Kalau Syiah Sesat, Mengapa Boleh Masuk Tanah Suci?

Ilustrasi: Presiden Syiah Iran Ahmadinejad Melempar Jumrah Saat Menunaikan Haji 2007

Bismillahir rahmaanir rahiim.

Bertahun-tahun silam pernah diadakan diskusi antara seorang Ustadz dari PP Persis Bandung dengan Jalaluddin Rahmat (tokoh Syiah asal Bandung). Dalam makalahnya, Ustadz Persis itu tanpa tedeng aling-aling membuat kajian berjudul, “Syiah Bukan Bagian dari Islam”.

Ketika sessi dialog berlangsung, Ustadz Persis itu -dengan pertolongan Allah- mampu mematahkan argumen-argumen Jalaluddin Rahmat. Kejadiannya mirip, ketika dilakukan diskusi di Malang antara Jalaluddin Rahmat dengan Ustadz-ustadz Persis Bangil; ketika merespon lahirnya buku Islam Aktual, karya Jalaluddin Rahmat.

Ada satu momen penting menjelang akhir diskusi di Bandung itu. Saat itu Jalaluddin mengatakan, “Kalau memang Syiah dianggap sesat dan bukan bagian dari Islam, mengapa Pemerintah Saudi masih memperbolehkan kaum Syiah menunaikan Haji ke Tanah Suci?

Nah, atas pernyataan ini, tidak ada tanggapan serius dari para Ustadz di atas.

Dan ternyata, kata-kata serupa itu dipakai oleh Prof. Dr. Umar Shibah, tokoh Syiah yang menyusup ke lembaga MUI Pusat. Ketika kaum Syiah terdesak, dia mengemukakan kalimat pembelaan yang sama. “Kalau Syiah dianggap sesat, mengapa mereka masih boleh berhaji ke Tanah Suci?”

Lalu, bagaimana kalau pertanyaan di atas disampaikan kepada Anda-Anda semua wahai, kaum Muslimin? Apa jawaban Anda? Apakah Anda akan memberikan jawaban yang tepat, atau memilih menghindar?

Sekedar catatan, konon dalam sebuah diskusi antara Jalaluddin Rahmat dengan Ustadz M. Thalib (sekarang Amir MMI). Saat disana ada kebuntuan argumentasi, katanya Ustadz M. Thalib menantang Jalaluddin melakukan “diskusi secara fisik” di luar. Ya, ini sekedar catatan, agar kita selalu mempersiapkan diri dengan argumen-argumen yang handal sebelum “bersilat” pemahaman dengan orang beda akidah.

Mengapa kaum Syiah masih boleh masuk ke Tanah Suci, baik Makkah Al Mukarramah maupun Madinah Al Munawwarah?

Mari kita jawab pertanyaan ini:

Pertama, sebaik-baik jawaban ialah Wallahu a’lam. Hanya Allah yang Tahu sebenar-benar alasan di balik kebijakan Pemerintah Saudi memberikan tempat bagi kaum Syiah untuk ziarah ke Makkah dan Madinah.

Kedua, dalam sekte Syiah terdapat banyak golongan-golongan. Di antara mereka ada yang lebih dekat ke golongan Ahlus Sunnah (yaitu Syiah Zaidiyyah), ada yang moderat kesesatannya, dan ada yang ekstrim (seperti Imamiyyah dan Ismailiyyah). Terhadap kaum Syiah ekstrim ini, rata-rata para ulama tidak mengakui keislaman mereka. Nah, dalam praktiknya, tidak mudah membedakan kelompok-kelompok tadi.

Ketiga, usia sekte Syiah sudah sangat tua. Hampir setua usia sejarah Islam itu sendiri. Tentu cara menghadapi sekte seperti ini berbeda dengan cara menghadapi Ahmadiyyah, aliran Lia Eden, dll. yang termasuk sekte-sekte baru. Bahkan Syiah sudah mempunyai sejarah sendiri, sebelum kekuasaan negeri Saudi dikuasai Dinasti Saud yang berpaham Salafiyyah. Jauh-jauh hari sebelum Dinasti Ibnu Saud berdiri, kaum Syiah sudah masuk Makkah-Madinah. Ibnu Hajar Al Haitsami penyusun kitab As Shawaiq Al Muhriqah, beliau menulis kitab itu dalam rangka memperingatkan bahaya sekte Syiah yang di masanya banyak muncul di Kota Makkah. Padahal kitab ini termasuk kitab turats klasik, sudah ada jauh sebelum era Dinasti Saud.

