Jika Hanya Disebut Kata Bid’ah

Istilah bid’ah dalam konsep ulama Syafi’iyyah adalah sebagai berikut, dimana maksudnya adalah makna bid’ah secara syar’i.

1. Ali bin Abdul Kafi As-Subki:

فَالْبِدْعَةُ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ لَفْظٌ مَوْضُوعٌ فِي الشَّرْعِ لِلْحَادِثِ الْمَذْمُومِ لَا يَجُوزُ إطْلَاقُهُ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ، وَإِذَا قُيِّدَتْ الْبِدْعَةُ بِالْمُسْتَحَبَّةِ وَنَحْوِهِ فَيَجُوزُ، وَيَكُونُ ذَلِكَ لِلْقَرِينَةِ، وَيَكُونُ مَجَازًا شَرْعِيًّا حَقِيقَةً لُغَوِيَّةً.

Bid’ah itu bila disebutkan secara mutlak (tanpa sandaran kata lain) adalah kata yang ditetapkan dalam syara’ untuk sesuatu yang DIKECAM dan tidak boleh disebut secara ithlaq untuk makna selain itu. Apabila kata bid’ah ini disandarkan dengan kata mustahab (yang disunnahkan) atau semisalnya maka itu juga boleh tapi harus dengan qarinah (pertanda) dan itu berarti majaz menurut istilah syara’ tapi hakikat menurut istilah bahasa. (Fatawa As-Subki 2/108).

2. Ibnu Hajar Al-Haitami:

فَإِن الْبِدْعَة الشَّرْعِيَّة ضَلَالَة كَمَا قَالَ – صلى الله عليه وسلم – وَمن قسمهَا من الْعلمَاء إِلَى حسن وَغير حسن فَإِنَّمَا قسم الْبِدْعَة اللُّغَوِيَّة وَمن قَالَ كل بِدعَة ضَلَالَة فَمَعْنَاه الْبِدْعَة الشَّرْعِيَّة أَلا ترى أَن الصَّحَابَة رَضِي الله عَنْهُم وَالتَّابِعِينَ لَهُم بِإِحْسَان أَنْكَرُوا غير الصَّلَوَات الْخمس كالعيدين وَإِن لم يكن فِيهِ نهي وكرهوا استلام الرُّكْنَيْنِ الشاميين وَالصَّلَاة عقيب السَّعْي بَين الصَّفَا والمروة قِيَاسا على الطّواف وَكَذَا مَا تَركه – صلى الله عليه وسلم – مَعَ قيام الْمُقْتَضى فَيكون تَركه سنة وَفعله بِدعَة مذمومة. وَخرج بقولنَا مَعَ قيام الْمُقْتَضى فِي حَيَاته تَركه إِخْرَاج الْيَهُود من جَزِيرَة الْعَرَب وَجمع الْمُصحف وَمَا تَركه لوُجُود الْمَانِع كالاجتماع للتراويح فَإِن الْمُقْتَضى التَّام يدْخل فِيهِ الْمَانِع

Karena bid’ah secara syar’i adalah kesesatan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun para ulama yang membaginya menjadi bid’ah yang baik dan bid’ah tidak baik maka maksudnya adalah bid’ah secara bahasa. Yang mengatakan setiap bid’ah adalah sesat maksudnya adalah bid’ah menurut istilah syara’. Tidakkah anda perhatikan bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan kebaikan mengingkari adanya (…..) untuk selain shalat yang lima waktu seperti dua hari raya, meski itu tidak ada larangannya.

Mereka juga tidak suka menyentuh kedua rukun (tiang Ka’bah) yang di arah Syam serta shalat setelah sa’i antara Shafa dan Marwah yang dikiaskan dengan thawaf.

Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan itu padahal ada kesempatan dan kemungkinan untuk melakukannya maka berarti meninggalkannya adalah sunnah dan melakukannya adalah bid’ah.

Perkataan kami “adanya peluang dan kebutuhan” semasa hidup beliau berarti tidak termasuk perbuatan beliau yang tidak mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari jazirah arab serta mengumpulkan mushaf karena itu beliau tidak lakukan lantaran adanya penghalang untuk melakukan itu. Sama dengan ketika beliau tidak mengumpulkan jamaah untuk shalat tarawih, karena keperluan utuh untuk itu dicampuri oleh faktor penghalang. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah hal. 200).

3. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fath Al Bari:

وأما ” البِدَع ” : فهو جمع بدعة،وهي كل شيء ليس له مثال تقدّم، فيشمل لغةً ما يُحْمد، ويذمّ، ويختص في عُرفِ أهلالشرع بما يُذمّ، وإن وردت في المحمود : فعلى معناها اللغوي

“Adapun kata al bida’ adalah jamak “bid’ah” yaitu semua yg tidak ada contoh terdahulu. Secara bahasa mencakup yg terpuji dan juga yg tercela, tapi dalam terminologi syar’i dikhususukan untuk yg tercela saja. Kalaupun disebut dalam hal yg terpuji berarti itu bid’ah dalam makna bahasa.” (Fath Al Bari 13/340).