Karena Cinta adalah Sejiwa

“Sekali-kali tidak akan tersusul; Inna ma’ana Rabbuna, sesungguhnya Rabbku besertaku, Dia akan mememberi petunjuk kepadaku.”  [1]

Jawaban yang terlontar dari lisan Musa, menjawab rengekan kaumnya, Bani Israil. Allah abadikan dialog musa terhadap kaumnya ini dalam surah Asy Syu’ara ayat ke enampuluh dua. Apa sebab? Kisah tentang pelarian Musa dan Bani Israil dari kejaran Fir’aun dan bla tentaranya yang zhalim. Yang kemudian Allah selamatkan dengan mukjizat terbelahnya laut merah. Sehingga Nabi Musa dan Bani israil bisa melaluinya[2]. Dan Allah menyelamatkan mereka dari kejaran firaun dan bala tentaranya yang kemudian Allah tengelamkan mereka di laut merah[3].

Agak menarik untuk kita cermati, diksi yang dipilih Musa ini. Mari kita bandingkan dengan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.  Mereka berdua sama-sama Nabi Allah. Sama-sama dalam kondisi pelik dalam kejaran tiran musuh dakwah.  Rasulullah ketika harus tertahan di gua tsur, berlindung dari kejaran  bala tentara musuh. Musa diburu bala tentara firaun. Muhammad dikejar pasukan musyrikin Quraisy. Namun diksi yang dipilih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, ketika Abu Bakar menangis cemas takut mereka berdua tertangkap. “Laa Tahzan !! Allahu ma’ana, Janganlah bersedih Allah bersama kita[4] Sabda Baginda Nabi, yang kemudian Allah merekam dan mendokumentasikan dialog agung nan menyejarah ini dalah surah At Taubah ayat ke empat puluh.

Mari kita cermati, Musa mengatakan “Inna ma’ana Rabbuna, sesungguhnya Rabbku besertaku, Dia akan mememberi petunjuk kepadaku” ketika Bani Israil cemas takut akan kejaran sang Tiran dan bala tentaranya.  Karena memang Musa dan  Bani Israil tidak pernah sejiwa. Musa diutus kepada kaum yang bebalnya luar biasa. Jahil Murakkab.  Keimanan mereka kepada Musa dan Rabbnya, sulit diharapkan. Mereka tidak memiliki gelombang frekuensi yang sama dalam keimanan. Baru saja Allah selamatkan mereka dari kejaran Sang Tiran. Baru saja mukzijat, Allah tunjukan. Diseberangkan mereka di laut merah. Ditenggelamkannya sang Tiran di laut merah. Di depan mata. Sekelebat saja mereka lupa,  mereka sudah merengek pada Musa, “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai  beberapa tuhan (berhala)[5]

Tapi berbeda dengan Abu Bakar, Ia adalah  shahabat yang telah berada dalam frekuensi iman yang sama dengan Rasulullah. Ia bergelar Ash Shidiq. Senantiasa benar dan membenarkan. Apa yang datang dari Rasulullah, langsung ia percaya. Ia pun termasuk Asabiqunal awwalun, yang berislam pertama kali. Turut dalam halaqah di rumah Arqam bin Abi Al Arqam. Dan satu dari 10 orang yang terjaminkan surga.

Ya, dalam cinta ada perasaan yang tak boleh terlupakan. Perasaan sejiwa. Berada di jalur yang sama. Tujuan yang sama. Berada pada gelombang frekuensi yang sama. Cinta butuh itu.  Perasaan sejiwa. Yang menjadikan seolah satu tubuh. Seperti yang disabdakan Beliau dalam sebuah hadits, “Mukmin itu bagikan satu tubuh, bila satu bagian terluka maka bagian lain ikut merasakannya.”

Sama seperti Abu Bakar ketika di gua tsur. Ketakutan yang dihadapinya adalah kecemasan atas keselamatan jiwa Rasulullah. Perasaan sejiwa akan mendatangkan ghirah, rasa cemburu. Ketidakrelaan apabila yang dicintainya mendapat perlakuan buruk. Maka perasaan sejiwa inilah yang mendorong seseorang berperilaku bertindak membela yang dicintainya. Seolah seperti telah dikomando!  Untuk memberikan pembelaan kepada yang dicintainya. Karena yng dicintai adalah bagian dari dirinya.

Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibariskan. Yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang saling tidak mengenal diantara mereka pasti akan saling bebeda dan berpisah(HR. Bukhari)

Maka perasaan sejiwa ini haruslah dihidupkan untuk pertama kali sebelum yang lain. Perasaan sejiwa akan muncul dari sebuah kesaman visi dan tujuan. Perasaan sejiwa ini akan membuat nyaman ketika menapaki perjalanan. Ia akan menemukan kesamaan ritme gerakan. Kapan harus bergerak cepat dan kapan harus melambat. Kapan beristirahat dan kapan bersiap berangkat.

Sejiwa Berawal dari Setara

Terlebih dalam menapaki kehidupan. Yang hakikatnya adalah sebuah perjalanan panjang. Maka akan sangat penting untuk membentuk Tim Kerja yang solid dan sejiwa. Dalam menuntaskan misi peradaban manusia yang telah ditakdirkan, menjadi seorang khalifah Allah.    Al-Imam Asy Syahid Hasan Al Banna dalam Maratib Al’Amal, menjelaskan detail-detail pencapaian misi besar ini. Mulai dari Perbaikan Diri (Islah An Nafs), pembentukan rumah tangga muslim (Bina’ul usrah al muslimah), Pembentukan Masyarakat Muslim (Irsyadul Mujtama’), Pembebasan Tanah Air (At Tahrir Al Wathan), Perbaikan Hukum dan Pemerintahan (Islahul Hukumat), dan Menjadi Guru Semesta (Ustadziyyatul ‘Alam).

Semua membutuhkan kesejiwaan. Perasaan sejiwa. Terutama pada proses pembentukan keluarga muslim. Kesamaan visi dan gerak akan menentukamn kelangsungkan dan kelanggengan proses menuju tahapan selanjutnya pada tahap pembentukan masyarakat islami. Pada tahap masyarakat islami pun juga menghajatkan perasan sejiwa. Visi yang sama dari tiap-tiap keluarga muslim. Sehingga gerak dan ritme yang dihasilkan bisa  selaras. Satu frekuensi. Dan terbentuk sebuah harmoni.

Menghasilkan keselarasan dan kesejiwan dalam tahap ini (masyarakat muslim) ditentukan dari proses sebelumnya (pembentukan keluarga muslim). Proses pembentukan keluarga muslim sangat ditentukan sejauh mana kualitas diri seorang muslim dan muslimah untuk dipersatukan. Perasaan sejiwa dalam iman, sudah disyaratkan disini.  Sebagaimana yang Allah firmankan “Wanita yang kotor adalah untuk lelaki yang kotor, dan laki-laki yang kotor hanyalah untuk wanita yang kotor. Wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk  wanita yang baik” (QS. An Nur: 26)

Maka proses menjadi baik itu penting. Seperti yang dituliskan Pak Solikhin Abu ‘Izzuddin dalam Zero To Hero, “Menjadi penting itu baik, tetapi menjadi baik itu lebih penting” Maka proses awal yang harus dilalui adalah prores perbaikan diri (Al Islah An Nafs),  menjadi seorang mencelup kedalam celupan Allah (shibqoh Allah)[6] , kemudian menjadikannnya seorang rabbani[7].   Setelah tahapan ini telalui, maka pribadi-pribadi nan gemilang telah siap untuk menapaki tahap selanjutnya: Nikah.

Dipertemukankanlah pribadi-pribadi geminlang itu untuk membentuk sebuah generasi nan gemilang. Menyatukan cinta dan cita dalam sebuah pernikahan. Maka ditahap inipun disyaratkan juga kesejiwaan. Kesertaraan. Kafa’ah. Dalam Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq dijelaskan Kesamaan dan kesetaraan yang dimaksud adalah dalam kedudukan, status social, moral, kekayaan. Namun yang paling utama dalah kesetaran dalam hal iman. Dalam agamanya.  Rasul pun bersabda: “wanita itu dinikahi karena empat hal, karena kekayaannya, karena keturunannnya, karena kecantikannya, dan karean agamanya, dan pilihlah agamanya maka engkau akan beruntung.”

