Kelembutan Dakwah dan Ketegasan Pedang

Pada tahun ke-10 dari kenabian, Rasulullah mencoba menawarkan Islam kepada penduduk Thaif, karena kaum Quraisy sudah betul-betul menolak dakwah beliau, hampir tidak ada harapan lagi mereka akan mau beriman.

Namun apa dikata, ternyata penerimaan penduduk Thaif tidak kalah jahatnya dibandingkan penerimaan penduduk Makkah. Mereka mengumpulkan anak-anak dan orang-orang bodoh (safih), kemudian mereka hasut untuk melempari Rasulullah yang ditemani oleh Zaid bin Haritsah. Saat itu tubuh Rasulullah sampai berlumuran darah.

Karena merasa tidak ada harapan dakwahnya diterima penduduk Thaif, Rasulullah memutuskan untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang beliau ditemui oleh malaikat gunung guna menawarkan untuk menghancurkan penduduk Thaif dan Makkah yang sudah mengusir beliau, dengan cara saling membenturkan gunung yang ada di tanah Arab itu.

Mendengar itu Rasulullah berkata: “Jangan lakukan itu, aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka anak keturunan yang menyembah Allah dan tidak meperserikatkan-Nya dengan sesuatu pun.”

Delapan tahun berikutnya…..

Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah terjadi perjanjian damai dan saling membela antara kaumuslimin dengan orang Yahudi yang ada di sana. Di antara mereka adalah Bani Quraizhah, Bani Nadhir dan bani Qainuqa’.

Pada akhirnya seluruh Yahudi ini dihabisi Rasulullah dari Madinah karena berkhianat.

Bani Qainuqa’ diijla’ atau diusir dari Madinah seluruhnya karena salah seorang di antara mereka mempermalukan seorang wanita muslimah di tengah pasar hingga auratnya terbuka. Hanya gara-gara satu orang semua Yahudi bani Qainuqa’ diusir.

Sedangkan Bani Quraizhah berkhianat ketika terjadi perang Ahzab atau perang Khandaq. Mereka yang seharusnya berpihak kepada Rasulullah untuk memerangi pasukan aliansi kafir Quraisy dengan suku-suku Arab sekitarnya, malah berpihak kepada musuh. Hampir saja kaumuslimin hancur lebur kalau bukan bantuan Allah dengan mengirim angin topan dan skenario masuk Islamnya Nu’aim bin Mas’ud yang kemudian berhasil mengadu domba Bani Quraizhah dengan kafir Quraisy. Hingga barisan mereka kocar kacir.

Setelah perang Ahzab selesai Allah memerintahkan Rasulullah untuk membereskan Bani Quraizhah. Setelah mengepung mereka hampir sebulan penuh akhirnya mereka menyerah. Untuk keputusan apa yang akan diberikan kepada mereka yang sudah berkhianat, Rasulullah mempercayakan kepada Sa’ad bin Mu’adz. Hal ini juga disetujui oleh orang Yahudi itu sendiri.

Kenapa harus Sa’ad bin Muadz? Karena beliau adalah pimpinan sekutu Yahudi di Madinah. Yahudi itu sebenarnya adalah kaum pendatang yang bergabung menjadi anggota salah satu suku yang ada di Madinah. Mereka aslinya bukan orang Madinah, tapi pendatang. Mereka bergabung kepada sukunya Sa’ad bin Mu’adz.

Mereka menyerahkan keputusan kepada beliau dengan harapan akan mendapatkan perlindungan dan pembelaan atas pengkhianatan mereka. Sebab Sa’ad bin Mu’adz seorang pemuda yang baik hati, punya perasaan lembut seperti Abu Bakar dari kalangan muhajirin.

Ternyata dalam keputusannya Sa’ad bin Mu’adz mengeluarkan hukuman yang tidak mereka duga sama sekali. Hukuman yang sangat mengerikan. Yaitu, seluruh laki-laki dewasa dihukum mati dengan cara dipenggal batang lehernya, anak-anak dan perempuan dijadikan budak dan harta mereka dijadikan ghanimah yang akan dibagi-bagi.

Setelah mendengar keputusan itu Rasulullah tersenyum dan berkata: “Keputusan Sa’ad bin Mu’adz itu sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah”.

Waktu itu juga digali lubang besar yang cukup untuk menimbun antara 600-700an orang. Setelah itu setiap keluarga yang menjadi sekutu bagi Yahudi memancung kepala sekutunya masing-masing. Tanpa perlawanan apa-apa selesailah ratusan laki-laki dewasa Yahudi Bani Quraizhah di hari itu.

Kisah kejadian ini perlu disebar luaskan kepada umat supaya mereka tahu bahwa di samping kelembutan dalam dakwah ada ketegasan. Masing-masing harus dicocokkan dengan situasi.

Bila harga diri agama ini sudah dilecehkan sedemikian rupa tapi masih bicara moderat dan toleransi, khawatirnya yang ada justru kedunguan dan kepengecutan yang dibingkai dengan jargon rahmatan lil ‘alamin.

Tapi ingat, semua harus melalui prosedur hukum yang jelas lagi adil, yang dilaksanakan oleh pihak yang berkompeten. Bukan dengan cara anarkis dan semena-mena.

Ustadz Zulfi Akmal, Lc. MA.