Kalaulah Bukan Karena Kesabaran, Da’wah Tak Pernah Ada

Ada banyak pilihan lahan da’wah yang diwarkan kepada kita. Sebagian manusia memilih terjun di lahan da’wah media, da’wah pendidikan, da’wah di lahan bisnis, dan masih banyak pilihan lain. Semua lahan itu menyediakan laboratorium untuk berbagai pengujian. Salah satu ‘preparat’ yang terpenting  untuk diuji adalah kesabaran.

Apa itu kesabaran? Kesabaran berasal dari kata dasar ‘sabar’, yang diambil dari bahasa Arab “shabara“, atau masdarnya “shabran“. Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah.

Allah berfirman tentang makna sabar:

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al Kahfi : 28)

Ayat ini mengandung perintah untuk bersabar, yaitu menahan diri dari keingingan ‘keluar’ dari komunitas orang-orang yang menyeru Rabb-nya serta selalu mengharap keridhaan-Nya. Perintah sabar ini juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah.

Secara istilah, sabar adalah menahan diri dari sifat kegeundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.

“Sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang, kata Amru bin Utsman.  “Sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan Al Qur’an dan sunnah”, kata Imam Al Khawas.  Tidak ada indikasi bahwa sabar  berarti  kepasrahan dan ketidakberdayaan. Sabar adalah kebalikan dari sifat kemalasan untuk berusaha, keengganan untuk berjuang dan membiarkan semuanya terjadi.

Bagaimana seharusnya kita bersabar dalam da’wah?

Mari kita teladani apa yang terjadi pada sang teladan kita. Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan senjata (perang), membunuh atau dibunuh, menawan atau ditawan. Sabar dalam hal ini berarti mengesampingkan keiinginan  dirinya yang mendambakan rasa nyaman, santai, dipuji, dihargai, dihormati, dan lain sebagainya. Sabar juga berarti keteguhan untuk menghadapi lawan, serta tidak lari dari medan juang. Orang yang lari dari medan peperangan karena takut, adalah salah satu indikasi tidak sabar. Orang yang ingin segera mendapat imbalan dan ‘oleh-oleh’ peperangan alias ghanimah, juga dikatakan tidak sabar.

Tetapi yang kita lakukan tidak seberat Rasulullah dan para sahabat. Kita hanya aberda’wah sesuai kemampuan, dari cara paling mudah dan sederhana. Kita hanya perlu menandai titik-titik kerawanan kita untuk menyadari keharusan bersabar.

Pertama, ketika dukungan terasa melemah. Da’wah kolektif menghendaki sinergi yang baik antar sesame da’i. Perasaan melemahnya dukungan lebih sering terjadi dari dalam diri sendiri, karena dari awal terlalu berharap rekan da’inya menjadi pendukung. Komitmen untuk saling sinergi itu memang penting, tetapi jangan sampai menjadikan seorang da’i bergantung kepada rekannya sesama da’i. Kita harus bersabar pada jalur, sambil mencoba memahami  apa yang terjadi pada mitra da’wah sehingga dukungan darinya terasa melemah.

Kedua, ketika hasil belum tampak seperti yang diharapkan. Tetntu saja yang paling tahu kapan hasil upaya da’wah harus ditampakkan hanyalah Allah yang Maha Tahu. Di suatu tempat, pemuda dengan mudahnya dibina menjadi pejuang risalah. Di sebuah masjid, dalam hitungan bulan ibu-ibu begitu mudah membentuk majelis taklim dan terjadi perubahan kepriadian yang lebih baik. Di sebuah kampus, aratusan mahasiswa dengan mudah dirahkan menjadi da’i-da’i kampus. Tetapi di tempat dan sasaran yang berbeda,  mungkin belasan tahun  tidak juga tampak adanya perubahan yang lebih baik, aatau sangat lambat perbaikannya. Ini semua adalah bagian dari ujian agar kita tak tergesa-gesa meninggalkannya. Kita harus menahan kalimat “mereka tak mau berubah”.