Kekayaan, keturunan, dan kecantikan atau ketampanan memang mudah disetarakan.  Tapi tidak semua kesetaraan itu mampu menghasilkan perasaan sejiwa. Perasaan yang tumbuh menjadi sebuah ketenangan. Terhadirkan sakinah yang menentramkan.  Karena relativitas yang ada pada masing-masing tentang definisi Kaya, Cantik, Mulia (keturunan) masing-masing memiliki versinya sendiri yang sukar disamakan. Tapi tidak dengan Agama. Iya akan mampu memberikan ketenangan dan perasan sejiwa. Karena standar kebenaran ada pada Allah. Bukan pada masing-masing makhluq. Tentu nilai kebaikan yang digunakan adalah kebaikan versi Allah.  Maka kesamaan akan nilai-nilai inilah yang akan menghadirkan perasaan sejiwa. Perasaan yang menimbulkan keyakinan yang sama. Sehingga berada dalam frekuensi iman yang sama. Sehingga satu dan yang lainnya akan saling mencintai. Akan tumbuh ghirah untuk membela, melindungi yang dicintainya. Karena bagi para pencinta danyang dicinta sudah tidak lagi ada kepemilikan tunggal. Yang ada adalah kemilikan bersama. Bukan lagi “aku” dan “kamu” tetapi  “kita”. Hunn libaasullakum wa antum libasullahun.., Dia adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakian baginya (Al Baqarah : 187).

Menyelaraskan Kembali

Menjadi penting untuk memperoleh kesejiwaan. Perasaan yang sama. Visi yang sama. Karena Agama bukan yang lain. Maka perlu setiap saat untuk menselaraskan kembali visi kita. Visi rumah tangga yang akan kita bangun. Seperti sebuah dawai gitar yang harus selalu diselaraskan nada-nadanya yang dihasilkan agar tidak sumbang.

Seperti sudah menjadi tabiat manusia untuk tidak mudah berpuas diri. Godaan yang mengalihkan pandangan dari visi besar itu pasti ada. Ketidak-istiqomahan itu pasti terjadi.  Kelelahan fisik yang berdampak pada psikologis juga pasti akan mampu menggoyahkan visi besar. Menjadikannya timpang dan tidak lagi selaras. Dan kesejiwaan pun mulai memudar. Maka perlu sebuah proses untuk kembali menyegarkan visi kita. Semangat kita yang mulai kendur. Visi yang mulai kabur, dan ghiroh yang mulai luntur. Dalam siroh kita bisa bisa simak peri hidup Rasulullah bersama para istri-istrinya  untuk kembali menselaraskan visi dan ritme kehidupan.  Ini menunjukan bahwa godaan itu pasti ada. Setelah perang hunain, istri-istri nabi menuntut lebih banyak perhiasan dunia kepada Rasulullah. Jika istri-istri sekarang menuntut tambahan uang belanja.

Lalu turunlah ayat kepada mereka , “ Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, ‘ Jika  kamu sekalian menginginkan dunia dan perhiasannya, maka marilah  subaya aku berkan  kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik Dan jika kamu sekalian menghendaki keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri akhirat , Maka sesusungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar” (QS. Al Azhab 28-29)

Ayat ini begitu agung, mengajarkan kepada kita untuk selalu menselaraskan visi dan ritme gerak kita.  Untuk selau berdialog dengan pasangan kita tentang visi dan ritme gerak kehidupan. Visi pernikahan dan rumah tangga kita. Agar tetap sejiwa. Agar tetap selaras. Agar sakinah dapat tergapai agar mawaddah dan  rahmah dapat terrengkuh. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh : Ardhianto Murcahya,S.Psi- Solo
FacebookTwitter Blog

______________________________


[1] QS. Asy Syu’ara (26) : 62

[2] QS. Asy Syu’ara (26) :63

[3] QS. Asy Syu’ara (26) : 67

[4] QS. At Taubah (9) : 40

[5] QS Al A’raaf : 138

[6]  QS Al Baqarah : 138

[7]  QS Ali Imran : 79