Kehati-hatian dan Orisinalitas Tarikh Islam

Tarikh (sejarah) bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat berharga dan menjadi sesuatu yang harus dijaga keabsahannya. Termasuk kita, bangsa Islam yang tak mengenal batasan territorial untuk mengakui kebangsaan kita yang mulia ini. Bicara tarikh (sejarah), maka terngiang di telinga saya pada kenangan sebelas tahun lalu ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, “Jas Merah, ‘jangan sekali-sekali melupakan sejarah,’” pesan guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial saya kala itu, Bapak Imam Safingi. Dan memang, sejarah tak terpungkiri merupakan harta yang berharga manakala suatu bangsa ingin membangun peradaban yang jauh lebih baik dan mulia di masa kini dan masa depan dibanding pada masa lalunya.

Memang, tarikh bukanlah sesuatu yang ada untuk dilupakan, meski ia terjadi di masa lampau yang tak mungkin kita bisa kembali hadir di dalmnya. Tarikh (sejarah) yang pernah dilalui tentulah bisa menjadi tempat berkaca bagi para pelakunya, menjadi tempat rujukan dan perbandingan atas penyikapan yang harus diambil di masa kini, serta menjadi sumber hikmah yang berharga jika kita mau memilah dan memilih. Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi menuliskan dalam sebuah risalahnaya, tarikh tak bisa dipisahkan dari kehidupan umat manusia. Ia ibarat buku harian yang mengoleksi berbagai peristiwa penting dalam perjalanan hidup mereka. Dari tarikh, baik buruknya perjalanan suatu umat terungkap. Dari sejarah pula, eksistensi suatu umat -dalam setiap generasinya- teridentifikasi.

Maka, keabsahan dan validitasnya adalah hal yang demikian penting untuk dijaga, dari pergeseran makna kisah-kisahnya, atau bahkan dari pemutarbalikan fakta yang justru mampu mengeruhkan pemahaman berbagai pihak, termasuk generasi-generasi penerus yang kelak akan menjadi pelaku sejarah di kemudian masa. Penggeseran makna kisah berikut pemutarbalikan fakta sejarah memang menjadi senjata yang ampuh untuk menghancurkan suatu bangsa dan peradaban. Kedustaan-kedustaan yang dituangkan dalam pemaparan fakta sejarah, baik sengaja atau pun tidak, adalah hal yang umumnya berpotensi melemahkan semangat, menumbuhkan bibit kebencian dan kedengkian, kerancuan aqidah dan pemahaman, keraguan akan kebenaran dan pembenaran atas kesalahan, dan dampak buruk lainnya bagi pemahaman yang ditangkap oleh pembaca.

Apa yang dipahami pembaca bisa menjadi rancu dan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Bisa karena memang ada pemutarbalikan fakta dengan sengaja oleh pihak musuh, kesalahan dalam pemaparan karena diksi (pemilihan kata), kesalahan sumber dan hujjah yang dijadikan landasan, atau bisa juga karena faktor intelektualitas serta cara pandang dan penarikan simpulan.

 

Antara Diksi dan Relativitas Sudut Pandang

Berawal dari sebuah komentar singkat yang memperbandingkan makna dari kata ‘penaklukan’ dan ‘pembebasan’. Dua kata yang memang memiliki arti yang berbeda jika ditelusur dari akar katanya, secara bahasa. Yang pertama lebih menjurus pada kemampuan untuk menjadi pihak yang lebih unggul dibandingkan pihak yang lain, karena mampu menjadikan pihak yang lainnya takluk, satu kondisi dimana ada ‘ketundukan dan kesediaan memenuhi keinginan’. Kata yang lainnya lebih bermakna pada kemampuan untuk menjadikan sesuatu yang semula terikat dan terkekang menjadi lebih ‘longgar’.

Ketika kita melibatkan perasaan dalam memaknai kedua kata tersebut, maka kata yang pertama akan mengiring ingatan kita pada kondisi kemenangan atas pihak lain, dan menjadikan pihak lain itu sebagai pihak yang kalah. Sementara pada kata yang kedua, perasaan kita akan digiring pada ilustrasi penyelamatan terhadap satu pihak yang sebelmnya merupakan pihak yang berada dalam cengkeraman pihak yang lain.  Antara superioritas dan kepahlawanan.

