Jodoh!

Kisah ini ditulis berdasarkan kisah nyata…

Perawan dan bujang saling cinta setengah mati. Ayahnya si perawan adalah haji yang jurangan tani. Sawahnya luas, orang-orang bekerja padanya sebagai buruh tani. Ia juga punya penggilingan padi. Ayah si bujang juga petani, tapi petani biasa saja dengan lahan tak luas yang hanya dikelolanya sendiri.

Bukan! Ini bukan kisah kasih tak sampai karena perbedaan status sosial, jika Anda menduga ceritanya akan begitu. Justru orang tua si perawan menyuruh mereka menikah segera. Sawah dan tanah sudah disiapkan untuk kehidupan mereka nantinya. Kedua orang tua mereka sama-sama setuju.

Cerita bermula dari keinginan si bujang untuk menuntut ilmu di kota. Sebuah keinginan yang tidak didukung baik oleh ayahnya sendiri maupun oleh ayah si gadis perawan. Keinginan ini juga dianggap tak biasa untuk ukuran orang di kampung itu. Tapi bujang bersikukuh dengan tekadnya.

Dia yakin si perawan adalah jodohnya. Ia yakin, perjalanan cinta mereka tak akan tergoyah hanya dengan halangan sebegini. Tapi ia juga tak tega membiarkan gadis pujaannya menungguinya sekian lama. Maka ia punya siasat.

Si bujang bilang ke si perawan bahwa ia akan pergi ke kota, mencari kerja sambil kuliah, mengumpulkan uang kemudian ia akan segera menikahinya. Ia bilang akan membawanya serta hidup di kota berdua saja. Jadi si gadis tidak perlu menunggunya lulus kuliah. Dengan sesegukan si gadis itu meminta si bujang benar-benar berjanji dengan kata-katanya.

Waktu berganti waktu si gadis perawan sabar menunggu. Akan tetapi semua rencana ternyata tak semudah kelihatannya. Si bujang malah hidup sengsara di kota. Tak ada keberanian dalam dirinya untuk mendatangi orang tua gadis pujaan hatinya itu. Mungkin tahun depan, pikirnya. Si gadis perawan tetap bersabar menunggu si bujang datang.

Ketika tahun berganti, ibu si gadis mulai cerita. Katanya kupingnya panas saat orang-orang kampung mengata-ngatai anak gadisnya itu yang tak jua menikah. Untuk ukuran kampung itu, anak gadis yang hampir berkepala dua tak lazim masih melajang juga. Ada juga cerita bahwa si bujang terpikat gadis kota.

Awalnya si gadis menepis dan tetap sabar menanti. Tapi karena desakan bertubi-tubi si gadis perawan itu akhirnya goyah juga. Dengan hatinya yang remuk akhirnya dia dinikahkan dengan pemuda lain dari kampung sebelah. Anak juragan kelapa yang kata ibunya adalah pemuda yang baik.

Hampir mati si bujang saat dapat kabar ini. Tak lama, ia jatuh sakit. Sakit parah. Tapi ia menolak dijemput pulang saat ayahnya, yang tahu belakangan akan sakitnya itu, datang untuk membawanya pulang. Ia sakit dan ia di perantauan. Begitulah kisah mereka.

Kini, hampir 25 tahun kemudian, si bujang yang tak lagi bujang dan si perawan yang tak lagi perawan akhirnya jumpa suatu ketika. Dia ternyata sudah menjanda, bercerai dengan suaminya. Ada tiga anaknya. Adapun si bujang, kini dia adalah duda yang nelangsa.

Ini cerita si bujang: Setelah ditinggal kawin kekasihnya, dia hampir-hampir memutuskan tak akan pernah menikah sampai hayat kehabisan usia. Di usia hampir berkapala empat, barulah luluh juga. Ia menikahi gadis kota yang hampir berkepala tiga. Terpaut jauh dengan usianya yang hampir berkepala empat. Tapi baru setahun berumah tangga, istrinya meninggal. Mereka belum sempat punya anak seorang pun. Setelah itu dia tak kawin lagi.

Kini saat janda & duda itu bertemu, usia mereka masing-masing mendekati setengah abad. Tapi usia tak jadi penghalang untuk bersatunya cinta lama mereka. Mereka pun berjodoh. Menikah di waktu yang menjelang senja. Barakallahu lakuma.

Happy ending khan? 🙂

Ustadz Abdurrahman Ibnu Zaini