Jenuh

‘Agama baru’ itu begitu sederhana, hanya saja pembawanya tidak pernah mengaku tengah membawa agama baru. Ia justru merujuk pada agamanya sang nenek moyang yang sudah dikenal bersama dan dicintai oleh segenap bangsa, yaitu Ibrahim ‘alaihissalaam. Bagaimana pun, seruannya memang terdengar seperti suatu hal yang baru di tengah-tengah hegemoni tradisi yang sudah berkembang ratusan tahun lamanya di negeri itu.

Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang seolah tampil membawa seruan yang asing dari negeri jauh, meskipun ia orang dekat yang dikenal oleh segenap penduduk Mekkah. Beliau sendiri menyebut dirinya dan para pengikutnya sebagai ‘orang-orang asing’ (ghurabaa’), karena pada masa-masa awal dakwahnya memang hanya segelintir orang saja yang bersegera memenuhi seruannya. Jangankan tetangga dan kawan di pinggir kota, keluarga pun tak banyak yang bergabung, bahkan sebagian dari musuh yang paling keras melawan Islam justru berasal dari keluarganya sendiri.

Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus, masyarakat Arab dihimpit oleh dua kekuatan adidaya yang dimabuk kedigjayaannya sendiri. Romawi dan Persia tengah menikmati kekayaan berlimpah dari negeri-negeri jajahannya. Hanya sedikit yang berani mengangkat muka di hadapan kekuatan militer mereka, dan hanya sedikit yang mampu bertahan jika keduanya sudah mengobarkan api peperangan. Jazirah Arab, yang alamnya berupa lautan pasir (“jazirah” sendiri bermakna “lautan”) tandus dengan pasokan air yang sangat terbatas sehingga tanahnya sulit ditanami, adalah daerah yang beruntung tidak pernah dianeksasi oleh Romawi atau Persia, justru karena alamnya yang sama sekali tidak menarik untuk dijajah.

Di Romawi dan Persia, kekayaan berlimpah yang identik dengan kezaliman (karena diambil dari negeri-negeri jajahan) berbanding lurus dengan penyimpangan. Semakin kaya penduduknya, semakin bejat perilakunya. Di istana-istana Romawi, pesta pora mabuk-mabukan adalah hal yang biasa, dan mungkin yang paling rendah derajat kebejatannya. Setelah mereka makin kaya, mereka pun mengadakan pesta seks di istana-istana itu. Melakukan kegiatan seks beramai-ramai atau bertukar pasangan adalah hal yang biasa terjadi. Demi mencari sensasi, eksperimen pun dilakukan. Bosan dengan lawan jenis, mereka pun mencoba dengan sesama jenis. Kalau masih kurang puas, didatangkan budak-budak yang masih remaja untuk disodomi. Jika belum cukup juga, dengan hewan pun jadi.

Di Persia, penyimpangan seksual tidak eksklusif milik kaum bangsawan, karena agama mereka pun menganjurkannya. Agama-agama kuno Persia telah lama mengajarkan perilaku seks bebas, bahkan menganjurkan berhubungan seks dengan ibu kandung mereka sendiri. Kepercayaan takhayul pun berkembang luas, sebab pokok kepercayaannya pun sudah rusak. Mereka meyakini adanya ‘tuhan baik’ dan ‘tuhan jahat’ yang saling berpolemik, dan polemik kedua ‘jenis tuhan’ inilah yang membuat hidup manusia penuh dinamika.

Jauh dari gangguan kekuatan militer negara lain, penduduk jazirah Arab praktis terisolasi di negerinya sendiri, meskipun hal itu tidak menghalangi mereka untuk mengadakan perjalanan-perjalanan dagang ke negeri-negeri lain. Mereka mengembangkan gaya hidupnya sendiri, yang adakalanya terlihat kontradiktif. Mereka gemar sastra, tapi juga gampang berperang. Mereka berharga diri tinggi, tapi kadang-kadang berperilaku rendah. Mereka menikahi perempuan-perempuan, tapi kesal jika istrinya melahirkan anak perempuan.