Dalam sebuah penulisan dan pemaparan fakta sejarah (tarikh), tidak dipungkiri bahwa diksi  (pemilihan kata) adalah salah satu hal penting yang harus diperhatikan. Kesalahan dalam diksi bisa bukan tak mungkin mampu melahirkan berbedaan persepsi antara apa yang sejatinya ingin dipaparkan oleh penulis, dengan apa yang pada akhirnya ditangkap oleh pembaca atas tulisan tersebut, disimpulkan, kemudian dijadikannya sebagai landasan berfikir selanjutnya.  Dalam pemaparan tarikh, diksi menjadi hal yang sangat sensitif, manakala dikaitkan dengan latar belakang sang penulis. Hal yang sama bisa menjadi dua bahkan lebih versi pengisahannya, bahkan terdapat pemaparan yang justru saling bertolak belakang.

Perbedaan makna atas ‘penaklukan’ dan ‘pembebasan’ bagi sebagian orang memang menjadi hal yang terabaikan, toh pada intinya pihak ‘yang menang’ dan ‘yang kalah’ adalah sama. Namun, bagi sebagian orang yang lain, hal ini menjadi penting ketika dikaitkan dengan hal lain, misalnya kemanusiaan dan hak asasi. Sebagai contoh, penggunaan kata penaklukan, ketika ekspansi da’wah islam ke luar Jazirah Arab, yang dilakukan dibawah komando Khalid ibn Walid ke daerah Iraq dan Syam. Inti dari kisahnya adalah pasukan muslim berhasil menang dan menduduki sebagian dari wilayah Iraq yang semula ada dibawah kekuasaan Persia.

Maka, penggunaan kata ‘penaklukan’ akan menggiring mindset pada keperkasaan tentara muslim, dengan izin Allah subhanahu wata’ala tentu, yang dengan kegigihan dan keistiqamahan mereka mampu memenangkan pertempuran. Namun ternyata, kelanjutannya manjadi berbeda manakala justru istilah ‘penaklukan’ itu dimaknai bahwa tentara muslim adalah pihak yang keji yang demi memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, begitu tega dan murah menumpahkan darah dalam penaklukan demi penaklukan yang dilakukannya.

Lain lagi pandangan dan ‘feeling’ sang pembaca ketika digunakan kata ‘pembebasan’ sebagai spesifikasi atas ekspansi tersebut. Yang terilustrasikan tentulah akan cenderung pada kondisi dimana wilayah-wilayah Iraq itu semula berada dalam cengkeraman (tentu hal yang negatif, misalnya ketertindasan) Persia dan kemudian tentara muslim datang sebagai ’penyelamat’. Penyelamatan disini tak hanya sebatas penyelamatan dzahir terhadap penduduk wilayah tersebut dari ketertindasan fisik, tapi juga pembebasan aqidah mereka, pengembalian jiwa pada fitrahnya sebagai penyembah Allah ta’ala, bukan penyembah api, berhala, maupun hewan dan dewa-dewa. Pembebasan dari keterbelengguan terhadap gulitanya kehidupan jahili menuju cahaya rabbani yang menentramkan.

Ahh, jika dikata ini hanya masalah bedanya sudut pandang dan penafsiran, maka tentulah yang paling berpotensi menyulut adalah diksinya.

 

Sumber Rujukan yang Jernih dan Menjernihkan

Salah satu cendekiawan muslim yang tersohor dengan karya-karya besarnya, al Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Kami tidak akan menyebutkan riwayat-riwayat israiliyyat, kecuali yang telah diizinkan syariat untuk dinukil yang tidak menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Shalallahu’alyhi wassalam, dan inilah bagian dari hal-hal yang tidak boleh dibenarkan atau didustakan, yang biasanya menceritakan secara lebih luas berita-berita ringkas yang terdapat di dalam agama kita, seperti penyebutan nama yang tidak disebutkan dalam syariat kita, yang hakikatnya tidak begitu penting untuk diketahui detailnya, maka dalam hal ini kami akan sebutkan sebagai pelengkap saja, bukan sebagai hujjah yang akan dijadikan sebagi landasan,  sebab sandaran sebenarnya hanyalah Al Qur’an yang mulia dan riwayat-riwayat yang dinukil secara shahih ataupun hasan, sedangkan riwayat-riwayat yang lemah akan kami jelaskan kelemahannya.”