Keempat, kalau melihat identitas kaum Syiah yang datang ke Makkah atau Madinah, ya rata-rata tertulis “agama Islam”. Negara Iran saja mengklaim sebagai Jumhuriyyah Al Islamiyyah (Republik Islam). Revolusi mereka disebut Revolusi Islam (Al Tsaurah Al Islamiyyah). Data seperti ini tentu sangat menyulitkan untuk memastikan jenis sekte mereka. Lha wong, semuanya disebut “Islam” atau “Muslim”.

Kelima, kebanyakan kaum Syiah yang datang ke Makkah atau Madinah, mereka orang awam. Artinya, kesyiahan mereka umumnya hanya ikut-ikutan, karena tradisi, atau karena desakan lingkungan. Orang seperti ini berbeda dengan tokoh-tokoh Syiah ekstrem yang memang sudah dianggap murtad dari jalan Islam. Tanda kalau mereka orang awam yaitu kemauan mereka untuk datang ke Tanah Suci Makkah-Madinah itu sendiri. Kalau mereka Syiah ekstrim, tak akan mau datang ke Tanah Suci Ahlus Sunnah. Mereka sudah punya “tanah suci” sendiri yaitu: Karbala’, Najaf, dan Qum. Perlakuan terhadap kaum Syiah awam tentu harus berbeda dengan perlakuan kepada kalangan ekstrim mereka.

Keenam, orang-orang Syiah yang datang ke Tanah Suci Makkah-Madinah sangat diharapkan akan mengambil banyak-banyak pelajaran dari kehidupan kaum Muslimin di Makkah-Madinah. Bila mereka tertarik, terkesan, atau bahkan terpikat; mudah-mudahan mau bertaubat dari agamanya, dan kembali ke jalan lurus, agama Islam Ahlus Sunnah.

Ketujuh, hadirnya ribuan kaum Syiah di Tanah Suci Makkah-Madinah, hal tersebut adalah BUKTI BESAR betapa ajaran Islam (Ahlus Sunnah) sesuai dengan fitrah manusia. Meskipun para ulama dan kaum penyesat Syiah sudah bekerja keras sejak ribuan tahun lalu, untuk membuat-buat agama baru yang berbeda dengan ajaran Islam Ahlus Sunnah; tetap saja fitrah mereka tidak bisa dipungkiri, bahwa hati-hati mereka terikat dengan Tanah Suci kaum Muslimin (Makkah-Madinah), bukan Karbala, Najaf, dan Qum.

Kedelapan, kaum Syiah di negerinya sangat biasa memuja kubur, menyembah kubur, tawaf mengelilingi kuburan, meminta tolong kepada ahli kubur, berkorban untuk penghuni kubur, dll. Kalau mereka datang ke Makkah-Madinah, maka praktik “ibadah kubur” itu tidak ada disana. Harapannya, mereka bisa belajar untuk meninggalkan ibadah kubur, kalau nanti mereka sudah kembali ke negerinya. Insya Allah.

Kesembilan, pertanyaan di atas sebenarnya lebih layak diajukan ke kaum Syiah sendiri, bukan ke Ahlus Sunnah. Mestinya kaum Syiah jangan bertanya, “Mengapa orang Syiah masih boleh ke Makkah-Madinah?” Mestinya pertanyaan ini diubah dan diajukan ke diri mereka sendiri, “Kalau Anda benar-benar Syiah, mengapa masih datang ke Makkah dan Madinah? Bukankah Anda sudah mempunyai ‘kota suci’ sendiri?”

Demikian sebagian jawaban yang bisa diberikan. Semoga bermanfaat. Pesan spesial dari saya, kalau nanti Prof. Dr. Umar Shihab, atau Prof. Dr. Quraish Shihab (dua tokoh ini saudara kandung, kakak-beradik; bersaudara juga dengan Alwi Shihab, Mantan Menlu di era Abdurrahman Wahid), beralasan dengan alasan tersebut di atas; mohon ada yang meluruskannya. Supaya beliau tidak banyak membuang-buang kalam, tanpa guna.

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Abahnya Syakir