Ketiga, ketika sambutan terasa dingin. Salah satu penyakit hati manusia adalah menginginkan sambutan baik (apresiasi) ketika berbuat kebaikan. Ketika anda menuliskan  berlembar-lembar ide kemudian menyodorkannya kepada da’i senior atau orang yang anda percayai dan ingin mendapat dukungan darinya, boleh jadi orang itu hanya memasang muka datar, bahkan sinis. Tetapi anda tiak tahu apa yang ada dalam hatinya. Mungkin sang senior hanya menguji kesabaran anda dalam berjuang, dan menjaga agar anda terhindar dari sifat ingin dipuji. Aatau, cara kita menyampaikannya memang kurang simpatik.  Sambutan yang dingin selalu ada sepanjang perjalanan da’wah, dan kita hanya perlu bersabar.

Keempat, ketika visi hidup harus diperbaiki. Setiap da’i adalah manusia. Setiap manusia aakan mengalami perkembangan, dinamika kehidupan yang akan menguatkan jati dirinya. Para da’i di kampus akan mengalamia perbaikan visi ketika harus lulus. Kesabaran kita perlukan di saat genting ini agar kita tidak melemahkan da’wah hanya karena alasan ‘fokus meniti karir’. Para da’i lajang/abujangan akan mengalami perbaikan  visi ketika harus menikah. Banyak godaan menerpa di menit-menit visi perbaikan visi ini. Kesabaran kita perlukan agar tidak sampai mengurangi parsi da’wah lalu mengatakan “fokus ke da’wah keluarga”.

Kelima, saat kepercayaan ummat justru menguat. Kepercayaan ummat membuat kita semakin sibuk dan harus menambah beban. Amanah yang lebih berat tidak pernah kita cari, tetapi ketika ia datang kita tidak dapat menolaknya. Kita tidak boleh kecewa dengan kawan seperjuangan yang berpamitan karena ia menjadi ketua yayasan tertentu, menjadi wakil rakyat, menjabat jabatan tertentu, dan sebagainya. Kesabaran kita butuhkan untuk menghindari berburuk sangka terhadap sahabat juang yang menjauhi kita.

Masih banyak titik-titik rawan lain. Kita harus lurus berjalan, terus mencermati karakter jalan dan rambu-rambu keharusan untuk bersabar. Jangan mundur karena akan ditabrak oleh yang ada di belakang. Jangan terlalu menepi karena akan masuk jaurang. Dan jangan tergesa ngebut karena boleh jadi jalan berikutnya akan bergelombang.

Para da’i sekalian yang budiman.

Da’i-da’i besar pejuang Islam merasakan nikmatnya ujian demi ujian karena memiliki kesabaran.

Imam Abu Hanifah dijebloskan dalam penjara gara-gara berda’wah dan mengatakan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil. Imam Malik dipukuli sampai kedua tulang belikat beliau hampir lepas karena kerasnya pukulan, hanya karena meluruskan pemahaman Islam. Imam Syafi’i, dimasukkan bui dan mau dibunuh oleh raja pada saat itu karena membela kebenaran. Imam Ahmad bin Hanbal, yang pada zamannya ada fitnah dari kaum Mu’tazilah bahwa Al Qur’an adalah makhluk Allah. Akhirnya, beliau menyatakan bahwa Al Qur’an adalah wahyu Allah bukan makhluk. Dari pernyataannya yang tegas itu, beliau dimasukkan bui dan dicambuk beberapa kali, hingga sebagian algojo yang menyiksa beliau membuat kesaksian dengan mengatakan, bahwa Imam Ahmad dicambuk sebanyak delapan puluh kali, jikalau gajah dicambuk seperti itu maka akan mati terkapar. Maka beliau terkenal dengan sebutan Imam As Sunnah, karena membela sunnah Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam dan Al Haq.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya yang terkenal yaitu Syaikhul Islam Ats Tsani Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, karena berda’wah dan membela kebenaran, beliau rela masuk penjara, tak sempat menikah hingga meninggal dalam penjara. Ibnul Qayyim rela diikat badannya lalu diarak keliling kampung dan diludahi masyarakat, namun beliau tetap tegar dalam berda’wah sampai akhir hayatnya.

Kita, mungkin hanya dicuekin sebentar oleh sahabat juang, hanya ditinggal oleh teman dan diganti yang kurang senior, hanya diolok-olok masyarakat awam, hanya diplototin birokrat ketika mengajukan proposal,  ahanya dililit oleh masalah financial, hanya disaingi oleh misionaris, hanya diancam peserta pawai lawan politik, atau hanya-hanya yang lain.

Untuk pribadi yang sekuat Anda, pastilah kesabaran itu dapat mengalahkannya!