Ketika Bintang-Bintang Pergi

Bintang sudah seminggu tiada. Ia meninggal sebab kanker ganas yang menggerogoti otaknya. Kepalanya yang pernah ditumbuhi rambut gondrong, keriting dan penuh cabang itu telah plontos saat akan dikafani. Pencipta lagu handal itu, dengan syair-syair ciptaannya yang selalu menjadi tren di kalangan remaja, meninggal pada usia yang cukup. Cukup untuk dikatakan bahwa waktu telah habis untuknya, enam puluh lima tahun, penutup usia standar bagi manusia akhir zaman.

Beruntunglah ia meninggal di usia yang cukup  senja. Sehingga orang tak lagi memandangnya anak urakan seperti masa mudanya dahulu. Ia adalah pemusik senior, tempat meminta pendapat. Pengalaman hidup telah membuatnya lebih bijak dalam bersikap. Namun pengalaman hidup yang banyak itu tak juga menjadi lahan semai bagi hidayah untuk tumbuh di hatinya. Ia tetap manusia bijaksana yang “bebas” hingga akhir hidupnya. Ia hidup tanpa sekat-sekat dogma agama yang katanya membelenggu.

Hari ini sebuah konser telah disiapkan. Sebuah panggung megah dengan tata cahaya super apik. Artis-artis solo dan band-band berjajar siap meramaikan, konon mereka hanya dibayar dengan sedikit honor saja. Sebuah kebanggaan tampil di panggung itu, demi Bintang, sang idola, demi gengsi menjadi penampil pilihan yang diberi kehormatan membawakan gubahan sang maestro.

“Kupersembahkan untukmu, Bintang!! Semoga engkau mendengar…” Seorang penyanyi gaek, kawan seperjuangan sang Bintang membuka konser spektakuler itu. Dan beberapa saat setelah itu deretan nyanyian seolah pujian, dipersembahkn untuk Bintang dengan penuh prasangka bahagia. Ia mendengar di surga, alun-alunan yang dipersembahkan untuknya, begitu persangkaan mereka.

Muda-mudi berjingkrakan, sesaat kemudian mengayunkan tangan di udara, kemudian kembali berlompatan, mereka menuruti irama yang disajikan. Muda-mudi dibuai romantisme, lagu-lagu cinta yang mengudara mengubah suasana menjadi merah muda. Muda-mudi bergenggaman tangan, saling bertatapan, udara pekat dengan hawa yang mereka sebut cinta. Muda-mudi telah berada di jalanan, konser yang telah usai, sukses memerahjambukan perasaan si mudi, sementara si muda siap mengambil kesempatan untuk lebih merapat, suka sama suka.

Kematian Bintang, hari itu ditingkahi setan sebagai pembuka pintu maksiat.

***

Star, seorang lelaki jenius telah wafat. Berita itu tak terlalu mengejutkan dunia, meskipun masih saja ada yang bertanya-tanya kenapa. Kanker yang diidapnya sejak lama bukan rahasia, terdisplay dari raganya yang kian kurus dan ringkih.

Dan dialah pahlawan bagi kompetisi teknologi yang kian bersicepat. Sang jenius membuat kompetisi semakin memanas, membuat pesaingnya selalu melekatkan pandangan padanya, demi tidak kehilangan momentum inovasi. Maka teknologi pun berlompatan kian cepat, membuat teknologi termutakhir lantas menjadi basi hanya dalam hitungan bulan saja.

Sang jenius itu, di masa hidupnya, banyak cinta yang terlimpah untuknya dari para penggemarnya, sebanyak benci yang tercerca dari para pembencinya. Namun kematian, nyaris habis mengkonversi rasa benci menjadi simpati. Kini semua orang ingin mengaku, bahwa masing-masing mereka dekat dengan sang Idola. Orang-orang penting berebut untuk berbelasungkawa, menyebut-nyebut keistimewaannya. Semua hasil kerjanya di dunia dihargai, bahkan oleh orang-orang yang haus penghargaan sekalipun. Manis, itulah rasa yang ditinggalkannya pada dunia, pada jejak rekam kehidupannya.