Perkataan cendekiawan besar itu dituangkan dalam karya luhurnya, Bidayah Wan Nihayah. Apa yang dilakukannya adalah demi mempertahankan kemurnian tarikh dari penyelewengan dan pengkhianatan terhadap fakta yang ada. Pemaparan tarikh haruslah sedemikian hati-hati mengingat besarnya pengaruh dan akibat yang ditimbulkan dikemudian hari.

Referensi yang absah untuk dijadikan rujukan adalah Al Qur’an al Kariim dan kitab-kitab Tafsir bi Al Ma’tsur (tafsir dengan atsar maupun hadits) berikut kitab-kitab Asbab an-Nuzul. Selanjutnya adalah hadits-hadits Rasulullah shalallahu’alayhi wassalam, baik yang termaktub dalam kitab shahih, sunan, musnad, maupun jami’. Selain Qur’an dan hadits, penulisan tarikh juga bisa merujuk pada atsar yang dinukil dari perkataan para shahabat dan tabi’in. Karena bersumber dari lisan yang berbeda, tentunya pula dengan perbedaan kualitas keilmuan dari amsingmasing shahabat dan thabi’in, tak dipungkiri jika satu kejadian memiliki banyak versi.

Pemaparan dalam berbagai versi memang kita lazimi sebagai akibat dari banyaknya periwayatan yang dijadikan rujukan, yang tentunya dari masing-masing riwayat memiliki kualitas yang berbeda baik secara sanad maupun matannya. Biasanya hal semacam ini, dalam ‘ulumul hadits, akan diselesaikan dengan jalan pengkompromian di antara riwayat-riwayat tersebut. Namun demikian, seiring dengan perguliran zaman yang diiringi dengan pergesekan antar ideologi, firqah, mahzab, dan berbagai ragam pemikiran baru yang seolah siap menggerus kemurnian akal dan jiwa manusia, kualitas atas suatu pemaparan fakta sejarah menjadi hal yang kadang diragukan keabsahannya. Tentu hal ini lekat kaitannya dengan beragam kepentingan yang memang menjadi hal yang terhindarkan.

Selanjutnya, jika kita menilik pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab shahihnya, berupa sabda rasulullah shalallahu’alayhi wasssalam, “Silahkan menyampaikan riwayat dari Bani Isra’il dan (itu) tidaklah mengapa, namun siapa saja yang berdusta atas namaku, maka hendaklah mengambil tempat di neraka,” maka merujuk pada kitab-kitab samawi terdahulu, seperti Taurat dan Injil, diperbolehkan, dengan syarat kemurnian yang mutlak dan tidak ada sedikitpun kedustaan di dalamnya. Untuk masa sekarang, penulisan tarikh dengan bersumber pada kitab-kitab terdahulu tersebut bukanlah hal yang aman untuk dilakukan, mengingat  orisinalitasnya yang tak bisa dijamin lagi.

Dalam perkembangannya, saat ini kitab-kitab tarikh karangan ‘ulama besar begitu banyak jumlahnya. Dan disinilah kehati-hatian dalam memilah dan memilihnya, mengingat semakin sulit untuk mengidentifikasi buku tarikh yang bersih dari syubhat-syubhat khawarij maupun syi’ah rafidhah. Pemutarbalikan fakta dalam buku-buku tarikh pun memang demikian banyak dijumpai, khususnya pada buku yang dikarang selain oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Metodologi yang Bersahabat

Penyandaran pada Qur’an dan hadits adalah metode yang paling tepat dalam pemaparan tarikh Islam. Penggunaan hadits memang perlu lebih berhati-hati, memandang pada tahqiq yang ditetapkan atas kualitas hadits tersebut, baik sisi sanad maupun matannya. Baik yang marfu’ maupun mauquf, baik hadits tersebut shahih maupun hasan, tak ada salahnya untuk dijadikan sandaran, dengan tetap mempertahankan objektivitas untuk mengakui dan menyebitkan riwayat yang ada kelemahan didalamnya. Penulisan hadits israiliyyat pun hendaknya dilakukan disertai dengan kritikan yang jelas dan objektif, untuk menerangkan apa yang haq dan sesuai dengan syariat.