Pada masa itu, orang banyak minum khamr. Di seluruh dunia, tujuan minum khamr tidak berbeda; sekedar pelarian dari masalah. Efeknya pun sama, yaitu mabuk, dan kebejatan-kebejatan lainnya akan menyusul. Meskipun khamr yang mereka tenggak tidak selevel dengan anggur di cawan-cawan para kaisar Romawi, namun kesenangan sesaat yang mereka nikmati tidak jauh berbeda.

Sementara Jazirah Arab relatif aman dari serangan luar, pada saat yang bersamaan justru masyarakatnya sendirilah yang saling berperang. Fanatisme kabilah menjadi corak hidup mereka. Ada persinggungan sedikit saja bisa menimbulkan perang, dan kalau perang sudah dimulai, ia bisa bertahan selama beberapa tahun, bahkan ada yang sampai puluhan tahun lamanya. Pada saat itulah kaum penyair bekerja. Bukan untuk menggugah hati kecil atau melembutkan perasaan orang, melainkan justru untuk semakin mengobarkan semangat fanatik anggota kabilahnya masing-masing.

Jika para bangsawan Romawi melakukan berbagai penyimpangan seks untuk kesenangan, maka di Jazirah Arab seks menjadi komoditi yang diperdagangkan. Pelacuran menjadi hal umum yang disikapi secara ambigu: dibenci tapi tetap dicari. Jika ada pelacur yang hamil dan melahirkan, maka ia kumpulkan semua pelanggannya dan ia pilih salah satu untuk menjadi ayah bagi anaknya. Ada juga yang melakukan penyimpangan dalam institusi pernikahan, misalnya seorang lelaki menyuruh istrinya bergaul dengan lelaki lain agar mendapat anak darinya, karena lelaki itu dipandang sebagai orang baik yang akan menghasilkan ‘bibit unggul’.

Kerusakan terparah dimulai dari penyimpangan agama dan mencapai klimaksnya juga pada penyimpangan agama. Sejak mereka mulai menyimpang dari agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam, cara hidup mereka pun semakin jauh dari kewajaran. Tersebutlah ‘Amr ibn Luhayy, seorang tokoh dari Bani Khuza’ah, yang merupakan orang pertama yang mengajarkan penyembahan berhala kepada masyarakat Arab. Kebiasaan menyembah berhala ini ditirunya dari penduduk Syam, dan dengan segera menjadi tren di Hijaz. Tadinya ada satu berhala, kemudian dua, tiga, hingga akhirnya setiap kabilah dan setiap rumah pasti memiliki berhala. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan Mekkah, di sekitar Ka’bah ada tiga ratus enam puluh berhala.

Tentu saja berhala-berhala itu tidak berdiri sendiri. Mereka pun membangun berbagai mitos, takhayul dan tradisi di sekelilingnya. Maka masyarakat Arab pun sibuk mendatangi berhala untuk memohonkan ini dan itu. Mereka datang ke Ka’bah dan ber-thawaf di sekeliling berhala-berhala yang ada di sana, dan juga menyajikan berbagai hewan yang dikorbankan atas nama berhala itu. Mereka ciptakan sistem yang sangat rumit untuk menentukan unta mana yang boleh disembelih dan mana yang tidak, yang boleh diambil susunya dan yang tidak. Untuk membuat berbagai keputusan mereka mendatangi para ahli nujum yang meramal berdasarkan posisi bintang atau mengundi dengan anak panah dan berbagai metode lainnya.

Kepada masyarakat yang kejahilannya begitu ‘komprehensif dan sistemik’ inilah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menyeru manusia agar kembali kepada ajaran Tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam, hanya sayangnya sudah banyak yang lupa dengan ajaran sejati itu lantaran kejahilan yang sudah menghegemoni puluhan generasi. Beliau suka minum susu sementara yang lain gemar minum khamr. Beliau bersikap baik pada istri-istrinya, mencintai anak-anak perempuannya dan menciumi anak-anaknya, sementara orang lain kasar kepada istri, membunuh anak-anak perempuan dan tidak sudi mencium anak sendiri. Beliau bermunajat di sekeliling Ka’bah, sementara kaum musyrikin ber-thawaf sambil bertelanjang bulat di tempat itu. Beliau menyeru manusia untuk berbuat baik kepada sesama, sementara yang lain sibuk saling berperang. Nyaris dari segi mana pun kita memandangnya, beliau memang ‘orang asing’ di jamannya itu.

