Kebahagiaan 10 Menit

Dalam sebuah acara bincang-bincang, mantan pelatih Timnas, Alferd Riedl ditanya oleh sang moderator dengan pertanyaan yang cukup menggelitik: “Mengapa anda tidak pernah tersenyum saat pemain anda memasukan bola ke gawang lawan? Bukankah seharusnya anda senang dan mungkin melonjak-lonjak layaknya pelatih bola yang lain?”

Kemudian sang pelatih yang disenangi oleh para pemainnya itu berkata, “Saat pemain memasukan bole ke gawang lawan, tentu saja saya sangat senang, tapi kesenangan itu hanya berlangsung 10 menit, karena bisa saja, 10 menit kemudian kita kehilangan 1 gol. Lalu, buat apa saya melompat-lompat hanya untuk 10 menit?”

Hadirin yang hadir dalam bincang-bincang itu pun tertawa.

Secuil potongan acara diatas adalah hanya prolog sederhana yang ternyata bisa mewakili sekian banyak dari bagian hidup kita. Seorang pelajar yang entah kenapa begitu bahagia saat lulus, lalu coreat sana dan sini, kebut-kebutan dan lain lain, padahal sejurus hari kemudian, mereka kembali khawatir dengan langkah mereka selanjutnya, apakah akan masuk ke sekolah/kampus yang mereka tuju atau malah harus rela mengeluarkan puluhan juta rupiah demi menutupi kegagalan mereka masuk ke sekolah/kampus yang mereka idamkan.

Pun dengan para lulusan universitas, saat mereka begitu bahagia dengan wisuda, lalu seminggu kemudian mereka pusing kesana kemari karena belum mendapat pekerjaan.

Manusia tentu saja boleh berbahagia, karena itu fitrah, namun saat kebahagiaan itu di ekspresikan dengan cara yang berlebihan atau bahkan keterlaluan, maka buahnya adalah hal yang sebaliknya.

Seorang guru besar pernah berkata dihadapan ribuan wisudawan, kira kira begini ucapannya:

“Kini dihadapan saya duduk ribuan calon pengangguran! Jika Anda semua tidak memiliki kompetensi dari ilmu yang telah Anda semua pelajari, maka bersiaplah untuk menambah jumlah pengangguran di negeri ini!”

Oleh: Irshad Abdassah, Bekasi.
FacebookBlog