Para penulis-penulis besar pendahulu pada umumnya akan menyebutkan hadits maupun atsar lengkap dengan sanadnya. Hal ini dimaksudkan agar pembaca maupun peneliti dapat mengetahui kedudukan sanad tersebut dan mudah mengkritisinya dan selanjutnya lebih berhati-hati jika menemukan nama yang sama dalam riwayat lainnya.

 

Pemutarbalikan Fakta dan Serangkaian Kepentingan

Sejak kelahirannya belasan abad silam, Islam tak pernah luput dari rongrongan kedengkian kaum kafir dan munafik. Ribuan cara dipakai untuk meruntuhkan peradaban yang mulia dan dimuliakan itu, termasuk dengan pemutarbalikan fakta sejarah yang diharapkan mampu mencitrakan keburukan yang sangat tentang islam dalam pikiran orang-orang yang tidak tahu berikut generasi-generasi selanjutnya, termasuk generasi muda Islam sendiri. Diantara musuh islam itu adalah mereka para Zionisme Yahudi, Syi’ah Rafidhah, Orientalis Nashara, dan orang-orang yang meniti jejak jelek mereka.

Kepentingan mereka mengkaji dan memaparkan tarikh Islam bukanlah untuk mendapatkan keridhaan Allah sebagai ganjaran atas tekad menuntut ilmu, bahkan justru menyulut kemurkaan-Nya. Merekalah sedikit diantara kaum opportunis yang turut mengeruhkan tarikh Islam, dengan mengupas tarikh tersebut tanpa keimanan. Tanpa menghadirkan hati dan jiwa yang bersih. Mungkin apa yang dituliskan sederhana, hanya berupa komentar singkat atas pertikaian yang sempat terjadi di antara para shahabat. Namun, komentar yang tidak fair berikut penilaian yang tidak objektif, berupa ide dan pemikirannya sendiri, maka muncullah penilaian dan kesan negatif terhadap shahabat nabi, misalnya. Atau komentar yang berlebihan tentang ekspansi da’wah islam dulu, yang kemudian mengerucut pada tuduhan islam sebagai agama yang ‘haus darah’, dan lain sebagainya.

Namun demikian, tentu saja semuanya kembali kepada kebersihan hati sang pembaca berikut keilmuan yang dimilikinya. Itulah kenapa, dalam mempelajari tarikh, pun demikian dalam mempelajari ilmu-ilmu lainnya, iman dan ilmu adalah hal yang  mutlaq harus ada dan menjadi landasan. Ilmu dan iman sebagai hal yang saling melengkapi yang seharusnya ada dalam diri setiap muslim yang utuh, yang tanpa salah satu dari keduanya, kita tak lebih dari seorang yang buta atau seorang yang pincang. Benar jika dikata tanpa kehadiran keduanya, pembelajaran tarikh hanyalah penelaahan fakta-fakta yang monoton dan hampa dari ruh spriritualitas. Pemaparannya akan jauh dari norma-norma luhur dan akhlak mulia. Berkata tanpa berkaca dan menilai dengan yang tak bernilai pun akhirnya menjadi ciri khasnya. Akibatnya, berbagai rambu syariat dilanggar, validalitas suatu berita tak dihiraukan, dan kehormatan suatu kaum tak lagi diperhatikan.

Semoga Allah selalu memberi petunjuk kita dalam menuntut ilmu dan melindungi kita dari kesesatan dan kejahatan yang ditimbulkan oleh makhluq-Nya. Wallahu a’lam bishshowab.