Tapi angin segar yang tiba-tiba berhembus di siang bolong pastilah membawa pengharapan. ‘Keasingan’ pribadi dan ajaran beliau itulah yang menarik hati banyak orang. Manusia adalah manusia, sejak manusia pertama hingga manusia terakhir kelak. Fithrah-nya tidak berubah dari masa ke masa. Ketika mereka melanggar fithrah-nya sendiri, meskipun hal itu memuaskan hawa nafsunya barang sesaat, tapi pada hakikatnya mereka tengah melukai dirinya sendiri.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah pribadi yang begitu mencolok. Kehadirannya mengguncangkan semua pemikiran sesat yang berkembang di tengah-tengah kaumnya. Banyak hal yang baru mereka sadari kembali setelah menyaksikan sendiri pribadi beliau: ternyata pemberani tak perlu kasar, ternyata anak perempuan tak perlu dibenci, ternyata hidup tak butuh khamr, ternyata nasib tak perlu diundi, ternyata doa tak perlu perantara, ternyata manusia tak butuh berhala, dan ‘ternyata-ternyata’ lainnya.

Kehadiran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membuat orang sadar bahwa sejatinya mereka sudah capek dengan kejahilannya sendiri. Mereka sudah lelah berbunuh-bunuhan hanya karena persoalan sepele yang tidak lebih penting daripada sepakbola antarkampung di jaman sekarang. Mereka sudah jenuh dengan keluarga yang seolah tanpa makna tanpa kehadiran cinta yang benar-benar sejuk di dalamnya. Mereka sudah jenuh melayani berhala-berhala yang ‘banyak tuntutan’ dan ‘banyak maunya’. Mereka sudah kenyang dengan hidup yang ditentukan oleh posisi bintang dan ditebak-tebak dengan undian. Mereka sudah muak dengan segala kejahilan yang tak pernah ada penjelasannya itu.

Di negeri-negeri yang dipenuhi perasaan jenuh dan orang muak semacam itulah dakwah Islam justru panen besar, meski penuh perjuangan. Di Timur Tengah kini, ideologi sekuler sudah tidak laku lagi. Rakyat bangkit melawan penguasa tiran yang selalu membawa-bawa nama Islam tapi tak pernah melaksanakannya. Satu persatu diktator dijatuhkan dan bunga-bunga dakwah dan tarbiyah bermekaran di sana-sini.

Di Eropa dan Amerika, Islam berkembang tanpa ada yang bisa mencegahnya. Runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) yang direkayasa untuk melemahkan umat Islam justru membuat masyarakat Barat semakin tertarik mencari tahu segala sesuatunya tentang Islam. Naik darahnya Geert Wilders dan sikap ngotot media massa Eropa untuk menampilkan karikatur yang menghina Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam malah membuat masyarakat Eropa semakin terbuka menyambut Islam.

Di negeri-negeri yang sudah jenuh dengan penyimpangan itu, masjid-masjid membuka pintunya dan mengadakan kursus-kursus pengenalan Islam. Orang-orang duduk bersama dan mendiskusikan ajaran Islam. Satu persatu luluh hatinya; sebagian memutuskan untuk memeluk agama Islam, sebagian lainnya semakin toleran dengan Islam. Di tempat lain, dakwah dilakukan dengan cara yang teramat sederhana. Mereka membagi-bagikan mushhaf kepada siapa pun yang lewat. Ada saja yang langsung membuangnya ke tempat sampah atau marah-marah tanpa sebab, tapi kenyataannya banyak juga yang membawanya pulang dan membacanya baik-baik, sebelum hatinya menyerah di hadapan pesona Islam.

Di negeri-negeri yang penuh dengan perasaan jenuh dan orang-orang muak, Islam memang merupakan ‘barang asing’. Islam hadir dan menentang semua pola pikir dan cara hidup jahiliyah manusia. Kehadiran Islam di tengah-tengah masyarakat seperti ini sudah barang tentu akan membuat banyak orang mempertanyakan. Tapi dakwah Islam justru bersemi dalam kondisi yang demikian. Ketika orang sudah mulai bertanya-tanya, maka datanglah Islam untuk memberikan jawaban dari segala kejenuhan mereka.