Kini kejayaan itu harus diputus dengan kematian. Ya, terputus semuanya, tak ada jariyah yang mengalir dari prestasinya yang luar biasa di atas bumi. Sebab ia telah memilih Tuhan, namun sayangnya bukan Tuhan tempat ia kembali, bukan Tuhan yang menciptakan dirinya, bukan Tuhan yang memberikan ketenaran padanya. Konon katanya ia mewarisi darah Nabi. Tapi apalah arti setetes atau bergalon-galon darah yang terwariskan tanpa ditingkahi keimanan kepada Tuhan yang benar. Ah, bahkan kepada – yang katanya – kakek buyutnya saja ia tak beriman.

Bumi yang ia tinggalkan bergempita menyerukan namanya, tanpa tahu apa yang berlaku padanya detik ini di barzakh yang ia tinggali.

***

Najmi, ustadzah itu telah tiada. Sebuah berita mengejutkan di pembuka hari. Najmi yang kemarin begitu sehat, kini telah berpulang. Kecelakaan tunggal telah terjadi semalam. Mobil yang ditumpanginya beserta keluarganya menabrak pembatas jalan, di hampir sepertiga malam terakhir. Terhembus perlahan nafas terakhir di perjalanan menuju rumah sakit. Usai itu terhembus cepat pesan-pesan singkat, kabarkan wafatnya sang Ustadzah.

Muslimah tangguh, berjilbab, menutup aurat dengan sempurna, sibuk luar biasa, aktif di dalam dan di luar rumah, pecinta Al-Qur’an, wakil rakyat yang sederhana, perempuan dengan segunung prestasi, penyeru sekaligus teladan. Kiprahnya telah tertorehkan dalam lingkaran kajian-kajian pekanan yang kian menggurita, yang dahulu ia perjuangkan bersama rekan-rekannya dengan sembunyi-sembunyi. Hasil juang kolektifnya terlihat dari lambaian jilbab-jilbab para muslimah di sekolah-sekolah, tempat yang dahulu tabu untuk selembar kain sakral itu.

Hati menjadi bersemangat bercampur keharuan, ketika ia sampaikan di penghujung hayatnya, “Sampai bertemu di Surga”, ujarnya kepada murid-muridnya, dengan keyakinan tanpa celah keraguan. Maka sebuah standar surga masa kini telah merasuk dalam benak, standar yang berat.

Tak ada acara istimewa, kecuali ribuan orang yang mengantar jenazahnya ke liang lahat. Yang istimewa adalah semakin banyak yang ingin mengenalnya. Bahkan mereka yang hanya kenal sebatas nama, akhirnya menemui wajah sang Ustadzah dalam bingkai-bingkai digital, senyum terkembang dari wajah yang siap dikafani. Atau mereka yang menyempatkan diri untuk terkejut, mendapati kenyataan bahwa sang perempuan aktivis itu beranak tiga belas. Pun cerita-cerita keteladanan sang ustadzah yang selama ini seolah malu untuk dituliskan, kini menghiasi dunia maya, siap dikonsumsi para perindu surga. Dan kematian pun membawa pada keteladanan bagi para pejuang muda, serta menohok nurani pemimpi surga yang masih gemar beruzur.

Dan di tengah kekhawatiran, seorang lelaki, suami Najmi berkata kepada rekannya yang ingin menuliskan keteladanan sang ustadzah, “Tuliskan seadanya, jangan kultuskan, jangan memujinya berlebihan.”

***

Selalu akan ada yang tertinggal di muka bumi, saat bintang beranjak pergi. Akankah ia kian bersinar di tempat perginya, ataukah gelap menjelaga?

Iman adalah jaminannya. Para penghuni bumilah jariyah mereka.

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata.” (QS Yaasin : 12)

 

*)Bintang-bintang itu, hanyalah tokoh fiksi, meskipun ada kisah nyata yang menginspirasi.