi ada yang jauh lebih penting dari itu; ketika kita selaku suami ditakdirkan wafat lebih dulu, penangkal godaan istri kita semestinya harus tersedia. Tidak kaget begitu kita tiada. Saat berstatus janda, istri kita bisa menerima keadaan. Kalaupun dia menikah lagi, itu dilakukan dengan makruf dan bukan dengan memamerkan pesona galibnya perempuan yang puber. Apalagi melakukan hal-hal kemaksiatan demi mengisi kesepian mendera akibat kita tinggalkan.

Semoga kebaikan selalu yang menemani kita semua.

Yusuf Maulana – Yogyakarta

Blog